KOMPAS, 27 November 2012
|
Pengantar: Otonomi daerah menimbulkan banyak
masalah. ”Kompas” pun menggelar diskusi ”Membedah RUU Pemda” pada 7 November
2012 bekerja sama dengan Kelompok Kerja Otonomi Daerah yang terdiri dari
Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Yappika, Urban and
Regional Development Institute, serta Yayasan Inovasi Pemerintahan Daerah.
Hadir sebagai pembicara Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam
Negeri Djohermansyah Djohan, Ketua Panitia Khusus RUU Pemda DPR Totok
Daryanto, Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, Kepala
Subdirektorat Evaluasi Dana Desentralisasi Kementerian Keuangan Putut Hari
Satyaka, dan peneliti LIPI Tri Ratnawati, dengan moderator Robert Endi Jaweng
dari KPPOD. Hasil diskusi ditulis oleh wartawan ”Kompas” Nina Susilo, Yovita
Arika, Subur Tjahjono, Tri Agung Kristanto, dan Subhan SD, yang dimuat di
halaman 1, 6, dan 7.
Kebijakan moratorium pemekaran daerah tahun
2009 hanya menjadi ”macan ompong”. Lima daerah otonom baru (DOB) tetap lahir
tahun 2012. Padahal, mayoritas daerah hasil pemekaran berkinerja buruk, baik
dalam pemenuhan layanan publik, pembangunan infrastruktur, partisipasi
masyarakat, maupun pencapaian kesejahteraan rakyat.
Ini soal komitmen dan keseriusan. Bayangkan
saja, saat moratorium, usulan pembentukan DOB justru terus mengalir seperti
air bah. Sepanjang 2009-2012, Kementerian Dalam Negeri menerima 183 usulan
pembentukan DOB, terdiri dari usulan 33 provinsi, 133 kabupaten, dan 17 kota
baru. DPR pun tak peduli karena setuju atas usulan lima DOB akhir Oktober 2012.
Sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, sudah terbentuk 205 DOB, terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan
34 kota. Artinya, setiap tahun ada 20,5 daerah baru terbentuk atau setiap
bulan hampir ada dua daerah baru terbentuk.
Lalu mengapa daerah baru? Bukankah
pemekaran daerah untuk mendekatkan pembangunan ke masyarakat? Dibandingkan
cerita bahagia, dalam pemekaran daerah lebih banyak kisah mengurut dada.
Pertama, berdasarkan evaluasi, kinerja mayoritas daerah baru itu ternyata
buruk (80 persen), bahkan beberapa di antaranya bisa dinilai gagal. Pelayanan
publik yang seharusnya semakin dekat dengan semangat otonomi ternyata tidak
terwujud maksimal. Infrastruktur juga buruk, bahkan dalam banyak sektor masih
bergantung pada daerah induk.
Kedua, kepala daerah hasil pemilihan
langsung (pilkada), yang merupakan manifestasi desentralisasi demokrasi, juga
tidak memperlihatkan semangat pemerintahan bersih dan baik. Dari 863 pasangan
kepala daerah-wakil kepala daerah yang terpilih sejak pilkada langsung
digelar tahun 2005, ada 280 orang yang terjerat kasus hukum. Atribusinya
macam-macam, bisa sebagai saksi, tersangka, terdakwa, terpidana, dan umumnya
terseret kasus korupsi. Menurut Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri
Djohermansyah Djohan, jumlahnya bisa bertambah mengingat pendataan terus
dilakukan.
Parahnya lagi, dari jumlah pasangan kepala
daerah itu, sebesar 97,4 persen justru pecah kongsi. Dari fakta tersebut
terlihat jelas bahwa pilkada bukanlah sebuah alat untuk mencapai
desentralisasi demokrasi dengan memilih kepala daerah yang benar-benar
memikirkan rakyatnya, melainkan justru diperalat guna menyalurkan hasrat
politik kelompok elite untuk menjadi raja-raja lokal.
Kalau sudah demikian, siapa yang peduli
tersemainya partisipasi publik di tingkat akar rumput dan tercapainya
kesejahteraan rakyat? Hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, selama
lebih dari 10 tahun, pemekaran Kabupaten Way Kanan di Lampung dan Kabupaten
Landak di Kalimantan Barat, misalnya, tidak memperlihatkan pemerataan
pembangunan. Pembangunan cenderung berhenti di kecamatan-kecamatan terdekat
dengan ibu kota kabupaten atau di kecamatan tempat asal bupati. Di pelosok
pedesaan, deru pembangunan tidak pernah terdengar. Jangankan rakyat mau
sejahtera, untuk mencicipi rembesan pembangunan saja tidak pernah mereka
alami.
Pada era otonomi daerah, bupati/wali kota
sangat powerful. ”Bisa
mengeluarkan izin macam-macam, duitnya banyak, teman-temannya pengusaha
besar, bisa bertemu menteri di Jakarta,” kata Tri Ratnawati dari LIPI. Dengan
kekuasaan seperti itu, hubungan pemerintah pusat dan daerah harus diakui
memang tidak mulus.
Wakil Ketua Bidang Kerja Sama Asosiasi
Pemerintah Kota Seluruh Indonesia yang juga Wali Kota Tangerang Selatan Airin
Rachmi Diany mengakui, pembagian kewenangan yang tak jelas itu sering kali
membuat daerah kesulitan. Buat masyarakat, siapa pemimpin daerahnya, dialah
yang harus bertanggung jawab.
Banyak persoalan memang. Salah satunya
karena penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak efektif dan tidak efisien.
Karena itu, revisi UU No 32/2004 yang saat ini berada di DPR harus memberikan
jaminan adanya perbaikan. Pembangunan yang baik, ujar Ketua Panitia Khusus
RUU Pemda DPR Totok Daryanto, seperti pola memberikan kail, bukan ikan.
Ciptakan pemerintahan yang bersih agar pembangunan bisa menyejahterakan
rakyat di daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar