Anomali Nilai
Tukar
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ; Pengamat Ekonomi
|
SINDO,
26 November 2012
Dalam suatu seminar di hadapan puluhan pengusaha didaerah
Serpong baru-baru ini, saya memperoleh pertanyaan yang relatif pelik untuk
dijawab. Pertanyaan tersebut dilontarkan menanggapi optimisme yang (selalu)
saya sampaikan dalam pertemuan tersebut.
Saya mengatakan, perekonomian Indonesia mengalami momentum pertumbuhan yang sangat bagus di tengah krisis perekonomian global dewasa ini. Pertanyaannya, kalau memang Indonesia seperti yang digambarkan, mengapa rupiah menjadi mata uang yang kinerjanya paling buruk (the worst performing currency) tahun 2012 ini? Menurut pengusaha tersebut, ini jelas anomali. Pertanyaan pengusaha itu ditimpali rekannya yang menyatakan, negara lain yang kinerjanya lebih buruk dibandingkan Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia, justru mata uangnya menguat. Apa yang terjadi sebenarnya? Saya cukup lama berkarya di Bank Indonesia,sekitar 25 tahun. Oleh karena itu dulu saya merasa mengerti tantangan yang dihadapi Bank Indonesia dan apa kebijakan yang mereka tempuh. Ternyata menghadapi pertanyaan semacam itu, yang dulu rasanya bisa mudah menjawabnya, saya kebingungan untuk mencari jawabannya. Oleh karena itu mudah-mudahan tulisan ini dibaca petinggi Bank Indonesia yang menangani bidang tersebut dan mencoba untuk memberikan jawaban yang masuk akal,yang bisa dicerna pengusaha dan masyarakat pada umumnya. Pada waktu saya banyak berceramah di mana-mana, dimulai dengan suatu presentasi di International Banking Forum di kota kecil Brescia, Italia Utara, dengan judul “Indonesia towards a One Trillion Dollar Economy” (Indonesia menuju Perekonomian Satu Triliun Dolar) di Juni 2011, saya masih memiliki keyakinan yang besar, perekonomian USD1 triliun tersebut sungguh dapat tercapai di 2012 mengingat nilai tukar rupiah yang masih di sekitar Rp8.500 per dolarnya. Pada waktu itu prediksi saya mengenai produk domestik bruto (PDB) nominal Indonesia di tahun 2012 akan mencapai antara Rp8.400 triliun sampai Rp8.600 triliun. Kalaupun meleset, target itu akan dicapai paling lambat tahun 2013.Tapi ternyata nilai tukar rupiah sungguh licin seperti belut, nilai tukar tersebut tiba-tiba merosot dan bahkan melampaui Rp9.000 dan bahkan saat ini berada pada level di atas Rp9.600. Intinya, saya meyakini nilai mata uang rupiah memiliki kekuatan dan saya yakin akan berada pada level Rp8.500 atau bahkan mungkin lebih kuat lagi. Oleh karena itu saya bingung untuk menjelaskan kenapa tiba-tiba mata uang kita itu melemah. Sebab negara seperti Malaysia dan Singapura pun terpengaruh oleh krisis global dan bahkan lebih parah dibandingkan dengan kita dampaknya.Tapi kenapa mata uang mereka justru menguat? Penjelasan yang sering saya terima mengenai fenomena ini adalah titik ekuilibrium dari mata uang kita yaitu dengan menggunakan perhitungan real effective exchange rate. Intinya, mata uang rupiah memang sewajarnya harus melemah. Sebab,melihat perkembangan inflasi Indonesia dengan negara-negara mitra dagang beserta pergerakan nilai mata uang mereka, nilai tukar rupiah yang seharusnya terhadap dolar adalah seperti yang saat ini kita miliki. Dengan kata lain nilai tukar rupiah terhadap dolar dewasa ini sudah berada pada tingkat ekuilibriumnya, pada tingkat keseimbangan baru.Saya tentunya sangat memahami teori tersebut karena dahulu teori itu pulalah yang menjadi pegangan saya semasa di Bank Indonesia. Jika teori tersebut tidak kita ikuti dan rupiah lebih kuat dari titik yang ada sekarang ini, barang-barang ekspor kita akan menjadi lebih mahal sehingga tidak akan laku di pasaran. Sementara barang impor menjadi lebih murah sehingga pada akhirnya impor akan mengalami kenaikan tajam. Itulah yang terjadi selama beberapa bulan terakhir dan itulah pula mengapa rupiah menjadi melemah. Itulah penjelasan yang kita terima selama ini. Sebetulnya, melihat berbagai data statistik maupun negara lain, saya sering juga dibingungkan dengan fakta bahwa antara tingkat inflasi dan tingkat harga kadang kala tidak nyambung. Di Indonesia, tingkat inflasi selalu lebih tinggi dibandingkan dengan mitra dagang kita, tetapi tingkat harganya (level of prices) justru lebih rendah.Unilever Indonesia misalnya mampu menghasilkan produk yang sama persis dengan Unilever negara lain dan ternyata biaya produksi Unilever Indonesia termasuk yang terendah di dunia, hanya sedikit di atas Bangladesh. Jika harga produk Unilever Indonesia (seperti Pepsodent, sabun Lux, Sunsilk) dibandingkan dengan produk yang sama di Malaysia, Singapura, dan Filipina, harga produk Unilever Indonesia adalah yang paling murah. Saya yakin apa yang dapat dicapai oleh Unilever tersebut juga dicapai oleh produsen Indonesia lainnya.Oleh karena itu, untuk produk manufaktur, daya saing produk Indonesia sudah tinggi meskipun tidak ada “subsidi” dari pelemahan rupiah. Itulah sebabnya saat ini industri automotif Indonesia mampu mengekspor mobil ke luar negeri sebanyak 300.000 setahunnya (CBU, CKD, dan komponen). Sementara itu jika yang ingin di-”subsidi” oleh pelemahan rupiah adalah komoditas, seperti batu bara, CPO,karet,minyak dan gas,sebetulnya berbagai komoditas tersebut harganya ditentukan oleh pasar dunia. Kita hanya bertindak sebagai price taker. Oleh karena itu upaya mendorong ekspor jenis ini melalui pelemahan nilai rupiah rasanya juga tidak akan banyak manfaatnya. Di pihak lain, dengan sangat kuatnya perekonomian domestik, pelemahan nilai rupiah justru melemahkan kemampuan produksi mereka. Setiap kali rupiah melemah akan menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga mereka selalu dihadapkan kepada pilihan untuk mengurangi volume setiap paknya atau menambah harga jualnya. Jika ini dilakukan oleh seluruh produsen dari perekonomian domestik kita, ujungujungnya akan terjadi tekanan inflasi. Di tengah tekanan untuk menaikkan UMP saat ini, risiko terjadinya inflasi karena adanya pelemahan nilai rupiah tentunya tidak bisa dipandang ringan. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, mungkin ada baiknya teman-teman di Bank Indonesia untuk melakukan reassessment pilihan-pilihan kebijakan yang perlu diambil dengan secara serius melihat dampaknya pada tingkat dunia usaha, tidak hanya pada tataran makro saja. Siapa tahu dengan melakukan analisis tersebut, kebijakan yang ada saat ini perlu mengalami banting setir karena bagaimanapun dalam keadaan perekonomian yang sedang bagus seperti saat ini, yang paling dikhawatirkan orang adalah terjadinya kesalahan kebijakan (policy mistake). ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar