Instabilitas
Harga Daging
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penggiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”
|
KORAN
TEMPO, 24 November 2012
Seperti lari kuda
liar, harga daging sapi akhirakhir ini sulit dijinakkan. Harga daging karkas
melenting tinggi. Minggu ketiga November, harga daging karkas di rumah
pemotongan hewan mencapai 68.000/kg, naik 27% dari harga awal tahun
(Rp52.000–55.000/kg). Seperti lari kuda liar, harga daging sapi
akhirakhir ini sulit dijinakkan. Harga daging karkas melenting tinggi. Minggu
ketiga November,harga daging karkas di rumah pemotongan hewan mencapai
68.000/kg, naik 27% dari harga awal tahun (Rp52.000–55.000/kg).
Harga di tingkat konsumen pun melonjak hingga Rp90.000/kg.Padahal, harga di awal tahun baru Rp70.000/kg. Kenaikan harga yang tak terkendali itu membuat pedagang daging sapi mogok berjualan. Mereka menghendaki campur tangan pemerintah agar harga daging kembali normal,paling tidak seperti harga-harga pada awal tahun. Importir dan pemerintah saling tuding.Menurut importir, kenaikan harga terjadi karena daging langka. Sumber masalahnya, pemerintah memangkas kuota impor daging dan sapi secara drastis. Pada 2011 kuota impor daging dan sapi masing-masing 100.000 ton dan 560.000 ekor.Tahun ini kuota impor daging dan sapi dipangkas tinggal 34.000 ton dan 283 ekor.Kuota impor dipangkas lebih separuh.Ketika pasokan langka, sesuai hukum supply-demand, harga melenting tinggi karena produksi domestik tak memadai. Versi ini disangkal pemerintah. Menurut pemerintah, pasokan cukup. Sapi lokal cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan. Stok di perusahaan penggemukan sapi di Jabodetabek bahkan mencapai130.000ekor. PadaNovember– Desember juga akan masuk sisa impor kuartal IV sebanyak 15.000 sapi.Jika masih kurang, ada 5.000 sapi siap potong dari Nusa Tenggara Barat. Menurut versi pemerintah, masalah ada pada distribusi. Pertanyaannya, mana yang benar? Tentu pemerintah tidak gegabah merilis data stok yang ada saat ini. Demikian pula, pemerintah tak akan mainmain ketika memangkas kuota impor (daging dan sapi) sebab taruhannya terlalu mahal. Kalau harga bergejolak,bukan saja konsumen yang dirugikan, pemerintah juga akan kena getahnya. Karena itu, terlalu berisiko bagi pemerintah untuk bermain-main dengan data dan kuota impor. Dari sisi permintaan, saat ini tidak ada tekanan atau gejolak. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setelah Idul Fitri dan Idul Adha harga daging bakal menurun.Karena itu,kemungkinan penyebab kenaikan harga daging kali ini ada dua: distribusi tidak lancar atau ada permainan harga. Seperti bisnis lain dalam pangan dan pertanian, distribusi daging belum efisien. Distribusi melibatkan mata rantai yang panjang. Ketika terjadi gangguan di satu titik, dampaknya bakal panjang. Pembagian keuntungan juga tidak adil.Porsi keuntungan terbesar justru dinikmati pedagang perantara, bukan oleh peternak. Jika ini masalahnya, dalam jangka pendek langkah yang bisa dilakukan adalah melancarkan mobilisasi sapi dari sentra produsen ke konsumen.Mobilisasi harus dipercepat. Solusinya sedikit berbeda apabila yang terjadi adalah permainan harga. Selain memobilisasi sapi, pemerintah juga harus menekan para importir agar melepas stok (daging dan sapi) yang dikuasai. Jika membandel,para importir bisa dijerat delik tindak pidana penimbunan. Untuk bisa melakukan ini, pemerintah harus punya data kuat. Sinyalemen permainan harga didasari oleh begitu besarnya peran importir dalam bisnis daging domestik. Data menunjukkan, neraca produksi daging sapi pada 2010 hanya memenuhi 64,9% kebutuhan atau kurang 177,1 ton (35%) daging. Ini bisnis yang amat besar.Ketika kuota impor (daging dan sapi) dipangkas, keuntungan mereka tergerus.Gangguan dalam bentuk gejolak harga bisa dimaknai sebagai upaya mereka mengembalikan kuasa itu. Ke depan gangguan semacam ini diperkirakan tidak akan berhenti. Pemerintah tidak boleh surut langkah untuk tetap pada tujuan swasembada daging pada 2014.Secara ekonomi impor tak hanya menguras devisa, tetapi juga disinsentif bagi usaha ternak sapi domestik.Menurut perhitungan kasar, setiap impor satu ton daging dan daging itu masuk ke pasar tradisional,kita akan kehilangan 12 orang pekerja atau buruh (Tawaf, 2009). Secara politik, ketergantungan yang tinggi pada produk impor akan membuat posisi kita lemah. Dengan posisi negara pengekspor sebagai price taker, Indonesia akan mudah didikte negara-negara pengekspor. Lagipula,harga daging sapi di pasar amat fluktuatif. Struktur pasar daging sapi makin terkonsentrasi.Artinya makin mendekati pasar dalam struktur monopoli. Menurut konvensi, suatu struktur pasar dinamakan pasar yang kompetitif apabila dominasi dari empat perusahaan terbesar tidak lebih dari 40%. Heffernan dan Hendrickson (2002) menemukan, tingkat konsentrasi pasar dunia dewasa ini mencapai 81% untuk daging (beef), 59% untuk daging babi (pork), dan 50% untuk broiler, yang jauh lebih tinggi dari kondisi masa lalu. Di tingkat lokal derajat konsentrasi perusahaan bisa lebih besar, terutama yang terintegrasi secara vertikal atau horizontal. Indonesia memiliki peluang besar untuk swasembada daging sapi. Indonesia memiliki potensi sumber daya lokal dalam bentuk berbagai jenis bangsa sapi,sumber daya pakan melimpah, dan teknologi budi daya yang memadai (Ilham, 2007). Market size perdagangan daging sapi di Indonesia amat tinggi,di atas Rp20 triliun pada 2008 (Subagyo, 2009).Apabila semua nilai ini bisa dipenuhi dari daging sapi domestik,dampak penggandanya akan amat besar. Menurut Badan Pusat Statistik, pada 2003 sebanyak 6,51 juta rumah tangga terlibat dalam usaha peternakan yang porsi terbesar di ternak sapi potong. Sentra produksi tersebar di banyak daerah,sedangkan sentra konsumsi terpusat di perkotaan.Kondisi ini akan bisa menggerakkan perekonomian regional. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar