Otda Menjadi
Feodalisme Terselubung
Emrus ; Pakar Komunikasi Politik
Universitas Pelita Harapan
|
MEDIA
INDONESIA, 29 November 2012
SEJAK bergulirnya
reformasi, Indonesia meninggalkan sentralistis dan memilih otonomi daerah
(otda) sebagai pola pembangunan. Kenyataan menunjukkan, otda telah memberikan
pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah di Indonesia. Sayangnya, implementasi
otda justru melahirkan pemimpin dan birokrat daerah koruptif. Perilaku
korupsi di daerah semakin semarak. Bahkan telah terjadi ‘pemerataan korupsi’
di seluruh daerah di Indonesia.
Karena itu, kita saat ini menghadapi tantangan
besar untuk mengelola perekonomian daerah sebagai akibat dari integritas
pejabat daerah yang sangat rendah. Itu diperburuk lagi dengan sejumlah
peraturan daerah (perda) yang tumpang-tindih serta penegakan hukum yang tidak
berpihak kepada keadilan hukum.
Kenyataan menunjukkan acap kali kepala daerah
sebagai posisi strategis membuat kebijakan dan bertindak yang berpihak kepada
kepentingan elite politik di daerah. Tidak mengherankan kepala daerah, DPRD,
dan pejabat birokrasi yang berselera rendah memanfaatkan wewenang mereka
dengan berbagai upaya menggerogoti APBN dan APBD untuk memperkaya diri sendiri
dan untuk biaya politik. Sebelum menjadi kepala daerah, mereka telah
menggelontorkan dana sangat besar (puluhan bahkan ratusan miliar rupiah)
untuk membayar partai sebagai kendaraan politik dan biaya kampanye pemilu
kada. Selain itu, korupsi kepala daerah diperuntukkan biaya politik
mempertahankan kekuasaan pada kali kedua berikutnya. Ongkos pemilu kada yang
mahal mendorong mereka memanfaatkan jabatan untuk menguras APBD.
Dengan demikian, pemilu kada menjadi sama
dengan kegiatan bisnis murni berbasis prinsip ekonomi cost and reward. Mereka bertindak spekulatif dan merauk kekayaan
tanpa batas. Tidak mengherankan mereka mengalokasikan modal sangat besar di
awal untuk biaya politik yang bertujuan tidak lain memperoleh keuntungan
materi kelak ketika menjadi kepala daerah.
Itu dilakukan melalui berbagai kebijakan dan
tindakan akal-akalan. Akibatnya, banyak kepala daerah terpilih tidak memiliki
kualitas kepemimpinan, apalagi negarawan. Perilaku para kepala daerah semacam
itu tidak hanya mengancam perekonomian lokal, tetapi merusak pembangunan
secara keseluruhan di Indonesia melalui proses pembusukan yang dimulai dari
daerah.
Sudah jamak terlihat para kepala daerah
berperilaku seperti ‘raja kecil’. Para birokrat dan rakyat seolah hanya
tunduk kepada ‘titah baginda’ kepala daerah. Mereka telah bermetamorfosis
dari pemimpin yang melayani menjadi dilayani. Munculnya fenomena raja kecil
tidak terlepas dari lemahnya pengawasan pemerintah pusat. Undang-undang yang
berlaku saat ini tidak memberikan kewenangan optimal kepada gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat untuk mengontrol kepala daerah yang bermasalah.
Dalam beberapa kasus, kepala daerah memiliki
pengaruh lebih besar daripada pemerintah pusat. Dari aspek komunikasi
politik, kepala daerah yang berasal dari partai sebagai aktor politik tidak
bisa lepas dari konstruksi kerusuhan yang terjadi di daerah. Seharusnya
kepala daerah memanfaatkan wewenang formal dan pengaruh informalnya
menyelesaikan berbagai masalah di daerah masing-masing lebih dini. Namun,
seakan terjadi pembiaran dari kepala daerah karena tidak ada kajian dan
solusi terhadap kebijakan dan aturan daerah yang dapat memicu konflik sosial.
Itulah sebabnya faktor keamanan pengelolaan bisnis di daerah, misalnya,
menjadi komoditas bagi aparat dengan memberikan dukungan terhadap pihak yang
memberikan reward tertentu kepada mereka. Era otonomi daerah menjadi
feodalisme terselubung.
Data menunjukkan pada Mei 2012, Kementerian
Dalam Negeri memublikasikan dari 524 kepala daerah, 173 orang terlibat
korupsi. Sebagian besar mereka terkait dengan kasus penggelembungan dana dan
korupsi APBD. Sebelumnya, pada 2004-2011, ada 49 kasus tindak pidana korupsi
pada tingkat pemerintah kota/kabupaten, dan 29 wali kota/ wakil bupati
diproses secara hukum di KPK.
Kepemimpinan kepala daerah koruptif yang
sedang terjadi saat ini di Indonesia sangat memprihatinkan kita. Otda yang
harusnya menyederhanakan dan mempercepat sistem pelayanan publik untuk
mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dari daerah justru memberikan celah
tumbuh suburnya koruptor di daerah-daerah, yang berujung pada high cost economic dan ketidakpastian
hukum.
Realitas sistem birokrasi koruptif telah
mengkristal pada instansi pemerintah daerah. Karena itu, perilaku koruptif
menjadi bagian dalam sistem pelayanan publik di daerah. Bangunan sistem
birokrasi tersebut pasti melahirkan lingkaran setan koruptif tanpa akhir.
Sistem birokrasi korup membuat para birokrat ikut korup. Demikian sebaliknya,
terjadi resiprokal. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda moratorium korupsi
di daerah di seluruh Indonesia. Malah semakin meningkat praktik pungli pada
semua sektor bisnis di daerah. Di Kalimantan, misalnya, dapat kita saksikan
aktivitas pertambangan tanpa izin (peti) batu bara.
Kenyataan menunjukkan, tidak sedikit proyek
bisnis terlaksana jika pebisnis memiliki kedekatan pribadi dengan kepala
daerah. Hal itu membuat hubungan kepala daerah dan pelaku bisnis swasta
menjadi vertikal, tidak partnership. Akibatnya, sangat rawan terjadi
penyalahgunaan kekuasaan melalui kebijakan dan tindakan para kepala daerah.
Pemda yang Kredibel
Untuk menyelesaikan lemahnya pengelolaan
pemerintahan daerah, perlu dilakukan perubahan mendasar penyelenggaraan
pemerintahan daerah agar kredibel. Pertama, pemerintah pusat harus
mengevaluasi penerapan otonomi daerah secara menyeluruh. Pemekaran daerah
dihentikan sampai ditentukan indikator operasional standar minimum menilai
keberhasilan otonomi daerah.
Kedua, meningkatkan peran KPK sesuai dengan UU
No 30 Tahun 2002 Pasal 26 2d untuk melakukan pengawasan inter nal dan
pengaduan masyarakat.
Fungsi itu perlu dikuatkan melalui sosialisasi intensif
agar masyarakat dan swasta tidak takut melaporkan tindakan korup dilakukan
kepala dan birokrat daerah.
Ketiga, melakukan revisi pada UU No 32 Tahun
2004. UU itu tidak memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat untuk
menindak kepala daerah yang bermasalah. Akibatnya, kepala daerah susah
`diatur' dan dikontrol pemerintah pusat.
Selain itu perlu disadari, keterlibatan
pebisnis dalam praktik korupsi di daerah pada hakikatnya bukan kemauan
mereka. Bila kepala dan birokrasi daerah bersih dari KKN, adil, profesional,
dan kredibel, pebisnis pasti lebih senang karena ada kepastian positif dari
pemerintah daerah.
Untuk itu, sudah mendesak adanya pembenahan
sistem implementasi otonomi daerah agar tidak memberikan risiko baru dalam
berbisnis di seluruh daerah di Indonesia.
Praktik otonomi daerah perlu diperbaiki agar
bisa memajukan kesejahteraan rakyat. Fenomena `raja kecil' harus menjadi
masalah serius dan segera dimusnahkan karena sangat merugikan perkembangan
ekonomi Indonesia secara keseluruhan dan meningkatkan risiko politik bagi
investor menanam modal di Indonesia. Praktik otonomi daerah perlu diperbaiki
agar bisa memajukan kesejahteraan rakyat. Fenomena `raja kecil' harus menjadi
masalah serius dan segera dimusnahkan karena sangat merugikan perkembangan
ekonomi Indonesia secara keseluruhan dan meningkatkan risiko politik bagi
investor menanam modal di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar