Generasi
Digital
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS,
28 November 2012
Dalam sebuah tulisan yang memenangi
sayembara penulisan esai Kompas pada 1980-an, saya membahas sebuah masalah
yang tergambar dalam judulnya, ”Generasi
yang Hilang”. Sebuah istilah yang kemudian muncul pada dekade berikutnya
di Amerika sebagai gambaran dari mereka yang lahir di pertengahan
1960-1970-an.
Itulah generasi yang digambarkan dengan
bawaan mental yang apatis. Kelompok pemilih terendah dalam soal partisipasi
politiknya karena skeptisitas tinggi terhadap realitas kontemporer mereka. ”Generasi yang tersingkirkan dan tak
pernah berhasil kembali pada isu-isu mutakhir,” tulis Newsweek.
Di Indonesia, kondisi itu sangat mudah
dimafhumi. Sebagaimana saya jelaskan dalam esai 1980-an itu, generasi yang
kemudian hari juga disebut sebagai ”generasi X” itu hidup dan berkembang
dalam realitas politik, sosial, dan kultural yang penuh tekanan karena
otoritarianisme rezim Orde Baru. Sebagaimana kerap juga saya nyatakan, bukan
korupsi Rp 150 triliun atau kekerasan politik-militer Soeharto yang generasi
ini sesalkan, melainkan hancur dan rusaknya daya khayal atau imajinasi remaja
dan anak muda kala itu karena indoktrinasi dan teror mental yang dipraktikkan
rezim.
Generasi yang Bertumbuh
Generasi X adalah segerombolan anak yang
bukan hanya biaya sekolah, uang jajan, dan makan minumnya ditentukan
orangtua, bahkan hingga warna sepatu atau profesi idaman tak bisa mereka
tentukan sendiri. Inilah generasi yang duduk sendiri, di belakang rumah, di
bawah pohon, membaca biografi tokoh-tokoh dunia dengan fantasi yang
disembunyikan.
Maka, saya pun mengamati almarhum
cendekiawan Wiratmo Soekito dalam diskusi-diskusi kebudayaan di Taman Ismail
Marzuki, Jakarta, mengikuti caranya membaca buku dengan hafal setiap kutipan,
halaman, penerbit, hingga kredit bukunya. Namun, semua itu seperti tak
berjejak pada generasi berikut, generasi Y alias mereka yang lahir antara
1976 dan 1995. Barisan manusia muda yang rapi dan canggih, dengan kearifan
teknologis yang tinggi, imun pada gaya-gaya propaganda dan intimidasi
tradisional. Sebuah generasi yang menyebar dalam keragaman etnik dan ras,
akrab dengan televisi multikanal, radio satelit serta internet generasi
pertama.
Pada masa kanak dan remaja generasi ini,
dunia mengalami pertumbuhan dan perubahan dengan percepatan bukan lagi
kecepatan, membuat mereka menjadi lebih fashionable dan well-known dan
loyalitasnya tinggi pada merek yang mereka anggap memberi identitas. Mereka
turut menentukan apa yang keluarga harus konsumsi, memiliki kartu kredit
dengan tanda tangan orangtua, dan mulai dapat merancang masa depannya
sendiri.
Betapapun orangtua atau nenek-kakek mereka
masih duduk manja di kursi kekuasaannya, tetapi di tingkat bawah sesungguhnya
terjadi pergeseran serta pergerakan yang tak terbaca oleh suprastruktur, dan
diselenggarakan oleh generasi kreatif ini. Jarak antara sains dan teknologi
dengan realitas mutakhir—yang sebenarnya menjauh—masih dapat mereka
jembatani, ide teraktualisasi, betapapun kadang sumir dan artifisial.
Namun, dunia tidak berhenti bergerak.
Teknologi komunikasi dan informasi seperti menggenggam dunia dalam
telapaknya, membuat manusia seperti berlari-lari kecil untuk mengelilingi
bumi dan mengetahui setiap detail tubuh (persoalan)-nya. Media menjadi begitu
canggih sehingga hidup superkompleks bisa diringkusnya dalam data, yang siapa
pun mampu mengaksesnya dalam hitungan detik. Kini dunia juga dalam genggaman
kita, manusia.
Pada masa inilah, pasca-1995, lahir sebuah
generasi baru, ”generasi Z”, yang tak
hanya diubah oleh percepatan teknologi di atas, tetapi juga mengubah hampir
setiap dimensi hidup berbudaya kita. Bukan hanya gaya hidup, cara berpikir,
kosmologi, hingga cara menatap waktu atau masa lalu dan masa depannya.
Mereka, yang kerap disebut sebagai iGeneration
(i: Internet) atau NetGeneration atau Generation@, adalah gelombang manusia
yang tumbuh bahkan menjadi digital: generasi
digital!
Penuh Paradoks
Maka, semua jadi purba dalam soal bagaimana
kita mengaktualisasi diri, meneguhkan eksistensi. Diri dibentuk oleh
perjumpaan data dan kata yang diakses dari seluruh dunia, hingga sudut
terkucilnya, lewat BBM, WWW, instant
messaging, MP4, mobile phone, Skype, hingga Youtube. Hidup yang posmodernik, multikultural, dan global
menjadi keniscayaan yang sesungguhnya memberi mereka paradoks: bebas
meneguhkan atau menciptakan klaim tentang diri sendiri tetapi saat bersamaan
mereka lenyap dalam riuh.
Jadilah kemudian mereka generasi yang diam
karena dunia sudah terlalu (di) dalam dirinya. Generasi yang tidak terusik
ketika berhadapan dengan monitor atau keypad di gadget-gadget terbarunya.
Manusia-manusia yang sangat praktis, bahkan hiperpragmatis, dengan kantong
yang tipis tetapi padat isi dan makna: ada dunia di dalam sakunya, dalam
bentuk yang tidak lebih besar dari bungkus rokoknya.
Inilah generasi yang sangat berbeda dengan
penulis yang mengeja semua huruf dan kata, menghafalkannya dengan bangga.
Sementara generasi ini mengakses dan meresepsi data, kata, dan makna dengan
cubitan di kotak screen. Dengan
ujung telunjuknya mereka memindai semesta dalam kecepatan daya tangkap visual
dan kognitif yang luar biasa. Mereka tahu banyak, bahkan terlalu banyak.
Namun tetap dalam paradoks: mereka juga tak tahu banyak.
Generasi inilah yang akan menentukan
bagaimana sebuah bangsa, negara, bahkan kebudayaan akan dikembangkan dan
menjadi pada masa nanti. Mungkin sebagian kita tidak rela. Namun, betapa
desisif mereka, tidak hanya membuat musik, tari, pertunjukan menjadi ”Gangnam Style”, tetapi juga politik,
hukum, agama bahkan lembaga internasional. Karena ratusan juta manusia
mengamininya.
Lalu di mana James Joyce, Homerus,
Hemingway, atau Chairil Anwar dan Ronggowarsito? Mereka adalah teman lama
kutu-kutu yang menggerogoti buku-buku, monumen masa lalu. Peradaban dan
kebudayaan sedang dibentuk ulang dengan perangkat keras dan lunak terbaru,
yang bahkan generasi saya, X, merasa malu dan sungkan untuk mengakui, ”Maaf, aku tidak paham itu.”
Lalu apa yang bisa kita lakukan? Mengingat
generasi canggih ini sebenarnya juga terluka oleh krisis-krisis politik,
moneter, hingga lingkungan yang diproduksi oleh sistem hasil ciptaan kakek
dan buyutnya. Mereka yang begitu bernafsu ingin membeli iPad terbaru, tetapi
ternyata ia sudah terlalu banyak utang. Apa dan bagaimana kondisi mental sosial
itu memberi mereka alasan-alasan terbaik untuk membentuk diri, masyarakat,
atau bangsanya?
Betapa tidak bertanggung jawabnya bila kita
lebih peduli pada rebutan kursi kosong dan rezeki murahan ketimbang membantu
generasi ini membentuk diri dan masa depannya. Atau kita siap menyambut
generasi kosong, generasi katastropik yang tidak (mau) mengerti untuk apa
mereka ada di atas tanah ini? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar