Hasrat Korupsi
Fredy Wansyah Putra ; Alumnus Unpad, Siswa SC STF Driyarkara
|
SUARA
KARYA, 27 November 2012
Bangsa
Indonesia tampaknya menaruh harapan besar kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) akibat semakin tingginya skandal-skandal korupsi di Tanah Air. Setelah
kasus Century, muncul kasus Hambalang dan kemudian kasus simulator SIM.
Terkait ketiga kasus ini, hingga kini masih belum jelas tindak lanjutnya.
Belum lagi, skandal-skandal lainnya yang diduga melibatkan para anggota dewan
yang terhormat. Hal ini menandakan bahwa penanganan kasus-kasus korupsi di
Tanah Air oleh lembaga independen khusus kasus korupsi, belum efektif.
Jauh sebelum
KPK ditetapkan, yang dibentuk berdasarkan UU RI No 30 Tahun 2002,
lembaga-lembaga serupa telah didirikan. Di era Orde Lama, melalui
kepemimpinan AH Nasution, dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran).
Selanjutnya, pada 1963, melalui Kepres No 275, muncul 'Operasi Budhi' dengan
pimpinan masih AH Nasution. Menimbang efektivitas kinerja Paran, Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kotrar) pun didirikan, yang dipimpin
langsung oleh Presiden Soekarno.
Sedangkan di
era Orde Baru, ada Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dan Operasi Tertib (Opstib).
Pada era reformasi, ada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Tim Gabungan Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), yang menjadi cikal bakal KPK se-karang.
Namun, karena afektivitas, lembaga-lembaga sebelum KPK 'gulung tikar'.
Memang, patut
diapresiasi kerja-kerja KPK selama ini hingga menetapkan beberapa orang
sebagai tersangka dalam beberapa megaskandal. Namun, terlalu naif apabila
bangsa ini menaruh harapan setinggi-tingginya kepada KPK untuk membersihkan
bangsa dari perbuatan korupsi. Skandal korupsi bukan semata perbuatan
instansi (pemerintah), sehingga penangannya pun bukan cuma sebatas penanganan
instansi. Korupsi dilakukan oleh manusia: manusia berhasrat tinggi. Perbaikan
bangsa dari perbuatan korupsi seharusnya dibentuk penanganan antikorupsi yang
menyinggung kepribadian dan kesadaran manusia.
Persoalan
korupsi bukan sekadar persoalan institusi, tatakelola negara (good government), masyarakat, dan
individu semata. Lebih kompleks dari itu. Perbuatan korupsi oleh seseorang
maupun berkelompok (berjamaah) bermula dari keinginan seseorang (hasrat)
untuk memenuhi apa yang dianggapnya sebagai kebutuhan. Karena keinginan itu
sifatnya tiada batas, kebutuhan pun seakan-akan dilebih-lebihkan, keluar batas
dari kebutuhan dasar diri. Dengan cara pikir bebas, seseorang pun bersiasat
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Apabila siasat terlalu rumit, maka
berkelompok merupakan cara yang dapat ditempuh. Sederhananya, korupsi yang
dilakukan seseorang itu terkait suatu lembaga, kelompok, dan individu.
Secara
individu, hasrat itu penggerak dari segala perbuatan manusia, termasuk untuk
berbuat korup. Hasrat di dalam diri koruptor terlalu berlebih. Hasrat untuk
membeli mobil mewah, rumah mewah, menghias tubuh dengan pernak-pernik ternama
mampu menggerakkan semangat seseorang untuk bekerja (ekstra) untuk pemenuhan
hasratnya. Hasrat memenuhi libido mampu menggerakkan seseorang untuk menarik
lawan jenis hingga pemenuhan hasratnya tercapai. Hasrat mampu mengarahkan
individu untuk berbuat apa pun agar keinginannya terpenuhi. Tingginya hasrat
di dalam koruptor itulah mampu menggerakkan diri melewati batas-batas etis,
korupsi.
Salah satu
sifat dasar manusia ialah hasrat tersebut. Hasrat dapat menjadi buas apabila
kondisi lingkungan (budaya-masyarakat) mendukung, termasuk bagaimana
cerita-cerita yang berkembang di masyarakat, secara historis sehingga
berpengaruh terhadap karakter manusianya.
Di dalam mythem
keagamaan, misalnya, selain mythem-mythem (klasik) Nusantara lainnya, ada
kisah Adam memakan buah kuldi. Mythem ini berkembang hingga berpotensi
membentuk karakter individu yang menyerupai Adam, yang 'bekerja' di
tengah-tengah kehidupan masyarakat. Di sisi lain, kisah yang diciptakan
sebagai pembelajaran etika itu menunjukkan bahwa laki-laki cenderung
berperilaku korup atas sikap yang tak terkendali, seperti Adam yang telah
dilarang memakan buah kuldi tetapi tetap memakan buah kuldi itu. Adam
memiliki hasrat (dorongan atau will) yang jauh memuncak ketika melihat objek
yang menstimulus hasrat tersebut. Kontestasi pemenuhan hasrat di dalam
kehidupan bermasyarakat zaman kapitalisme ini, seseorang berebut memiliki
mobil mewah atau barang-barang mewah lainnya. Seakan-akan kebutuhan,
barang-barang mewah jadi stimulan agar hasrat semakin tinggi.
Jauh sebelum
zaman kapitalisme merebak, seseorang berebut memiliki batas-batas tanah. Di
dalam se-jarah kenegaraan yang dipimpin oleh raja, seperti Majapahit dan
Mataram, yang dikenal akibat perbuatan korup yang dilakukan petinggi-petinggi
kerajaan, menunjukkan bahwa kontestasi hasrat memunculkan potensi-potensi
ke-curangan atau perbuatan tidak etis di dalam kehidupan bernegara yang
menyebabkan kerugian besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat. Pada
intinya, kontestasi pemenuhan hasrat terus akan berlanjut.
Perlu langkah
solutif sampai ke akar (radic)
untuk meminimlisasi perbuatan korup sebelum mencapai fase cita-cita menjadi
negara yang bebas korupsi. Lang-kah penyadaran antikorupsi dan karakter
antikorupsi perlu dicanangkan kepada siswa-siswi. Langkah ini diambil guna
memasyara-katkan antikorupsi, sebagai masyarakat calon penerus bangsa.
Di sisi lain, bagi masya-rakat
remaja yang sungguh-sungguh ingin mengabdi kepada bangsa, diperlukan medium
pendidikan ideologis yang efektif untuk membina bibit-bibit unggul calon
pemimpin negara. Dalam hal ini partai, misalnya, sebagai 'distributor'
orang-orang yang duduk di kursi amanah rakyat, diharapkan mampu mengemban
tugas tersebut. Sejak fase remaja kader-kader partai dibina hingga menyentuh pembinaan
hasrat pribadi, selain pembinaan ideologis sesuai ideologi yang diusung
partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar