Dinamika
Muhammadiyah
Hyung-Jun Kim ; Profesor Antropologi Kebudayaan,
Kangwon National University, Korea Selatan
|
REPUBLIKA,
28 November 2012
Ketika berbicara
tentang Muhammadiyah dengan orang Korea, hal yang paling susah menerangkan
adalah soal amal usahanya. Orang Korea susah memahami bahwa Muhammadiyah
mempunyai ratusan perguruan tinggi dan ribuan sekolah yang didirikan dengan
sumbangan dari orang-orang biasa.
Mereka mengira Muham ma diyah disponsori orang kaya dan besar, seperti raja, pejabat tinggi, atau konglomerat.
Mungkin, juga ada
orang-orang Indonesia yang belum tahu adanya puluhan ribu amal usaha
Muhammadiyah. Apalagi cara mendirikannya. Apakah hal itu benar bahwa
amal usaha Muhammadiyah bukan buatan pusat persyarikatan, tetapi buatan simpatisan
dan anggota Muhammadiyah?
Jawabannya, "hampir"
ya. Untuk memahami gambaran amal usaha di atas, dua hal harus dipahami. Pertama
adalah tekanan pada amal di Muhammadiyah. Amal adalah faktor yang paling
krusial untuk mengikat dan mempersatukan anggota Muhammadiyah. Pentingnya
amal dapat dicontohkan dengan sang pendiri, Ahmad Dahlan. Dia tidak
mencoba menulis buku yang menampung ajaran Muhammadiyah, tetapi mewariskan
hasil nyata dan contoh teladan dari perjuangannya.
Kedua adalah struktur
Muhammadiyah yang tidak bersifat sentralistis.
Sejak berdirinya Muhammadiyah, pusat tidak pernah membuat cabang-cabangnya di bawah. Arahnya terbalik. Orang atau kelompok yang berminat pada kegiatan Muhammadiyah meminta bergabung dengannya. Akibatnya, otonomi kegiatan maupun keuangan cabang sangat tinggi dan voluntaritas (semangat volunterisme) sehingga cabang menjadi kunci.
Dalam sejarahnya, pola
kekuasaan di dalam kerajaan tradisional dapat diterapkan pada masa awal Muhammadiyah.
Orang dan kelompok yang dipengaruhi oleh reformisme tertarik pada kegiatan
Muhammadiyah dan meminta bergabung dengannya. Jika menunjukkan semangat
mengikuti cita-cita Muhammdiyah, mereka diperbolehkan menjadi cabang atau
grup.
Setelah bergabung, cabang
mengusahakan mengikuti dan menjalankan program amal yang dicontohkan oleh
pusat tanpa dukungan dari pusat. Dalam sistem ini, kesukarelaan cabang
dan daya tarik pusat merupakan kunci mempersatukan dan menghidupkan
organisasi.
Setelah merdeka,
Muhammadiyah menerapkan struktur administrasi pemerintah serta berdirilah
pimpinan pusat dan struktur di bawahnya hingga pimpinan cabang. Walaupun
struktur formal menjadi hierarkis, dinamika antara pusat dan cabang tetap
berlaku. Agar sistem ini berjalan terus, pusat harus memenuhi peran sebagai
sumber teladan yang memberi inspirasi pada cabang. Tanpa adanya daya tarik
semacam ini, program pusat tidak dapat diterima. Sekali lagi, di sini kita
harus mempertimbangan pentingnya amal.
Contoh teladan yang
dapat diikuti oleh cabang adalah amal yang nyata. Dengan pola seperti itulah
Muhammadiyah mempunyai banyak amal usaha. Dengan pengertian ini, kita
baru dapat mengevaluasi stagnasi atau krisis Muhammadiyah yang dibicarakan
sejak tahun 1990-an. Salah satu faktor yang membawa stagnasi Muhammadiyah adalah
pengabaian pusat untuk menjalankan peran utamanya, yaitu bahwa pusat tidak
begitu aktif dan produktif untuk memberikan teladan baru yang dapat menarik
cabang. Pengabaian itu berhubungan dengan pentingnya peran pusat sebagai
koordinator urusan organisasi.
Semakin besar organisasi, semakin banyak urusan intern yang harus dikelola serta semakin kurang semangat dan energi untuk mencari pola amal yang inovatif dan progresif. Majelis-majelis dan badan-badan di tingkat pusat pun menghadapi situasi yang sama. Untuk melakukan kegiatan rutin memerlukan energi banyak sehingga contoh amal baru susah dikeluarkan.
Awal 2000-an, muncul
arus baru di tingkat pusat Muhammadiyah. Untuk memecahkan stagnasi, generasi
muda melontarkan pandangan baru dalam menafsirkan ajaran-ajaran Islam. Walaupun
membawa angin segar, percobaan itu tidak memproduksi hasil yang substansial,
malah mengakibatkan konflik intern. Salah satu penyebabnya adalah percobaan
itu dilontarkan dan didiskusikan di tingkat ide-ide daripada di tingkat amal.
Karena percobaan itu tidak didampingi dengan hasil nyata dan tidak berhubungan
langsung dengan amal, ide-ide itu susah diterima, malah dianggap sebagai
upaya untuk memecahkan organisasi.
Muhammadiyah sedang
menghadapi abad kedua. Eksistensi dan perkembangan Muhammadiyah selama
seratus tahun lampau menunjukkan bahwa organisasi ini mempunyai kekuatan yang
luar biasa. Akan tetapi, posisi Muhammadiyah sebagai organisasi terkemuka,
popular, dan progresif susah bertahan tanpa adanya upaya revitalisasi
pergerakan.
Jika mengingat
berbagai uraian atas, upaya itu harus segera dimulai dengan mengembalikan
peranan utama kepada pusat. Jika pusat berkonsentrasi dengan memberi contoh
amal yang inovatif dan progresif, itu dapat menarik hati anggota-anggota
biasa dan memperkuat semangat untuk mengamalkannya.
Amal baru apa yang dapat di anjurkan? Sebagai peninjau Muhammadiyah, peran saya terbatas pada analisis. Peran untuk mencari model baru dan cara melakukannya berada pada tangan warga Muhammadiyah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar