Di Balik Sikap
Abraham Samad
Laode Ida ; Wakil Ketua DPD RI
|
MEDIA
INDONESIA, 27 November 2012
Bandingkan dengan tulisan Laode Ida di Jawa Pos 26 November 2012
KETUA KPK, Abraham Samad,
tampaknya sedikit `keseleo lidah' ketika mengeluarkan pernyataan dalam acara
dengar pendapat di depan Tim Pengawas Century DPR (20/11/2012) terkait dengan
kelanjutan penyelidikan dan penyidikan skandal Bank Century. Sebagian anggota
DPR berpendapat bahwa Wapres Boediono `harus diperiksa oleh KPK' karena
(dalam posisinya waktu itu sebagai Gubernur BI) dianggap berperan besar dalam
pemberian dana talangan Bank Century--yang merugikan uang negara triliunan
rupiah, apalagi setelah dua pejabat bawahannya ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, Abraham Samad barangkali `tidak hendak bersetuju'
dengan keinginan sebagian politikus Senayan itu sehingga harus mencari alasan
subjektif-spontan dengan menyatakan presiden dan wapres tak mudah diperiksa
KPK mengingat keduanya sebagai `warga negara istimewa'. Kontan saja, sikap
putra Sulsel itu mendapat reaksi dan kritik dari banyak pihak, terutama dari
para ahli dan praktisi hukum, karena pendapat itu dianggap sangat keliru
sehingga Abraham melakukan klarifikasi atau meralatnya sendiri.
Setelah memperoleh reaksi itu, dan juga barangkali setelah
memperoleh masukan dari internal KPK, sehari kemudian Abraham seakan berbalik
`seratus delapan puluh derajat'
dengan menegaskan, “KPK yakin Boediono
terlibat kasus Century, dan karena memegang prinsip equality before the law,
KPK bisa saja memeriksa Wapres Boediono.“ Kendati demikian, ia pun masih
terkesan mau menghindar untuk bertindak segera memeriksanya, yang
diindikasikan melalui pernyataannya bahwa proses itu bergantung pada hasil
pemeriksaan dua tersangka pejabat BI.
Sudah cukupkah kita menerima klarifikasi Abraham Samad
seperti itu? Kesadaran untuk menerima kritik atas suatu kekeliruan yang
dilakukan, tentu kita semua mengapresiasi. Namun, sebagai pejabat publik,
apalagi penegak hukum bidang pemberantasan korupsi, masih perlu kita
refleksikan atau diskusikan lebih jauh tentang mengapa sikap itu dilakukan
dan apa dampaknya lebih jauh dalam kaitan dengan tugas strategis KPK.
Kemungkinan pertama, terkait dengan penguasaan materi atau
derajat kecermatan Abraham Samad mengenai posisi presiden/wapres dalam
penegakan hukum. Barangkali ia tak mendalami betul pengertian dan makna dari
konsep `kesejajaran setiap warga negara
di hadapan hukum'. Itu artinya, kualitasnya sebagai ahli hukum belum
terlalu tepat untuk mendapat posisi sebagai penentu kebijakan di bidang
pemberantasan korupsi dalam negara yang menganut prinsip equality before the law itu.
Atau mungkin juga akibat tergesa-gesa sehingga tak
berpikir dulu sebelum mengeluarkan pernyataan sikap di depan publik, karena
beranggapan bahwa pikiran dan pendapatnya sebagai Ketua KPK akan selalu di
anggap benar oleh setiap warga bangsa. Ia tak menyadari sudah demikian banyak
warga bangsa ini yang sadar dan terdidik dalam bidang hukum dan hak asasi
manusia (HAM).
Jika penjelasannya seperti itu memiliki unsur kebenaran,
kita pun patut prihatin karena seharusnya sudah tak lagi menjadi polemik di
kalangan ahli hukum, apalagi yang menjabat pemimpin lembaga negara penegak
hukum di bidang pemberantasan korupsi. Ketakpahaman terhadap, atau
ketakcermatan dalam menelaah, suatu permasalahan akan berimplikasi fatal pada
putusan hukum (vonis) yang diambil.
Kemungkinan kedua terkait dengan kematangan personalitas (personality maturity). Ia belum
memiliki kecukupan pengalaman untuk menangani permasalahan korupsi dengan
berbagai variasi latar belakang figur yang harus dihadapi atau ditanganinya
secara langsung. Akibatnya, bukan mustahil, terdapat sedikit perasaan minder
(inferiority complex) dalam
menghadapi figur-figur nasional, utamanya yang memiliki jabatan dengan
kekuasaannya yang besar.
Dalam konteks ini, anggapan bahwa presiden/wapres
merupakan `warga negara istimewa'
sehingga tak mudah diperiksa mungkin saja merupakan `ekspresi kengerian' terhadap figur pejabat papan teratas yang powerful. Setidaknya, barangkali dalam
diri Abraham Samad sarat dengan keraguan, tak yakin mampu membawa Boediono
(yang sekarang menjabat wapres) ke dalam proses penyidikan di KPK terkait dengan
skandal Bank Century.
Itu artinya, jika KPK melakukan diskriminasi dalam
pemberantasan korupsi, bukan karena tak paham tentang kewajiban untuk
bertindak berdasarkan `kesamaan posisi
warga negara di hadapan hukum', melainkan lebih sebagai akibat perasaan
minder atau takut berhadapan dengan pejabat yang memiliki kekuasaan besar di
negeri ini. Makanya, publik bangsa ini sudah dapat memahami lebih awal bahwa
akan sangat sulit untuk menggiring figur-figur kunci yang berperan penting
dalam proses dan kebijakan bailout Bank Century; hanya akan menjebloskan
figur-figur pelaku suruhan (bawahan dari) pejabat penentu.
Implikasi lebih jauh dari sikap KPK seperti itu ialah akan
sangat sulit menjalankan tugas secara profesional dan independen. Terlebih
lagi berhadapan dengan para petinggi politik karena merekalah yang berjasa
menjadikan pimpinan KPK terpilih. Jadi, jikapun politikus-politikus terlibat,
amat mungkin mereka akan selalu `terselamatkan'
oleh perasaan `berat hati' atau `balas budi'. Maka, sangatlah mudah
dipahami jika sejumlah politikus petinggi parpol yang terindikasi terlibat
korupsi dalam kasus Wisma Atlet, Hambalang, atau pun proyek dana penyesuaian
infrastruktur daerah (DPID), misalnya, belum tersentuh. Selain itu, sangat
lamban penanganannya hingga saat ini, mereka hanya menjebloskan oknum figur
pembantu. Sementara yang dicurigai sebagai otak dan pemain utamanya masih
terus bebas berkeliaran, termasuk berleha-leha di kursi jabatan, KPK terus
menggunakan strategi buying time
(mengulur waktu).
Ya,
begitulah. Namanya juga manusia, apalagi kultur
bangsa ini yang sarat didominasi rasa ketimbang rasio. Celakanya, kali ini
tampaknya merasuki jiwa para penegak hukum di KPK. Padahal, mereka diberi
mandat atau difasilitasi dengan uang rakyat untuk menjalankan amanah
reformasi, membersihkan negeri ini dari pihak-pihak korup yang masih
merajalela di berbagai lini dan level pemerintahan. Tidak sebaliknya, `melindungi koruptor'. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar