Mengadili Wakil Presiden
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan
Kebijakan Transparency International Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 24 November 2012
Penuntasan
dugaan korupsi dalam kasus Bank Century memasuki babak baru setelah penetapan
dua tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Penetapan yang diumumkan
dalam rapat dengan Tim Pengawas Century DPR ini menyeret pejabat Bank
Indonesia selevel deputi, yaitu Deputi Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa
(BM) serta Deputi Bidang Pengawasan (SCF).
Sebagai lembaga negara yang dijamin
keberadaannya oleh konstitusi (Pasal 23D UUD 1945), BI memiliki fungsi
strategis dalam kaitan dengan keuangan negara. Termasuk dalam hal pengucuran
dana talangan kepada Bank Century yang ditengarai sarat dengan praktek korup.
Mengingat fungsi besar itu, setiap pimpinan di jajaran struktur BI, dimulai
dari gubernur, deputi gubernur senior, hingga deputi gubernur, bertanggung
jawab atas setiap penyimpangan yang terjadi di institusinya. Gubernur BI
sebagai pemimpin tentunya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab jika
penyimpangan itu terjadi.
Jika menilik ke belakang, Wakil Presiden
Boediono adalah Gubernur BI pada saat terjadinya persetujuan dan pengucuran
dana talangan tersebut. Belakangan muncul berbagai argumentasi yang
menyatakan bahwa wakil presiden tidak bisa dibawa ke jalur hukum oleh penegak
hukum (KPK) terkait dengan kebijakannya pada masa lalu.
Tafsir Penyelenggara Negara
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang
KPK), pasal 11 huruf (a) menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang
melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara negara.
Tafsir "penyelenggara negara"
yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah penyelenggara negara sebagaimana
disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (penjelasan
pasal 11 huruf a). Jika merujuk pada pasal 1 angka (1) UU Nomor 28 Tahun
1999, penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi
eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara.
Meminjam doktrin Montesquieu tentang Trias
Politika, fungsi eksekutif dalam susunan negara dalam prakteknya di Indonesia
dilaksanakan oleh presiden dan wakil presiden di tingkat pusat. Adapun di
tingkat lokal, hal itu dijalankan oleh kepala daerah provinsi/kabupaten/kota.
Ini diperkuat juga oleh pasal 2 UU Nomor 28/1999, bahwa pejabat pada lembaga
tinggi negara adalah salah satu penyelenggara negara. Dalam kajian hukum tata
negara setelah perubahan UUD 1945, keberadaan lembaga tinggi negara salah
satunya ditujukan kepada jabatan presiden dan wakil presiden.
Melihat konstruksi ketentuan di atas,
Undang-Undang KPK sama sekali tidak memberikan privilege dalam bentuk apa pun
kepada siapa pun terkait dengan tindakan KPK dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan atas kasus korupsi. Tidak ada pengecualian
terhadap siapa pun, termasuk wakil presiden sekalipun.
Tafsir Konstitusi UUD 1945 memberi ruang
bagi presiden atau wakil presiden diberhentikan dalam masa jabatannya. Pasal
7A menjelaskan, presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Dalam kajian hukum tata negara, ada dua
mekanisme pemberhentian ini, yaitu melalui impeachment dan forum previlegiatum
(Denny Indrayana: 2008). Impeachment (pemakzulan) merupakan proses badan
legislatif (DPR) secara resmi menjatuhkan dakwaan kepada pejabat tinggi
negara pada umumnya. Prosesnya bisa dipersamakan dengan dakwaan dalam
kasus-kasus kriminal. Black's Law
Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai "a criminal proceeding against a public officer, before a quasi
political court, instituted by a written accusation called 'articles of
impeachment".
Adapun forum previlegiatum adalah konsep pemberhentian pejabat tinggi negara
yang memiliki posisi strategis di pemerintahan melalui mekanisme peradilan
khusus (special legal proceedings).
Prosesnya dilakukan melalui mekanisme pengadilan yang dipercepat tanpa
melalui jenjang pemeriksaan pengadilan konvensional dari tingkat bawah.
Di Indonesia, hal ini kemudian diadopsi
namun dengan melakukan persilangan di antara kedua sistem ini. Impeachment
akan dijalankan oleh DPR dengan persyaratan yang ditetapkan oleh konstitusi.
Sedangkan forum previlegiatum-nya adalah Mahkamah Konstitusi (MK). Dakwaan
DPR atas presiden/wakil presiden harus dibuktikan terlebih dulu oleh MK.
Konsep ini dikategorikan dalam ranah
peradilan tata negara (constitutional
court). Proses peradilan pidana, termasuk korupsi atas presiden/wakil
presiden, bisa saja dilakukan tanpa harus menunggu hasil dari peradilan tata
negara dimaksud. Sebab, pada prinsipnya keduanya berada dalam ranah peradilan
yang berbeda. Bahkan hasil dari proses peradilan pidana akan memperkuat
argumentasi dalam merumuskan "dakwaan"
di ranah peradilan tata negara.
Konstitusi
sudah sangat jelas mengatur hal ini, prinsip equal dalam hukum juga
ditegaskan secara jelas dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Pemberian "privilege"
terhadap pejabat negara dalam proses hukum justru menjadi bentuk pengingkaran
atas konstitusi. Maka, tidak ada pembenaran yang bisa dilakukan untuk
menjustifikasi bahwa wakil presiden (aktif) kebal terhadap proses hukum
pidana. Sepanjang penegak hukum memiliki bukti untuk meminta
pertanggungjawaban pidana, sepanjang itu pula penegak hukum wajib mengusut
dan mengadilinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar