Fenomena Politisi
Instan
Yunarto Wijaya ; Direktur Riset Charta
Politika Indonesia
|
SINDO,
26 November 2012
Fenomena baju
kotak-kotak tidak hanya terasa di Ibu Kota. Penampilan ini ternyata juga
muncul di daerah lain. Terdengar informasi yang mengatakan bahwa ada calon
kepala daerah lain yang meniru konsep baju kotak-kotak/garis-garis untuk
menumpang euforia Jokowi.
Sebuah fakta yang menyedihkan apabila memang betul terjadi. Mengapa menyedihkan? Kondisi tersebut berarti menunjukkan bagaimana dangkalnya persepsi sebagian elite dalam memaknai fenomena kemenangan Jokowi-Ahok di Pilkada DKI. Kemenangan mereka lebih diartikan sebagai kemenangan kosmetik politik dibandingkan dengan substansi track record dan program yang mereka miliki. Branding lebih dititikberatkan pada political look dibandingkan dengan political performance. Dengan kata lain, mereka lebih terpusat pada cara membuat kemasan dibandingkan fokus pada proses pembuatan produk terlebih dahulu. Yang sering terjadi kemudian adalah branding duplication dengan cara meniru gaya komunikasi politik politisi lain yang dianggap sukses dalam pilkada atau pemilu. Alih-alih bertarung program, para politikus malah menceburkan dirinya dalam pertarungan “narsisme politik”. Para kandidat telah bertransformasi menjadi seorang selebritas demi mencapai suatu citra. Berbeda dengan kalimat “saya berpikir, maka saya ada” oleh Rene Descartes, politisi ini sudah memosisikan dirinya dalam sebuah idiom “saya selebriti, maka saya ada”! Politainment & Budaya Pop Gejala narsisme ini sendiri berjalan linier seiring dengan perkembangan budaya televisi dan digital. Dalam Politics and Popular Culture, Street (1997) melukiskan genre politik ini sebagai a matter of performance. Politik memiliki kaitan yang erat dengan budaya pop. Permainan di depan pemirsa televisi menjadi bentuk seni pertunjukan. Dalam kondisi ini, citra, kesan, dan penampilan luar adalah segalanya. Ia perlu dikemas agar memikat masyarakat. Panggung politik telah berubah menjadi politainment untuk menciptakan khalayak. Era televisi dan digital ini juga membuka lembaran baru gaya berpolitik seorang politikus. Mereka lebih suka retorika daripada karya dan lebih tertarik pada fashion ketimbang vision. Hal ini telah mengerucut pada kondisi hiperealitas, realitas yang dikemas dalam media, seperti yang dikemukakan filsuf Prancis Jean Baudrillard. Sebuah keadaan di mana media massa bahkan lebih berkuasa daripada sang penguasa dalam hal menyebarkan pesan dan simbol kepada publik. Dalam situasi seperti itulah kemudian masyarakat harus dihadapkan pada situasi yang tidak berbatas. Situasi di mana peran politisi dan selebritas menjadi semakin kabur. Dapat dilihat bagaimana fenomena selebritas berduyun-duyun menjadi politisi dan di sisi lain politisi pun berbondong-bondong tampil layaknya seorang selebritas. Paling tidak ada dua kata yang bisa menjelaskan fenomena budaya pop ini, yaitu “citra” dan “instan”. Variabel citra di sini menekankan pentingnya aspek kemasan dibandingkan dengan substansi yang ada di dalamnya. Dalam konteks politik, seorang pemimpin pada akhirnya akan lebih berorientasi pada citranya di hadapan publik dibandingkan dengan tercapainya visi-misi yang diembannya. Sementara variabel instan merujuk pada karakter budaya pop yang ringan, trendi, dan market oriented. Dalam karakter budaya seperti ini, hasil akhir (output) menjadi lebih penting dibandingkan dengan proses yang menopangnya. Jangan heran kalau kemudian lahir politisi instan tanpa modal pengalaman dan track record baik di tingkat lokal maupun nasional. Lahirnya pemimpin-pemimpin politik seperti itu pada akhirnya tentu saja akan melahirkan sistem politik yang hanya bersifat artifisial. Sebuah sistem politik yang berorientasi pada kerja “hiburan” demi menyenangkan basis konstituen secara sesaat. Dalam kondisi ini, visi-misi dan program kerja tentu saja tidak akan pernah menyentuh kebutuhan mendasar (basic needs) yang sesungguhnya. Menjaga Rasionalitas Pemilih Suka atau tidak, keberadaan budaya pop adalah fenomena yang tidak bisa dihindari. Politik tidak bisa kemudian melepaskan dirinya sendiri sebagai menara gading yang menafikan faktor-faktor populer tersebut walaupun kemudian dibutuhkan penyesuaian mengingat sisi negatif yang juga dimiliki budaya pop itu sendiri. Diperlukan antitesis yang sanggup berkompromi dengan ekstremitas budaya pop seperti ini. Sebuah antitesis yang minimal harus melibatkan aktor media dan partai demi tercapainya pemahaman rasionalitas pemilih dalam menentukan sikap politiknya. Karena hanya dengan pemahaman rasionalitas inilah budaya pop bisa diterima secara selektif. Di satu sisi, fungsi media sebagai sarana pencitraan juga harus diimbangi oleh fungsinya sebagai alat kontrol-kritis. Media massa harus bisa menjaga integritasnya sebagai “alat pendidik” dalam hal mengimbangi konstelasi kekuatan modal dan kekuasaan yang ada di sekitarnya. Hal ini hanya dapat terjadi melalui suatu kontrol oleh civil society melalui media watch. Seperti kita ketahui, politik telah menjadi isu favorit yang hampir selalu menghiasi headline media cetak dan online serta acara talkshow media elektronik. Media diharapkan tetap berperan sebagai “instrumen pendidik” yang tidak melulu bicara peringkat dan oplah semata. Pemberitaan diharapkan tidak didominasi oleh unsur hiburan yang akhirnya harus mengorbankan substansi. Di sisi lain, partai politik juga harus ikut bertanggung jawab. Lemahnya proses kaderisasi dan rekrutmen dapat dianggap sebagai salah satu faktor utama munculnya politisi karbitan ini. Parpol harus mulai bertransformasi dari sekadar menjadi fans club menuju organisasi modern yang tidak lagi bergantung pada figur tertentu saja. Parpol harus bisa memadukan budaya meritokrasi dan nilai ideologi untuk melahirkan pemimpin politik yang berkarakter. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan membangun budaya transparansi dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk dalam menentukan kader yang akan dipilih untuk menjadi caleg,kepala daerah, dan bahkan presiden. Pendidikan politik menuju masyarakat memang bukanlah sebuah hal yang mudah dilakukan. Butuh sebuah proses jangka panjang dalam menghadapi perilaku pemilih yang sudah cenderung apatis terhadap politik. Sebuah proses yang bisa membuat pemilih membedakan mana politisi “layar kaca” dan mana politisi yang dekat dengan realitas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar