Jakarta Baru
dan Transfaransi 2.0
Gun Gun Heryanto ; Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute,
Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
SINDO,
27 November 2012
Hal menarik di fase awal kepemimpinan Jokowi- Ahok di DKI adalah
gebrakan mereka mewujudkan Jakarta Baru seperti mereka janjikan saat kampanye
pilkada beberapa waktu lalu.Tak mudah memang mengurai benang kusut persoalan
Ibu Kota.
Birokrasi kerap menjadi taman labirin di mana warga DKI kerap berputarputar tak tahu jalan keluar yang tepat. Kini, Jokowi-Ahok telah memulai perjalanan panjang dan terjal, sekaligus mengambil tantangan kerasnya atmosfer kekuasaan. Menyinergiskan Peran Prematur jika mengatakan Jokowi-Ahok sukses mewujudkan Jakarta Baru! Namun, beberapa indikator awal membuat lampu harapan yang lama redup dan nyaris gelap gulita mulai menyala—meski masih remangremang. Sinergi gaya kepemimpinan dua sosok baru di puncak birokrasi DKI inilah yang menghidupkan asa perubahan. Jokowi menekankan pada kesantunan, politik harmoni, mengembangkan komunikasi interaksional, dan menjadi simbolisasi dari pemimpin low profile. Adapun Ahok melengkapinya dengan gaya koboi atau seperti yang sering dia sebut sendiri, yakni gaya “bad cop” dalam mengurusi para birokrat di Balai Kota yang sudah lama menjadi mesin birokrasi elitis dan kerap untouchable dari warga DKI sendiri.Jokowi fokus membangun komunikasi melalui pendekatan humanistik dengan publik eksternal seperti bertemu warga kumuh di bantaran kali, penghuni rusun, pasar-pasar,terminal,juga para gubernur dari pemerintah-pemerintah daerah sekitar. Ahok lain lagi, sibuk berjibaku mengeluarkan jurus verbal agresif, pendekatan komunikasi transaksional, bahkan psywar dengan publik internal seperti jajaran dinas di lingkungan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) DKI. Ibarat permainan bola, Jokowi menjadi striker yang setiap saat harus bermanuver kreatif tetapi cantik, Ahok seperti pemain bertahan yang menjadi garda pertahanan birokrasi agar tak mudah dijebol para “penguasa kegelapan”. Tentu Jokowi-Ahok bukan dewa, bukan pula superman! Mereka hanya dua manusia biasa yang dituntut bekerja dengan cara-cara yang tidak biasa. Ini pun menjadi tanggung jawab mereka berdua karena secara sadar dan sukarela mereka menerima penahbisan diri sebagai pemimpin Ibu Kota dengan kompleksitas persoalan. Ada tiga level tantangan Jokowi-Ahok yang wajib mereka urai. Di level makro tantangan bagi Jokowi adalah mengubah watak sekaligus wajah kepemimpinan Pemprov DKI yang elitis-birokratis ke teknokratis-humanis. Jika para elite di Pemprov DKI memiliki komitmen pada good governance dan clean government, langkah teknis beragam program oleh seluruh staf Pemprov DKI dan rekanan dari pihak swasta akan bermuara pada output yang sama: kebermanfaatan birokrasi untuk warga Jakarta. Di level mezo ada empat tantangan utama, yakni soal transparansi pemerintahan,pola komunikasi birokrasi dengan warga Jakarta, pola hubungan antara Pemprov DKI dengan pemerintahan pusat dan pemerintah-pemerintah daerah sekitar,serta relasi kuasa antara Jokowi-Ahok dengan DPRD DKI. Tantangan di level mikro, terkait hal-hal teknis berbagai kerja leading sector seperti transportasi publik,penanganan ketertiban umum,pendidikan, kesehatan,dan lain-lain. Apakah “blusukannya” Jokowi seperti saat ini merupakan bagian dari reality show seperti dituduhkan salah satu anggota DPRD DKI tempo hari? Mungkinkah gaya verbal agresif yang dipertontonkan Ahok di rapatrapat yang diunggah ke YouTube itu juga bagian politik pencitraan? Tentu pertanyaan tersebut akan lebih mudah mereka jawab jika keduanya fokus pada kualitas proses berbasis kinerja dengan skala prioritas yang jelas plus strategi mengomunikasikannya kepada khalayak luas. Jokowi-Ahok tidak lagi dalam posisi campaigning, melainkan governing. Karena itu, perannya tidak lagi berwacana dan berjanji terlebih dalam skala mikro, melainkan harus mendesain kebijakan umum yang properbaikan untuk warga DKI. Kinerja mereka harus berorientasi pada key performance index (KPI) yang bisa diraba, dirasakan sekaligus dinikmati warga DKI. Rumusannya mudah, jika apa yang dilakukan Jokowi- Ahok ini hanya temporer, sekadar euforia,dan tidak menunjukkan tren positif dalam jangka pendek, menengah, dan panjang tentu tidak keliru jika kita mengategorikannya sebagai pencitraan belaka. Risikonya, jika ini yang terjadi, figur Jokowi-Ahok akan terjebak pada lingkaran setan hiper-realitaspolitik citra. Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam The Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas. Strategi YouTube Jika melihat kiprahnya di fase awal, pasangan Jokowi-Ahok ini memang menjanjikan. Mereka mulai menjawab tantangan di level makro dan mezo, yakni mendekonstruksi birokrasi elitis menjadi lebih partisipatoris. Mereka mengembangkan komunikasi yang intensif dengan warga, pemerintah daerah sekitar, pemerintahan pusat, DPRD dan yang paling menarik sekaligus mampu memalingkan perhatian publik adalah mulai terasanya semangat transparansi. Warga terbelalak saat rapat-rapat Ahok dengan jajaran birokrat Pemprov DKI diunggah ke YouTube dan bisa ditonton oleh warga DKI. Hingga Jumat (23/11), video rapat Ahok dengan Dinas PU, misalnya, sudah dilihat oleh 1,2 juta netizen. Video tersebut disukai oleh 14.610 netizen, yang tak suka hanya 213. Demikian pula rapat Ahok dengan Dinas Perhubungan dan silaturahmi Ahok dengan jajaran PNS di lingkungan Pemprov DKI menjadi buah bibir. Pemanfaatan media sosial seperti ini menjadi terobosan cerdas. Pertama, media sosial bisa menjadi solusi keterbatasan media mainstream seperti televisi, koran, majalah, radio dll. Media mainstream punya keterbatasan rubrik atau air time dalam memublikasikan informasi secara detail. Kedua, tindakan ini kontekstual dengan perkembangan saat ini, yakni era migrasi dari web 1.0 ke web 2.0. Blumler dan Kavanagh (1999) menyebut melimpahnya informasi via internet ini sebagai third age of political communication. Setelah era retorika politik dan era media mainstream memang demokrasi via online memainkan peran signifikan. Ciri web 2.0,di mana netizen bukan lagi semata-mata konsumen media melainkan berperan ganda sebagai konsumen sekaligus produsen, menyebabkan akses informasi kian mudah,murah dan cepat. Warga DKI dengan cepat merespons video-video Ahok di YouTube sehingga sukses menciptakan atmosfer partisipatoris minimal di level kesadaran diskursif warga. Ketiga, transparansi 2.0 ala Ahok ini bisa menjadi shock therapy bagi para pemain yang nyaman dengan rezim ketertutupan informasi di lingkungan birokrasi. Akses informasi untuk publik via media sosial yang diinisiasi Jokowi- Ahok ini bisa menjadi salah satu upaya memutus praktik korupsi politik yang menjadi pintu masuk kleptokrasi. Mata rantai kongkalikong antara para pejabat eksekutif, legislatif, dan pengusaha kotor akan memuai dan putus jika birokrasi transparan dan akuntabel. Transparansi 2.0 penting sebagai bagian dari literasi politik warga. Akses informasi tak sekadar memberi pengetahuan, tapi juga sikap politik warga agar mereka berpartisipasi dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Jika konsisten dilakukan dan turut menjadi akselerator perbaikan pemerintahan, bukan mustahil transparansi 2.0 ala Jokowi-Ahok ini bisa menjadi model nasional. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar