Konstitusionalitas
Investasi Perikanan
M Riza Damanik ; Sekretaris Jenderal KIARA; Penulis Buku Hak
Asasi Nelayan
|
SINAR
HARAPAN, 26 November 2012
Memasuki tahun keempat Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid 2 (2009-2014), kapasitas pemerintah mengelola sumber daya
perikanan untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat kian diragukan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo saat
pencanangan Bulan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan mengeluhkan sulitnya
mendorong investasi di sektor perikanan karena ketidakpastian bidang usaha
ini (Kompas, 3/10).
Kenyataannya, investasi di sektor perikanan terus mengalami
pertumbuhan. Laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan, total
investasi perikanan pada 2009 hanya sekitar Rp 70 miliar. Pada 2012, sampai
kuartal kedua saja, investasi sudah mencapai Rp 233,4 miliar.
Bahkan, sejak 2010 hingga sekarang, 99 persen dari total
investasi perikanan merupakan Penanaman Modal Asing (PMA). Semuanya cukuplah
meyakinkan kita bahwa investasi di sektor perikanan memiliki
"kepastian"—setidaknya bagi pelaku usaha asing.
Hanya saja, investasi tidak lagi dimaksudkan untuk sekadar
mengumpulkan sumber kapital. Paling utama adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup rakyat. Pada konteks ini, investasi perikanan benar-benar mengecewakan.
Buruknya Kualitas
Buruknya kualitas investasi perikanan ditandai dengan rendahnya
daya saing produk perikanan Indonesia di luar negeri, serta merosotnya
kualitas hidup nelayan dan buruh perikanan di dalam negeri.
Buktinya, meski kurun lima tahun terakhir Indonesia masuk urutan
kelima besar produsen perikanan di dunia, Data Organisasi Pangan dan
Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO, 2010) menunjukkan pendapatan Indonesia
dari ekspor ikan justru terbilang rendah dibanding negara-negara produsen
ikan lainnya; yakni pada urutan ke-13. Jauh di bawah Thailand dan Vietnam,
yang masing-masing urutan 3 dan 5.
Ini menjelaskan betapa industri perikanan kita belum mampu
menghasilkan produk bernilai tambah dan masih bergantung pada ekspor ikan
non-olahan; lalu berimbas pada rendahnya penyerapan tenaga kerja.
Sepanjang periode 2009-2011, di saat investasi perikanan
meningkat 230 persen lebih, industri perikanan hanya mampu menyerap kurang
dari 250.000 orang tenaga kerja (processing labour). Bahkan, untuk pemenuhan
bahan bakunya, industri perikanan lebih mengandalkan impor ketimbang
memberdayakan nelayan dan potensi lokal.
Semuanya bermuara pada tingginya angka kemiskinan di kampung-kampung
nelayan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) mengutip data Badan Pusat
Statistik menyebut 25,14 persen dari total penduduk miskin Indonesia berasal
dari wilayah pesisir.
Berbasis Hak
Kesalahan dalam memahami tantangan investasi perikanan terkini
menyebabkan hilangnya kesempatan negara mengoptimalkan perannya di laut.
Padahal, FAO dalam Tata Laksana Perikanan Bertanggung Jawab
(1995), telah menjabarkan tujuan utama pengelolaan sumber daya perikanan
adalah untuk mewujudkan ketahanan pangan, mengentaskan kemiskinan, serta
menjamin keberlanjutan lingkungan untuk kepentingan generasi hari ini dan
mendatang.
Karenanya, pemerintah perlu bergegas mengendalikan pertumbuhan
volume ekspor ikan Indonesia. Termasuk, menghentikan ekspor ikan non-olahan.
Harapannya, hak rakyat atas pangan perikanan yang berkualitas dapat
tercukupi.
Apalagi, Pasal 25B Undang-Undang No 45 Tahun 2009 tentang
Perikanan serta Pasal 34 Ayat (2) UU Pangan yang baru saja disahkan 18
Oktober silam, telah mengharuskan pemerintah untuk tidak mengekspor ikan ke
luar negeri sebelum terpenuhinya kebutuhan ikan domestik.
Tunjukkan pula bahwa hukum dapat berperan efektif di laut.
Pemerintah dapat menindaklanjuti laporan Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) yang
menemukan 80 persen awak kapal ikan yang beroperasi di Laut Maluku bukan
pelaut lokal, bahkan asing.
Jika dapat ditertibkan, hak rakyat (pemudi-pemuda) Indonesia
untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, baik di atas kapal maupun di dalam
kegiatan pengolahan ikan, dapat terpenuhi.
Awalilah dengan membenahi perangkat perikanan rakyat di tingkat
kampung. Pembenahan termasuk dalam rangka memastikan nelayan mendapatkan
haknya atas informasi iklim dan wilayah penangkapan ikan secara
berkesinambungan, haknya atas subsidi bahan bakar minyak, termasuk hak untuk
mendapatkan akses pasar ikan yang menguntungkan lagi berkeadilan.
Semuanya dapat terselenggara jika dua tahun ke depan pemerintah
bersedia menginvestasikan sumber dayanya untuk merevitalisasi peran dan
fungsi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang tersedia di hampir seluruh pesisir
Indonesia.
Jangan pernah (lagi) lupa, konstitusi kita menjelaskan bahwa
dalam tiap rupiah nilai investasi, ada hak keluarga nelayan untuk sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar