Menghukumi
Presiden dan Wakil Presiden
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
SINDO,
24 November 2012
Selasa (20/11)
pekan ini, di Gedung DPR, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham
Samad melontarkan pernyataan yang memancing kontroversi. Katanya, penanganan kasus
Bank Century yang terkait dengan dugaan keterlibatan Wakil Presiden (Wapres)
Boediono harus ditangani DPR untuk dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). KPK,
katanya lagi, tak berwenang menangani kasus itu karena Wapres adalah warga
negara istimewa. Sebenarnya Abraham tidak salah-salah amat.
Di kalangan ahli memang ada perbedaan pendapat, apakah kesalahan presiden/wapres, misalnya dalam korupsi dan penyuapan, itu cukup ditangani MK melalui pendakwaan (impeachment) oleh DPR ataukah harus berjalan simultan dengan proses hukum pidananya ataukah menunggu yang satu selesai lebih dulu. Masalah itu sebenarnya sudah diperdebatkan di MPR periode 1999–2004 yang membidani amendemen UUD 1945. Tapi di antara anggota MPR sendiri tidak ada kata sepakat sehingga masalahnya tidak terjawab di dalam konstitusi dan diserahkan kepada perkembangan di lapangan. Saya mengenal banyak mantan anggota MPR pembentuk amendemen UUD 1945 yang ternyata saling berbeda pendapat sangat tajam tentang ini. Yang pasti ada di dalam UUD 1945 adalah “presiden/wakil presiden bisa diberhentikan melalui impeachment oleh DPR dan pemakzulan oleh MPR karena pelanggaran hukum tertentu” dan ketentuan bahwa “setiap warga negara berkedudukan sama di depan hukum”. Tidak ada sama sekali istilah warga negara istimewa dan tidak ada pengaturan bahwa proses hukum tata negara dan hukum pidana dilakukan secara simultan atau alternatif dan bergantian. Wajarlah kalau kemudian timbul perbedaan penafsiran. Pakar hukum konstitusi terkemuka, Jimly Asshiddiqie, mengatakan bahwa peradilan untuk presiden/ wapres hanya bisa melalui MK atas dasar dakwaan dari DPR. Presiden/wakil presiden menurut Jimly hanya bisadibawa ke peradilan pidana jika sudah tidak menjabat sebagai presiden/wapres. Pendapat ini agak sama dengan pendapat Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin dan pakar konstitusi Irman Putra Sidin. Pendapat ini tentu bertumpu pada argumen yang kuat. Saya sendiri berpendapat lain dengan argumen yang juga kuat. Menurut saya, peradilan pidana dan peradilan tata negara harus berjalan sendiri-sendiri dan bisa simultan, sebab konsep dan tujuannya berbeda. Peradilan pidana itu produknya adalah vonis yang kalau terbukti berisi penghukuman (misalnya, pemenjaraan), sedangkan produk peradilan di MK hanyalah konfirmasi apakah dakwaan DPR bahwa presiden/wapres melanggar hukum tertentu benar atau tidak benar. MK tidak boleh menjatuhkan hukuman, sebab dalam peradilan hukum tata negara seperti ini hukumannya berupa hukuman politik yang hanya dapat dijatuhkan oleh MPR, bukan oleh MK. Nah, karena MK tidak menjatuhkan hukuman pidana, hukuman pidana harus diproses melalui peradilan pidana dalam jalur tersendiri. Rasanya tidak adil kalau, karena kedudukan politiknya, seseorang tidak dapat diadili secara pidana atau harus menunggu berhenti dari jabatannya. Tidaklah menjadi soal kalau misalnya vonis MK berbeda dari vonis peradilan pidana karena konsep, tujuan, dan produknya memang berbeda. Peradilan hukum tata negara di MK memang hanya untuk menentukan penghukuman politik oleh MPR sehingga dibatasi harus selesai dalam waktu 90 hari, sedangkan peradilan pidana tidak dibatasi waktu sehingga bisa bertahun-tahun mulai dari penyelidikan sampai pada habisnya tiga tingkatan pengadilan. Maka menjadi aneh pendapat yang mengatakan, pengadilan di MK tentang dugaan korupsi presiden/wapres harus menunggu vonis peradilan pidana karena korupsi itu adalah ranah hukum pidana.Yang demikian ini tidak masuk akal karena untuk apa ada lagi pengadilan di MK kalau peradilan pidana sudah memutus? Bukankah kalau peradilan pidana sudah memutus presiden/wapres bersalah tak diperlukan lagi diadili di MK? Itulah sebabnya, menurut saya, peradilan pidana dan peradilan tata negara dalam konteks pelanggaran oleh presiden/wapres dapat berjalan sendirisendiri dan tak berkaitan. Kita sudah mempunyai pengalaman tentang ini, yakni pada saat Presiden Abdurrahman Wahid diduga terlibat dalam kasus Bulog dan Brunei. Pada saat itu Gus Dur diproses dalam kasus pidana dan dinyatakan tidak terbukti berdasar keputusan Jaksa Agung, tetapi pada saat yang sama proses pemakzulan secara politik berjalan sehingga ada Memorandum I dan II. Jadi penanganan simultan ini sudah pernah dipraktikkan dalam ketatanegaraan kita. Kalau mau mencontoh Amerika Serikat memang lain. Konstitusi dan hukum di Amerika memang mengatur bahwa jika presiden sudah diadili melalui impeachment,proses pidananya tidak diteruskan. Bagi konstitusi Amerika Serikat, asas ne bis in idem itu berlaku mutlak seperti yang tertulis di dalam amendemen pertama (1791) Konstitusi Amerika Serikat tentang keharusan protection against double jeopardy (being tried twice for the same offence). Tapi konstitusi di Indonesia memang tidak sama dengan konstitusi Amerika Serikat, bahkan UUD 1945 sama sekali tak berbicara ne bis in idem. Di Indonesia asas ne bis in idem pada umumnya hanya diberlakukan pada satu bidang hukum yang sama sehingga kerap kali terjadi ada satu objek yang diadili secara simultan dalam perdata, pidana, dan administrasi negara. Kita lihat saja kelanjutan kasus ini, sebab semua pendapat mempunyai argumen sendiri. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar