Jangan Sekadar
Ganti Baju BP Migas
( Wawancara )
Kurtubi ; Pengamat Migas, Salah Seorang Penggugat Uji Materi
UU
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas Ke MK di Jakarta
|
SUARA
KARYA, 24 November 2012
Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan
Gas (BP Migas) karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945,
harus menjadi dasar bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem pengelolaan
migas agar sesuai dengan roh pasal 33.
Pemerintah harus
mendorong perbaikan secara menyeluruh terhadap persoalan tata kelola migas
nasional. Perbaikan tersebut dimulai dengan membenahi UU Nomor 22 Tahun 2001
Tentang Migas yang secara nyata telah menggiring liberalisasi tata kelola
migas nasional.
Momentum perbaikan ini
diharapkan mampu meningkatkan pengelolaan migas yang lebih efisien dan berpihak
kepada kepentingan nasional. Untuk itu, pengganti BP Migas bukan hanya
"mengganti baju".
Untuk itu, perlunya
segera ditetapkan institusi yang tepat dan menguntungkan bagi negara sebagai
ujung tombak pengelolaan migas pascapembubaran BP Migas, wartawan HU Suara
Karya Abdul Choir mewawancarai Dr Kurtubi, pengamat
migas sekaligus salah seorang penggugat uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001
tentang Migas ke MK, di Jakarta, Jumat (23/11). Berikut petikannya:
Saat ini fungsi
pengelolaan migas pascapembubaran BP Migas dialihkan ke Satuan Kerja
Sementara Pengelolaan (SKSP) Migas di bawah Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral. Apakah sudah tepat?
Tugas dan kewajiban BP
Migas yang dialihkan kepada Kementrian ESDM bersifat sementara. Hal tersebut
harus disempurnakan dan akan lebih baik jika fungsi BP Migas dialihkan segera
kepada badan usaha milik negara (BUMN).
Pengalihan kewenangan
ini harus segera dilakukan ke dalam BUMN. Alasannya, agar pengelolaan migas
yang dimiliki negara dapat dijual sendiri tidak melalui pihak ketiga.
Penunjukan pihak
ketiga inilah yang sering kali membuat negara merugi karena penentuan harga
tidak dilakukan langsung oleh BP Migas ataupun Satgas yang baru terbentuk
ini. Alasan lainnya, kontrol cost recovery (biaya produksi yang dikembalikan
oleh negara) lebih efektif karena pengelolaan migas dilakukan sendiri.
Tentunya hal ini agar
kedaulatan pemerintah tidak hilang karena pemerintah tidak diwakilkan dengan
lembaga lain seperti BP Migas. Selanjutnya, agar sistem pengelolaan migas
menjadi lebih efisien dan tidak birokratik.
Sebenarnya sangat
tepat jika alihkan ke BUMN bidang migas yang sudah ada yaitu PT Pertamina
(Persero). Bukan membentuk BUMN baru mulai dari nol. Lalu asetnya mana?. Direktur
Utama Pertamina Karen Agustiawan sudah menyatakan tidak ingin Pertamina
menjadi regulator.Sebagai pelaksana kedaulatan negara atas migas, BUMN
dibentuk atas dasar UU yang baru.
Apakah pengalihan
fungsi BP Migas ini menimbulkan potensi kerugian bagi negara?
Negara tidak
dirugikan. Justru sebaliknya akan diuntungkan dan kedaulatan tidak terganggu.
Untuk menghindari kerugian tersebut, maka yang berkontrak harus melalui BUMN
yang asetnya terpisah dari pemerintah berdasarkan undang-undang. Dengan kata
lain pemerintah berada diatas kontrak. Jika pemerintah berada di atas kontrak
maka pemerintah dapat mengeksekusi kebijakan di bidang migas tanpa
persetujuan kontraktor yang berkontrak.
Solusi yang diambil
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Peraturan Presiden (Perpres) dengan
membentuk unit pelaksana tugas di bawah kementerian ESDM sebagai pengganti
fungsi BP Migas sementara ini harus segera disempurnakan ke dalam peraturan
baru, peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Ini sifatnya mendesak.
Supaya dinyatakan
bahwa kekayaan migas dikuasai, dimiliki, dan dikelola oleh BUMN sebagai wakil
pemerintah dalam kepemilikan dari kekayaan sumber migas di Indonesia.
Nantinya, BUMN diperbolehkan untuk berkontrak dengan pihak lain baik dari
pihak asing maupun domestik dimana pemerintah tidak ikut berkontrak tetapi
berada di atas kontrak. Jadi, pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan
regulator.
Karena itu, kita tidak
perlu persoalan hulu migas di bawah pemerintah, Satuan Kerja Sementara (SKS )
hanya lembaga pemerintah bukan entitas bisnis. Ini hanya warisan dan saat
transisi saja.
Sedangkan alasan
pembubaran BP Migas ini jelas bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Amanat
kontitusi negara ini sudah jelas menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selaima ini, semua keinginan dari pasal
33 UUD 1945 tidak dapat terpenuhi. Terlebih lagi, BP Migas dinilai lebih
memihak ke asing. Contohnya saja, hasil gas dari LNG (gas a lam cair)
Tangguh, Papua yang justru tidak dialokasikan ke dalam negeri. BP Migas malah
menjual gas tersebut secara murah ke China.
Dengan dijualnya gas
dari LNG Tangguh ke China, PLN pun berteriak-teriak karena tidak mendapat
pasokan gas dari BP Migas. Dampaknya, PLN terpaksa memakai bahan bakar minyak
(BBM) sebagai pembangkit listrik. Itu yang menyebabkan PLN diduga melakukan
inefisiensi sebesar Rp 37,6 triliun.
Ke depan, apakah tren
produksi minyak meningkat?
Peningkatan produksi
perlu kerja keras. Tata kelola selama ini yang buruk sehingga produksi
anjlok. Bahkan selama ada BP Migas, tata kelola migas Indonesi menjadi yang
paling buruk di Asia Oceania. Hal ini ditandai dengan produksi anjlok, cost
recovery melonjak, karyawan BP Migas melonjak 10 kali lipat, merugikan negara
dan melanggar Konstitusi.
Selama ini, BP Migas
mewakili Pemerintah dalam menandatangani kontrak dengan perusahaan asing
dalam pola business to government (B to G). Artinya, kedudukan pemerintah dan
kontraktor asing jadi setara. Jika terjadi sengketa hukum, bisa membahayakan
negara.
Berbeda dengan UU
Nomor 8/1971 yang mengatur Pertamina yang menandatangani kontrak dengan
perusahaan asing dalam pola business to business (B to B).
Setelah BP Migas,
apakah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) juga akan
dibubarkan?
Peranan BPH Migas saat
ini masih tumpang tindih dengan Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
(Dirjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Karena itu,
peranan BPH Migas sebaiknya dikembalikan ke Ditjen Migas. Sebab yang
bertanggung jawab memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri adalah pemerintah dan
Pertamina didirikan untuk menjalankan distribusi BBM ini ke seluruh
Indonesia.
Jadi, tugas yang
sebetulnya sudah dilaksanakan oleh pemerintah tidak perlu lagi diwakilkan
dengan adanya BPH Migas. Saya kira dalam revisi UU Nomor 22 Tahun 2001, DPR
akan menyarankan pemerintah untuk membubarkan BPH Migas. Saya kira dalam
revisi UU Nomor 22 Tahun 2001, DPR akan menyarankan pemerintah untuk
membubarkan BPH Migas ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar