Masa Depan
Demokrasi
Muhammad Abu Nadlir ; Dosen
Stebank Islam Mr Sjafruddin Prawiiranegara
Jakarta, Dan Peneliti The Fatwa Center |
SUARA
KARYA, 28 November 2012
Pembagian kekuasaan yang
mewujud dalam trias politika (eksekutif, legislatif dan judikatif) agaknya
memang menjamin ruang ekspresi dan partisipasi luas. Namun, jika melihat
sinergisitas kerjasama antara tiga kekuatan demokrasi itu, kita harus
berdis-kusi ulang.
Menurut Hariman
Siregar, mantan aktivis mahasiswa 1973, ada dua tujuan utama demokrasi.
Pertama, menggerakkan partisipasi luas kepada rakyat untuk terlibat aktif
dalam kepentingan publik. Bukan hanya dalam hal memilih, tetapi juga dipilih.
Kedua, bagaimana menyelesaikan perkara tanpa kekerasan, termasuk dalam soal
suksesi kepemimpinan (Jangan Bajak Demokrasi: 2008).
Dua
tujuan tersebut mengungkapkan bahwa keterbukaan dan kebebasan demokrasi
berpotensi luas membangun nuansa yang lebih humanis dan natural. Namun, ketika
tidak ada kesadaran kolektif untuk membangun bersama, yang terjadi bukanlah
sinergi, tapi saling menguasai. Bukan perjuangan meraih kesejahteraan, namun
melanggengkan status quo. Disini, kebebasan bukan sebagai medan perjuangan,
tapi bak panggung pertikaian, demi meloloskan misi kelompok dan pribadi.
Kecenderungan
itulah yang saya lihat dalam pelaksanaan demokrasi. Tidak ada kesepakatan
"pasti" antara eksekutif dengan legislatif. Bahkan, yudikatif
ka-dang bertolak belakang dengan keduanya. Mereka saling mempertahankan
ke-kuasaan. Visi kerakyatan hanya polesan belaka.
Dari sini, terjadilah
fenomena yang oleh Ikrar Nusa Bakti disebut dengan ungovernable, yakni adanya pemerintah tanpa pemerintahan.
Pemerintah, sebagai kekuatan eksekutif, tidak lagi memiliki wibawa di hadapan
legislatif dan yudikatif. Mereka berjuang untuk kepentingan masing-masing,
bukan untuk rakyat dan kepentingan bersama.
Selain itu,
sebagaimana kata Novel Ali, dosen Politik Undip Semarang, terjadinya
kesenjangan antara aktivis demokrasi dengan aktor demokrasi (sebut, praktisi)
di masyarakat Indonesia, semakin meneguhkan asumsi bahwa demokrasi semakin
sulit dicari efektivitasnya. Aktivis yang mengontrol kinerja demokrasi
terhalang arogansi para praktisi demokrasi di eksekutif, legislatif dan
judikatif.
Ada sementara pengamat
yang berpandangan bahwa Indonesia berpotensi besar disebut sebagai negara
yang gagal (failure state). Sebab
kepatuhan sosial demokrasi yang ada hanya bersifat semu (pseudo-obedien), tidak hakiki. Sehingga, negara tidak mampu
memenuhi kebutuhan rakyatnya, karena disibukkan dengan perebutan pengaruh
politik. Inilah ciri dari negara gagal sebagaimana disebutkan oleh penulis
muda, Imam Cahyono.
Boleh saja optimis
menatap masa depan demokrasi, namun tanpa disertai dengan penegakan visi misi
demokrasi menuju kemajuan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bang-
sa, sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, kiranya hanya akan menambah
legitimasi kegagalan pembangunan bangsa ini.
Karenanya, aktivis
demokrasi yang tersebar di LSM dan juga ormas yang ada, perlu menyusun ulang
strategi untuk mengontrol para praktisi demokrasi yang sekarang sedang
bekerja di lapangan politik praktis, agar tujuan demokrasi tidak tergadaikan
oleh kepentingan-kepentingan sesaat.
Namun ironis, acap kali,
para aktivis yang menjadi kekuatan konsolidasi demokrasi itu ditemukan tidak
padu lagi dalam pergerakan. Mudah terbelah oleh problem yang sepele. Mereka
terjebak dalam arogansi pribadi dan terkesan individualistik. Jika kondisi
ini terus berlanjut, sulit ditemukan tokoh sekaliber Evo Morales dari
Bolivia.
Masa depan demokrasi
macam apa jika para aktivisnya juga demikian, apalagi dengan rakyat? Mereka
semakin jauh dari sejahtera karena "pejuang" demokrasi mereka
saling bertarung. Sementara, para pemimpin mereka, yang notabene adalah
praktisi demokrasi, sibuk dengan perebutan pengaruh politik. Dikhawatirkan,
jangan-jangan benar apa yang diprediksikan para pengamat itu, bahwa Indonesia
calon negara gagal. Inilah ironisnya.
Kepada siapa lagi visi
demokrasi dititipkan, sementara para aktivis dan praktisinya belum
bekerjasama secara sinergis? Rakyat lelah menyaksikan pertikaian
berlarut-larut. Mereka hanya menginginkan penyelesaian yang pasti. Tidak
ingin ada lagi kekerasan "simbolik" dalam praktek-praktek demokrasi.
Rakyat tidak ingin lagi dijadikan "perahu" demokrasi. Seolah-olah,
dengan mengatasnamakan rakyat demokrasi sudah berjalan semestinya. Tidak.
Yang dinginkan rakyat hanya hasilnya. Hingga berbusa pun mulut beretorika,
namun manakala hasilnya tidak bisa dirasakan, rakyat akan tetap menuntut.
Karena tuntutan sosial
yang kuat, pelaksanaan demokrasi suatu ketika akan diadili oleh rakyat.
Meningkatnya angka golput dalam pertisipasi suksesi kepemimpinan misalnya,
bisa jadi sebagai indikasi bahwa ternyata rakyat sudah muak dengan
praktik-praktik demokrasi yang hanya mementingan kepentingan sesaat
segelintir orang, bukan kepentingan bersama.
Demokrasi yang
disinyalir sebagai gerbang menuju kemajuan, ternyata di Indonesia masih belum
bisa dibuktikan. Bangsa ini masih kalah dengan progresivitas pembangunan
Viet-nam yang pemimpinnya baru saja keluar dari semak-semak hutan karena
penjajahan. Apalagi dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan Singapura,
negara ini semakin terlihat "kecil membuncit".
Maka, demokrasi akan
menemukan efektivitasnya jika agenda revolusi menjadi pijakan utama.
Sebagai-mana pernah dikatakan proklamator, Bung Karno, perlu disadari
sepenuhnya bahwa konsep demokrasi belum menemukan bentuknya ideal di
Indonesia. Prospek demokrasi ditentukan oleh bentuk serta tujuan revolusi
selanjutnya. Tentu yang dimaksudkan adalah revolusi demokrasi berbasis
kerakyatan. Karenanya, wujudkan dan kembalikan demokrasi kepada kerakyatan.
Melayani, meng-abdi dan menyejahterakan rakyat, bukan pejabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar