Piala AFF dan
Mitos Manukrawa
Tandi Skober ; Budayawan dan Penasihat
Indonesia Police Watch
|
MEDIA
INDONESIA, 28 November 2012
TIM nasional Indonesia
ditahan imbang Laos 2-2 pada pertandingan perdana penyi sihan Grup B
kejuaraan sepak bola Piala AFF 2012 di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur,
Malaysia (25/11). Kecewa?
Tentu! Saya lari ke
penjara Sukamiskin, Bandung. Di bawah bendera Merah Putih, kuucap ulang suara
Soekarno di Januari 1932: “Berilah saya sebelas pemuda bersemangat dan
berapiapi kecintaannya terhadap bangsa dan tanah air tumpah darahnya, saya
akan dapat menggemparkan dunia.“
Saya tendang bola: Golllllll! Saya tertawa.
Kenapa? Ketika Jumat (8/6), merah putih berkibar di Stadion Nasional Warsawa,
saya berharap itu Indonesia. Ternyata, tidak! Itu Polandia. Itu untuk pesta
Eropa 2012. Ah, andai Indonesia seperti Polandia, tentu pesta bola Asia
Tenggara itu, Piala AFF, cuma piala piknik bolakbalik bola belaka. Kenapa?
Polandia yang putih merah dan Indonesia yang merah putih ialah kembaran bolak-balik
bola yang menyejarah.
Warsawa, yang dalam bahasa Polandia tertulis
Warszawa, hakikatnya, sih, dalam literasi Babad Bobad Manukrawa bermakna
`waras tah, wa'. Bahkan, bukan hal yang kebetulan kota yang berdiri sejak
1294 itu dibelah Sungai Vistula (Wis Lah). Hal lain. Syrenka yang bermakna
putri duyung kecil sebagai lambang Kota Warsawa ditengarai merupakan
duplikasi dari gadis sintren. Tidak aneh manakala kata syrenka dalam bahasa
Polandia sering diterjemahkan menjadi siren (baca: sintren) dalam bahasa
Inggris.
Beberapa frasa tersebut, paling tidak,
meyakinkan saya bahwa Warsawa itu tercipta dari tulang rusuk Manukrawa (baca:
Indramayu). Ada tautan kultural yang tidak ditulis sejarah, tapi diyakini
sebagai mitos pembuat sejarah di pusaran Warsawa ini. Konon, seputar 1382 M,
Adipati Boleslaus dari Masovia menemui Ki Sleman dari Indramayu tersebab oleh
kepincut kecan tikan Putri Sintren. Ia buat patung Sintren. Ia pindahkan k
kecantikan Putri Sintren dal lam bentuk karya seni yang agung.
Yang aneh, Boleslaus tidak pernah bisa membuat
patung Putri Sintren.
Selalu saja yang terbentuk ialah patung seekor
naga yang memiliki kepala manusia lelaki, membawa pedang dan perisai. Apa
boleh buat, saat pulang kampung, patung naga berkepala manusia itulah yang
dijadikan lambang Warsawa.
Juga dituturkan bahwa saat Adipati Boleslaus
membuat patung Sintren selalu disuguhi bubur abang bubur putih. Sesekali ia
alunkan macapat, “Getah lan getih nipun
dipuncipta malih dumateng Gusti Hyang Mahaagung nuli keringet kinclong.“ Konon,
sejak itulah Adipati Boleslaus berharap kelak Polandia berbendera bubur abang
bubur putih. Obsesi Boleslaus terkabul. Putih dan merah secara resmi diadopsi
sebagai warna nasional Polandia pada 1831.
Yang bikin takjub Boleslaus, tiap kali warga
Warsawa bilang `waras ta wa' di hadapan patung naga berkepala lelaki konon
kepala dan tubuh naga ini secara berkala berubah menjadi kepala seorang
wanita. Tidak hanya itu, patung itu pada titik terjauh mirip Putri Sintren
membawa pedang dan perisai. Itu diyakini Boleslaus sebagai pertanda bahwa
Indramayu memang kiblat metafisika yang selalu memetamorfosis pada kegaiban
yang tidak bisa terdeteksi. Tersebab oleh itulah mulai 1622, lambang Kota
Warsawa digambarkan berwujud putri duyung Putri Sintren yang membawa pedang
dan perisai. Hingga kini patung itu tetap kukuh tak lekang ditelan sejarah.
Tiap kali warga Warsawa tetembangan Waras
Tah, Wa akan muncul apa yang
disebut semper invicta yang
bermakna `senantiasa berjaya'.
Sikhil Anemu Endas
Bolak-balik bola, Indonesia? Lagi sekali saya
berteriak di depan Gedung Bioskop Oranye Groote Postweg Cikakak, Bandung. Di
sini, kudengar suara Soekarno, “Meskipun
suatu negara punya 10 ribu meriam, negara itu tetap lemah selama rakyatnya
tetap seperti kecoak. Sebaliknya rakyat yang tidak bersenjata, tetapi
mempunyai sebelas pesepak bola andal, tidak akan kalah sekalipun harus
berhadapan dengan tentara bersenjata.“
Bung Karno benar. Kenapa? Lelaku urip iku kudu khanti bal-balan.
Indramayu abad XIV M menyebutnya sikhil anemu endas, endas rainira dadia
shikil. Hal itu ditakwil sebagai pergulatan kebatinan manusia Indramayu
ketika mencari pembeda mana kepala dan mana pula kelapa. Yang bisa membedakan
itu, menurut Ketua Dewan Kesenian Indramayu Ki Gede Adung Abdulgani, ialah
`bola bobad'.
Bola bobad era Indraprahasta itu pernah
memukau petualang Italia, Marco Polo (1254-1324). Di bawah cahaya senja
berpelangi di atas Kali Cimanuk, seusai permainan bola bobad, Marco tuturkan
bola bobad sebagai nomena zero zum game yang menegangkan. “Saya tidak tahu
apakah bola bobad merupakan duplikasi sepak bola tsu chu China yang sudah ada
sejak 7.000 tahun yang lalu di zaman Tsin,“ ungkap Marco Polo seperti ditulis
Che Zib Khun. Yang pasti, tsu berarti `menerjang bola dengan kaki', sementara
chu berarti `bola dari kulit dan ada isinya'. Satu tim terdiri dari enam
orang yang berlomba memasukkan bola dari kulit binatang yang diisi rambut ke
lubang jaring berdiameter 40 sentimeter.
Jaring setinggi 10,5 meter ditancapkan di
tengah lapangan yang dikelilingi tembok. Itu di China. Indramayu tidak
begitu. Bola ialah sebutir kelapa.
Permainan itu dilaksanakan di atas tanggul
Kali Cimanuk. Ratusan orang nimbrung dalam permainan bola bobadi. Adalah pertarungan paling mengerikan antara kelompok
Cimanuk Barat dan Cimanuk Timur. Tidak ada wasit. Tidak ada jaring gawang.
Tidak ada batas waktu kapan bola digulirkan dan kapan pula bola berhenti
menjadi tarian tirani berdarah. Yang terjadi ialah amukti mateni sikhil anemu endas, endas rainira dadia shikil.
Jelang senja, ketika matahari menjadi retak, baru diketahui bola yang pada
awalnya berupa sebutir kelapa itu ternyata ialah sosok kepala manusia
berselemak darah. `Ratusan orang mati
dalam satu pertandingan ini', tulis Stubbes dalam The Anatomie of Abuses (1583).
Garuda di Dadaku
Tak pelak, malam pun menjadi amis. Bulan bulat
merintih di aliran sungai sunyi berwarna merah darah. Tentu, ini era yang
mengenaskan.
Meski begitu, kini, bola berdarah-darah itu
telah menyatukan keragaman etnik yang kerap disebut: sepak bola multikultural.
`Setiap orang dari sebuah entitas
kultural, ras, dan agama berbeda, tentulah punya pola pikir dan cara hidup
berbeda', tulis esais Erwin Kustiman. `Akan tetapi, karena perbedaan
itulah, semua saling tahu tempatnya masing-masing dan saling menghormati'.
Erwin benar. Piala AFF
2012 adalah iluminasi dari gempita bhinneka tunggal ika. Kita bisa tepuk
tangan juga tertawa seraya berteriak, meniru penyanyi asal Wedel, Jerman,
Oceana Muhaimin: `Garuda di
dadaku/Garuda kebanggaanku/ Ku yakin hari ini pasti menang'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar