Prospek
Kurukulum Baru
Agus Suwignyo ; Pedagog cum Sejarawan Pendidikan,
FIB UGM Yogyakarta
|
KOMPAS,
26 November 2012
Pemerintah sedang mematangkan kurikulum
baru dan berencana memberlakukannya mulai tahun ajaran 2013/2014. Kurikulum
itu akan ramping dalam jumlah mata pelajaran.
Misalnya, untuk jenjang sekolah dasar,
hanya ada mata pelajaran Agama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan,
Bahasa Indonesia, Matematika, Seni Budaya, dan Jasmani/Kesehatan.
Dengan hanya enam mata pelajaran, menyusut
dari 12 selama ini, pendidikan di SD diharapkan lebih fokus pada aspek-aspek
kemampuan dasar dan tidak membebani murid. Secara umum kurikulum baru
diharapkan membentuk manusia Indonesia yang berakhlak, berkarakter mulia,
berbadan sehat, cerdas, berkepribadian Indonesia, dan menjunjung nilai-nilai
demokrasi.
Terlalu Dini
Saat ini masih terlalu dini menilai apakah
kurikulum baru tersebut akan meningkatkan mutu pendidikan nasional dan melahirkan
generasi Indonesia berkompeten seperti yang diharapkan. Meskipun demikian,
ada prakondisi-prakondisi yang harus dipenuhi agar kurikulum baru dapat
diterapkan sesuai dengan desain dan maksudnya. Prakondisi itu mencakup
minimal tiga hal.
Pertama, guru-guru telah memiliki kesiapan
memadai, baik dalam segi kualifikasi dan kompetensi maupun dalam hal kesamaan
pemahaman paradigma pendidikan yang dijabarkan di dalam kurikulum. Faktanya
sekarang, kualifikasi dan kompetensi guru masih amat beragam. Pemerintah dan
masyarakat sedang berjuang menciptakan standardisasi kualifikasi formal guru
lewat aneka program pendidikan, pelatihan, dan sertifikasi.
Namun, mengingat sekitar 2,6 juta guru yang
ada di Indonesia saat ini adalah luaran dari model pendidikan guru pada
periode yang berbeda, kompetensi mereka tidak akan serta-merta terstandarkan
oleh kualifikasi formal.
Di samping itu, standardisasi melalui
program sertifikasi telah menggeser hakikat kompetensi kepada suatu perkara
teknis tetapi manusiawi, yakni tunjangan. Semua persoalan menyangkut guru
dipastikan akan menghambat pemahaman dan implementasi konsep-dasar pendidikan
yang diusung kurikulum baru dan, karena itu, sebaiknya dituntaskan sebelum
kurikulum diberlakukan.
Kedua, kurikulum baru dapat diterapkan sesuai
dengan desain dan tujuannya jika kita semua berhenti memaksa sekolah
mengajarkan sesuatu di luar hakikat dan kapasitasnya! Selama ini banyak pihak
berupaya menambahkan setiap hal pada kurikulum sekolah dan memaksa sekolah
menjadi rujukan solusi atas aneka persoalan masyarakat, misalnya soal
korupsi.
Muncul pandangan salah kaprah bahwa
persoalan perilaku dan imoralitas, yang seharusnya menjadi ranah lunak dan
tersembunyi pada kurikulum, harus diatasi dengan suatu mata pelajaran khusus
yang merupakan wujud kurikulum keras dan eksplisit.
Implementasi kurikulum baru nanti harus
tetap fokus pada desain, konsep, dan tujuan awalnya. Aspek-aspek pembentukan
disposisi sikap tidak perlu dikeraskan dan dijadikan tujuan langsung
pengajaran.
Biarkan aspek-aspek itu menjadi
akibat-penyerta dari profil seseorang yang berpengetahuan dan terdidik.
Seperti bunyi peribahasa non multa, sed
multum, postur kurikulum yang ramping perlu dibarengi dengan kedalaman
cakupan kompetensi dasar sesuai dengan usia perkembangan murid dan hakikat
pendidikan sekolah.
Ketiga, kurikulum akan berhasil jika konsep
”multimuatan” pada mata pelajaran tidak menghambat pembelajaran ”ilmu sebagai
ilmu”. Salah satu argumentasi yang mendasari perampingan kurikulum adalah
bahwa mata pelajaran tertentu dapat mencakup substansi mata pelajaran lain
yang selama ini diberikan terpisah.
Misalnya, mata pelajaran Bahasa Indonesia
dapat bermuatan hal-hal tentang Ilmu Alam sehingga Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) dirasakan tidak perlu menjadi mata pelajaran tersendiri. Argumentasi
tersebut dapat dipahami, tetapi sangat mengkhawatirkan karena membuka peluang
sabotase dan monopoli substansi mata pelajaran yang justru membahayakan
penyemaian nilai-nilai demokrasi.
Dilandasi Keprihatinan
Kurikulum yang sedang dimatangkan
pemerintah antara lain dilandasi keprihatinan atas hilangnya akhlak mulia,
rendahnya moral dan etika berbangsa, menguatnya radikalisme, dan melemahnya
toleransi. Dikhawatirkan, kurikulum akan dijejali oleh muatan-muatan tentang
upaya membangun karakter semata.
Murid tidak akan pernah benar-benar belajar dan diajari
bahasa Indonesia sebagai bahasa Indonesia, tetapi bahasa Indonesia pura-pura
yang intinya pembentukan karakter. Seni budaya
bukan sebagai seni budaya wujud identitas, tetapi alat membentuk karakter.
Pendidikan jasmani/kesehatan dijejali muatan akhlak mulia sehingga bentuk
baju saat pelajaran berenang atau bermain voli pun harus diatur.
Jadi, desain multimuatan dalam satu mata
pelajaran berpotensi mengideoligisasi ilmu dan mengabaikan makna ilmu sebagai
ilmu. Fenomena sabotase sudah teramati sejak pemberlakuan Kurikulum Tingkat
Satuan Pengajaran (KTSP). Tidak mengherankan jika sejumlah survei menunjukkan
menguatnya sikap intoleran di kalangan murid-murid sekolah belakangan ini.
Dengan KTSP dan desain kurikulum
multimuatan yang akan diterapkan, potensi sabotase dan monopoli akan lebih
terbuka sebab baik pendekatan maupun substansi pengajaran memungkinkan hal
itu.
Di luar semua itu, pemberlakuan kurikulum
baru nanti akan langsung melahirkan hiruk-pikuk baru persoalan teknis.
Pertama, perampingan jumlah mata pelajaran akan menimbulkan masalah bagi
guru-guru yang bidang studinya tidak ada di dalam kurikulum.
Di SD, misalnya, guru bidang studi IPA,
IPS, dan Bahasa Inggris akan bagaikan di-PHK. Ini menambah kompleksitas
persoalan yang sudah ada selama ini tentang pemenuhan persyaratan minimal jam
mengajar per minggu sebagai syarat penerimaan tunjangan sertifikasi.
Kedua, para kepala sekolah akan bingung.
Guru-guru yang bidang studinya tidak ada di dalam
kurikulum harus mengajar mata pelajaran apa? Jika seorang guru IPA ditugaskan
mengajar Bahasa Indonesia, apakah hal itu sesuai dengan ketentuan profesional
yang mensyaratkan guru harus mengajar sesuai dengan latar belakang
pendidikannya?
Ketiga, para penerbit akan mengalami
kerugian besar akibat tidak dipakainya buku-buku berbagai mata pelajaran yang
tidak ada lagi di dalam kurikulum. Bagaimana pula buku sesuai dengan
kurikulum baru harus disusun? Terakhir, dengan kurikulum baru berkonsep dan
berparadigma baru, apakah mitos ujian nasional masih relevan dipertahankan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar