Menakar Kelas
Menengah Kita
Faiz Manshur ; Pemerhati Masalah
Sosial, Tinggal di Bandung
|
SINAR
HARAPAN, 28 November 2012
Gurita kelas menengah merajalela di beberapa negara. Negeri
China merupakan pesona hebat, bahkan bisa disebut dahsyat karena sampai tahun
2011 mampu melahirkan golongan berpenghasilan antara US$ 2-10 dalam jumlah
300 juta orang dari total jumlah penduduk mereka yang mencapai 1,4 miliar.
Indonesia dengan penduduk 237 juta, golongan berpenghasilan antara US$ 2-10
mencapai 45 juta jiwa.
Tak terlalu pelik untuk memperdebatkan
fakta pertumbuhan ini. Seandainya kita tidak sepakat mereka yang
berpenghasilan US$ 2 termasuk golongan menengah, kita ambil saja mereka yang
berpenghasilan US$ 4 atau sekitar Rp 35.000 per hari sudah cukup baik.
Di atasnya lagi sudah banyak yang
berpenghasilan Rp 60.000-80.000 per hari, bahkan sekarang teramat banyak
karyawan di perusahaan kecil, yang berada di kota besar maupun kota kabupaten
dengan penghasilan Rp 100.000 per hari.
Kelas menengah dalam pengertian hitungan
seperti itu adalah mereka yang kebutuhan dasar ekonominya (utamanya rumah,
pakaian dan makan) cukup, kemudian sisa belanja pokoknya beralih ke konsumsi
sekunder, seperti televisi, motor, mobil, kulkas, laptop, ponsel, dan
sejumlah kebutuhan mingguan seperti kongkow atau wisata bulanan.
Uniknya lagi, bisa jadi yang berpenghasilan
Rp 100.000 sekalipun belum layak memiliki transportasi seperti mobil, tetapi
mereka dipermudah oleh sistem kredit alias ngutang untuk lebih berani menjadi
konsumtif.
“Pesolek”
Kelas menengah seperti itu sering dianggap
kelas potensial. Tetapi, buruknya pola pikir para ekonom, terutama mereka
yang berada di pemerintahan saat ini, hanya melihat sisi sebagai daya beli.
Tak ada tafsir lebih lanjut untuk dimanfaatkan sebagai nilai potensial dalam
hal sosial, budaya dan pencapaian derajat mutu hidup.
Akibatnya kelas menengah, yang maaf, kita
sebut dengan sangat tepat sebagai OKB (orang kaya baru) itu benar-benar
sejalan dengan gayanya yang serbapesolek, gemar narsis, hedonis, dan lagi-lagi
maaf intelektualitasnya tak beranjak dari level sebelum mereka kaya.
Ekonomi meningkat tidak otomatis meningkat
derajat intelektualnya. Ini karena sekalipun setiap hari kecanduan membaca
berita, tidak semua bacaannya itu mampu meningkatkan mutu intelektualitasnya.
Ciri-ciri kelas menengah rapuh karakter
kebanyakan terdiri dari para karyawan bergaji cukup, bahkan tinggi, yang
kemudian boros belanja mengikuti tren, dan individualis. Mereka hanya kuat
sebagai konsumen dan itu bisa dilakukan saat berada dalam ekonomi stabil.
Saat kehilangan pekerjaan, mereka kehilangan eksistensi karena tak bisa
konsumtif lagi.
Sementara itu, kelas menengah yang kuat
adalah mereka yang tidak sekadar mengikuti gerak zaman, melainkan
memanfaatkan peluang untuk kuat sebagai pemodal; yakni menciptakan kegiatan
usaha untuk meraih keuntungan dengan mentalitas produktif. Mereka sadar
bergaji tinggi hanya siklus dan sering melenakan masa depan yang penuh
tantangan.
Memahami Siklus
Hal di atas penting dikemukakan mengingat
doktrin ekonomi pertumbuhan tidak linier; tumbuh, berkembang, pesat melaju
dan kuat. Pertumbuhan ekonomi dalam kacamata sejarah merupakan siklus yang
bercorak grafikal atau bergerak “naik-turun”.
Bahkan, dalam kasus yang lebih mikro, bisa
jadi pada sektor tertentu mereka sedang mengalami kerapuhan ekonomi karena
bidang yang digelutinya keok oleh kompetisi.
Kelas menengah akibat pertumbuhan ekonomi
tak selalu menghasilkan kelas borjuasi yang baik. Bahkan, dalam banyak hal,
kemakmuran sering melenakan manusia. Sosiolog kenamaan dunia, Ibnu Khaldun,
pernah mengatakan, kemakmuran sebuah masyarakat sering meruntuhkan
sendi-sendi kehidupan manakala kurangnya kontrol dari sikap hidup
berfoya-foya (hedonisme).
Memang, kita tak perlu apatis terhadap tren
yang berkembang. Akan menjadi penyakit sosial manakala kita terlena
sebagaimana refleksi Ibnu Khaldun.
Nikmatilah, tetapi bukan dengan sikap
emosional happy-happy tanpa kontrol diri sampai-sampai semua perkakas rumah
tangga dan perangkat gadget berceceran. Termasuk urusan wisata dan makan
malam dengan biaya tinggi, sementara kebutuhan persiapan untuk mandiri dari
gaji atau kesiapan berwirausaha dilupakan.
Harus diakui, kelas menengah kita masih
tumbuh dari ladang perusahaan-perusahaan besar. Hanya sedikit yang lahir dari
rahim kewirausahaan. Itulah mengapa sekalipun kelas menengah tumbuh pesat,
pengangguran tak terkikis cepat.
Bahkan, jumlah wirausaha dari tahun ke
tahun tetap dalam kisaran angka rendah. Beberapa minggu lalu, misalnya,
Wapres Boediono menyebut jumlah wirausaha di Indonesia hanya 1,56 persen dari
jumlah penduduk. Ini jelas keok dengan Malaysia (4 persen) Thailand (4,51
persen) dan Singapura (7,2 persen).
Kita mengikuti arus globalisasi, tapi harus
dengan kesadaran yang kritis agar tak menjadi korban banjir tragis globalisasi.
Petuah bijak, hidup ini bergerak seperti roda; kadang di atas, kadang di
bawah.
Saat berada di atas, bukanlah masa
kesempatan berhura-hura, melainkan mempersiapkan saat nanti berada di dalam
posisi bawah. Saat di bawah kita perlu bekal bertahan dan itu modal ekonomi
ialah tabungan. Modal sosialnya adalah intelektualitas (ilmu pengetahuan,
keterampilan), dan satunya lagi ialah mentalitas tangguh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar