Topeng-Topeng
Kekuasaan
L Murbandono Hs ; Peminat dan Pengamat Peradaban, Tinggal di
Ambarawa Kabupaten Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 28 November 2012
NEGARA kita
hari-hari ini disandera tiga dagelan. Pertama; sejumlah individu bermasalah
mengibar-ngibarkan diri sebagai tokoh di panggung politik, didukung aneka
entitas bertopeng warna-warni. Kedua; para koruptor kakap makin pandai
berkilah dan makin hebat berkongkalikong dengan banyak pihak hingga makin
sulit diseret ke penjara. Ketiga; di arena drama nasional konflik penjahat
lawan bandit dalam perebutan uang dan kuasa terus terjadi, dimanipulasi
seolah-olah menjadi konflik si baik lawan si jahat, manakala tidak ada tokoh
protagonis di dalamnya.
Tiga dagelan
itu mulai bergulir sejak Soeharto lengser dan makin seru pada hari-hari ini.
Maka lahirlah tiga malapetaka. Pertama; nalar sehat digiring menjadi lumpuh.
Kedua; sikap pikir rakyat dibuat macet hingga hanya mampu menonton perang
topeng tanpa bangkit kesadaran untuk membuka topeng-topeng itu.
Ketiga;
rakyat terus-menerus dimanipulasi, lelah terperangkap dalam banyak isu
tetek-bengek, dan tak bisa fokus menghadapi soal-soal mendasar kenegaraan.
Artinya,
negara kita saat ini terpuruk dalam tragedi karena kelengahan dan kebodohan
kita sendiri. Kita lengah sehingga taktik tatanan kekuasaan berhasil mengecoh
seluruh sektor kehidupan. Kita bodoh sehingga manipulasi media mengecoh
publik hingga kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi ruwet.
Artinya, siapa
saja bisa melakukan apa saja menuju peradaban yang makin tidak bermutu. Jadi,
jangan lagi lengah dan jangan membiarkan diri tetap bodoh. Kita harus lebih
waspada pada manipulasi tatanan kekuasaan dan mempercerdas diri menghadapi
manipulasi media. Ini sukar sekali tapi harus dilakukan. Syarat utama
pelaksanaannya adalah terus-menerus fokus pada persoalan-persoalan mendasar
sesungguhnya yang memanipulasi negara kita.
Kegagalan Reformasi
Salah satu
persoalan dasar yang harus terus dipersoalkan adalah kegagalan reformasi. Di
atas kertas Orba sudah tercoret tetapi dalam praktik tidak diikuti sikap
pikir sospolekbudhankam yang tepat sehingga kelengseran Soeharto tidak
menghasilkan tatanan kekuasaan reformis. Dengan tambal-sumbal sana sini,
bagian-bagian kinerja semua pemerintahan setelah Soeharto pada hakikatnya
meneruskan peradaban Orba dalam sosio budaya, ekonomi, dan politik.
Fenomena-fenomenanya amat banyak yang
intinya: tatanan kekuasaan memberi peluang kiprah apa saja bagi tokoh-tokoh
Orba, klik-klik dan seluruh ikutannya yang dalam logika reformasi mestinya
masuk bui. Itu terjadi sebab para reformator secara bertahap dicaplok mereka
yang mestinya direformasi.
Transisi
menuju tatanan demokratis dari tatanan otoriter tidak pernah lewat jembatan
transisi, padahal itu prinsip suatu reformasi. Jembatan transisi yang mutlak
itu tak pernah ada sehingga “gelembung-gelembung jahat jasad rahwana” Orba
bisa kiprah mengobrak-abrik segala unsur reformasi. Reformasi yang intinya
melakukan perubahan struktural tatanan kekuasaan, tidak bisa terjadi.
Maka
kapitalisme vulgar, neofeodalisme, koncoisme, kongkalikongisme,
slintutanisme, dan premanisme yang menjadi watak Orba selama 32 tahun itu
tetap awet, dilanjutkan para penguasa sekarang dalam bentuk-bentuk lain dan
topeng-topeng halus dengan ditopang retorika muluk-muluk demi rakyat.
Karena itu,
refleksi politis yang mendasar tentang inti reformasi menjadi mutlak,
misalnya refleksi berikut: jika PPP dan PDIP semasa Orba tak lebih adalah
Golkar jilid I dan II, apakah semua partai saat ini, yang bisa lulus
berkibar-kibar dalam arena perebutan kekuasaan setelah melewati saringan
“aturan main”, adalah berbagai jilid goltah (golongan entah)?
Ultra Kanan
Goltah adalah
individu-individu, agen, sindikat dan sejenisnya yang membebek jadi budak
ideologi “ultrakanan ekonomi neoliberal pasar bebas kapitalisme global” yang
harus ditolak. Mengapa? Sebab ia bertentangan dengan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia (Pancasila) yang telah dijabarkan Bung Karno dalam
sosialisme ala Indonesia, yakni sistem sosialis yang memberi tempat pada
“kapitalisme rakyat”.
Maka seluruh
rakyat Indonesia hendaknya bersatu melawan ’’golongan entah’’ sebagai musuh
bersama. Ideologi “ultrakanan ekonomi neoliberal pasar bebas kapitalisme
global” harus dilawan sebab itu jenis kapitalisme paling kasar yang
mendewakan kapital atau uang di atas segalanya. Ia tidak peduli pada semua
jenis moral kerakyatan.
Dengan
mengutamakan akumulasi keuntungan demi pemupukan modal, ia tergantung dari
kontrol absolut para pemilik modal besar. Maka para kapitalis menjadi penentu
apa saja, termasuk mendikte beleid pemerintah sehingga selalu hanya
menguntungkan kaum kaya ketimbang demi kesejahteraan rakyat luas. Ia menjajah
pasar, merusak etika pasar, tidak memungkinkan persaingan yang adil di antara
seluruh pelaku pasar ekonomi rakyat. Ia juga tidak mungkin menjadi malaikat
bagi kaum buruh yang tetes keringatnya dalam proses produksi tidak pernah
dihitung sebagai bagian intrinsik modal selain sebagai sekrup industri.
Terpenting,
“ultrakanan ekonomi neoliberal pasar bebas kapitalisme global” adalah
ideologi jahat (untuk mengetahui kejahatannya generasi muda harus tekun
mempelajari sejarah dunia kiri dan sejarah dunia kanan secara seimbang) yang
akan terus memantapkan eksistensinya. Maka ia masuk politik dan di negara
kita terus mempoduksi topeng-topeng kekuasan yang merusak demokrasi rakyat.
Untuk menjadi
lurah, bupati, wali kota, gubernur, dan presiden, kita harus didukung para
kapitalis; dari lurah sampai presiden, siapa di negara kita saat ini yang
bisa terpilih tanpa uang? Berapa anggota DPRD, DPD, dan DPR yang berhasil
menduduki posnya tanpa dukungan uang? Bendera partai-partai apa di Indonesia
yang bisa berkibar-kibar tanpa dukungan uang? Kapan topeng-topeng itu dibuka
sehingga tampak wajah sebenarnya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar