Berpikirlah
untuk Berdaulat Pangan
Muladno ; Guru Besar Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor,
Pemerhati Kebijakan
Pemerintah di Bidang Peternakan
|
SINAR
HARAPAN, 28 November 2012
Harga daging sapi yang menembus angka di atas Rp 100.000 per
kilogram di Jakarta belakangan ini telah kembali normal ke harga sebelumnya.
Kenaikan itu agak aneh, karena harga daging
sapi di berbagai kota besar lainnya pada saat yang sama tidak mengalami
kenaikan yang sangat signifikan. Terkesan ada kekurangan pasokan sapi di
wilayah DKI Jakarta. Padahal di banyak daerah sentra sapi, para peternak
kesulitan menjual ternak sapinya. Jadi, ada ketidaknormalan mekanisme pasar.
Karena hasil sensus sapi dan kerbau yang
diterbitkan akhir 2011 menunjukkan populasi sapi dan kerbau mampu mencukupi
90 persen kebutuhan daging secara nasional dengan asumsi tingkat konsumsinya
2,1 kg/kapita/tahun, pemerintah menghormati hasil kerja Biro Pusat Statistik
tersebut dengan tetap menjalankan skenario pencapaian swasembada daging pada
2014.
Ini dilakukan dengan secara konsisten
menurunkan kuota impor daging beku dan impor sapi bakalan dari Australia
secara bertahap, yaitu sekitar 18 persen pada 2012; sekitar 13 persen pada
2013 dan sekitar 10 persen pada 2014.
Ada sebagian pihak merasa pesimis dengan
angka-angka tersebut, tetapi saya termasuk salah satu yang merasa optimis
swasembada daging 2014 tercapai berdasarkan populasi sapi yang ada saat
sensus tersebut sebanyak 14,8 juta ekor.
Namun rasa optimis saya itu hanya sampai
akhir 2014 saja. Bagaimana setelah 2014? Itu yang justru sangat penting
diperhatikan pemerintah. Percuma saja kalau pemerintah sudah merasa puas
hanya karena tercapainya swasembada daging pada 2014, karena hal itu tidak
diharapkan oleh peternak dan perusahaan peternakan di Indonesia.
Mendesak
Hasil survei karkas Juni-Agustus 2012 oleh
tim IPB menunjukkan dari 291 sapi siap potong yang diambil secara acak di 20
Rumah Potong Hewan (RPH) di 10 provinsi di Indonesia, 73 persen sapi potong
berjenis kelamin jantan dan 27 persen sisanya berjenis kelamin betina,
sedangkan 85 persen berkondisi tubuh kurus/sedang, dan hanya 15 persen
sisanya gemuk.
Tidak ada pilihan lain, program penggemukan
sapi bagi 85 persen sapi berkondisi tubuh kurus/sedang tersebut harus
dilakukan mulai sekarang. Ketersediaan pakan yang mudah diakses oleh peternak
di sentra produksi sapi dan kerbau menjadi kewajiban pemerintah. Jika program
itu berhasil dilaksanakan, keraguan akan tidak tercapainya swasembada daging
pada 2014 tidak ada lagi.
Adapun untuk menjamin keberlanjutan
swasembada setelah 2014, sedikitnya ada tiga hal lagi yang harus dilakukan
pemerintah. Pertama, himpun semua produsen ternak di daerah sentra ternak
sapi dan kerbau.
Pastikan berapa populasi ternak sapi dan
kerbau yang dikuasai oleh produsen ternak yang siap dilepas untuk dipotong.
Lokasi ternaknya juga harus jelas sehingga dapat diketahui cara mengaksesnya.
Timbangan ternak sebagai peralatan mendasar harus tersedia di setiap
komunitas peternak yang banyak populasi sapinya sehingga harga lebih
terjamin.
Saya yakin pemerintah dengan jaringan
birokrasinya pusat-daerah akan sanggup menghimpun para produsen ternak
tersebut. Memperkuat persatuan peternak produsen ternak ini sangat penting,
karena kalau tidak kuat soliditasnya, mereka akan mudah dipermainkan
pedagang. Ini sebenarnya juga telah dirintis pemerintah saat ini dan harus
lebih dioptimalkan.
Kedua, optimalkan Unit Manajemen Program
Swasembada Daging Sapi/Kerbau (UM-PSDSK) mulai dari pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota, khususnya di daerah sentra produksi ternak sapi dan kerbau.
UM-PSDSK di setiap tingkatan harus membuka call centre dan harus memiliki
nama contact person dan nomor telepon para produsen peternak dan asosiasinya.
Komunikasi antarprodusen ternak harus
dipermudah dan diperluas dengan fasilitasi pemerintah melalui UM-PSDSK tadi
sehingga tidak ada lagi kejadian peternak kesulitan menjual ternaknya,
padahal di sisi lain konsumen juga kesulitan mencari sapi untuk dibeli. Peran
UM-PSDSK di setiap tingkatan harus dapat lebih dirasakan oleh produsen maupun
konsumen ternak sapi/kerbau.
Ketiga, peraturan menteri (permen) tentang
importasi sapi betina produktif yang secara substansial sudah selesai perlu
segera diterbitkan, karena permen itu membuka peluang perusahaan peternakan
membantu pemerintah mempercepat peningkatan populasi sapi di Indonesia dengan
cara mengimpor banyak betina produktif dari luar negeri untuk
dikembangbiakkan di Indonesia.
Program Jangka Panjang
Ketidaknormalan mekanisme pasar yang
mengakibatkan harga daging sapi meroket tajam beberapa hari lalu mestinya
dijadikan media pembelajaran bagi seluruh pemangku kepentingan dalam dunia
persapian. Semua pihak harus memiliki jiwa nasionalisme tinggi dan berupaya
untuk bersatu dalam rangka memperkuat kedaulatan pangan di komoditas daging
ini.
Jangan malah sebaliknya, cepat menyerah dan
ingin menggunakan jalan pintas untuk impor sapi bakalan dan daging beku saja.
Kapan kita bisa berdaulat pangan kalau ketergantungan kepada luar negeri
selalu dijadikan solusi permasalahan pangan?
Dalam konteks sapi, daya saing 6,2 juta
peternak kecil yang rata-rata memiliki 1-3 ekor per peternak harus
ditingkatkan dalam jangka panjang. Mereka adalah pemilik 98 persen total
populasi sapi di Indonesia.
Jika mereka kuat, sapi juga sehat dan
populasinya pasti akan meningkat. Skala kepemilikan sapi yang rendah jangan
lagi dijadikan suatu masalah, tetapi memang itulah kebiasaan mereka sejak
zaman Indonesia masih dijajah Belanda yang menjadikan ternak sapi sebagai
tabungan hidup.
Jadikan rendahnya skala kepemilikan itu
sebagai tantangan kita untuk berpikir kreatif dalam rangka meningkatkan daya
saingnya. Mari kita ajari mereka berbisnis sapi dan bukan sekadar beternak
sapi. Berdayakan mereka dengan memperkuat kelembagaan kelompok yang
berorientasi bisnis dengan mengedepankan efisiensi dan produktivitas.
Lembaga bisnis milik peternak itu tidak
hanya menjalankan bisnis sapi saja, tetapi juga hasil bumi lainnya yang
tumbuh di sekitar rumah mereka. Ubah pola pikir mereka untuk menjadi pebisnis
dan bukan menjadi pekerja.
Ajari mereka untuk tidak membiarkan
sejengkal pun tanahnya kosong tak termanfaatkan, karena tanah itu bisa
ditanami apa saja untuk dimanfaatkan secara komersial. Ajari mereka
menyinergikan keberadaan ternak dan ketersediaan lahan pertanian, dan
lain-lain.
Ini memang bukan soal mudah, tetapi adanya
pemerintah memang diamanahkan untuk mengurusi yang sulit-sulit ini, dan bukan
hanya mengurusi yang gampang-gampang saja.
Pemberdayaan 6,2 juta peternak kecil
merupakan keniscayaan untuk melanggengkan program swasembada daging sapi di
Indonesia sebagai wujud adanya kedaulatan pangan di komoditas daging sapi di
negara ini. Jadi, bukan dengan bantuan pengadaan sapi yang tampaknya hanya
memindah-mindahkan sapi dari wilayah satu ke wilayah lainnya.
Namun yang dilakukan adalah pendampingan
untuk memperkuat kelembagaan bisnis peternak sehingga mereka memiliki posisi
tawar kuat.
Dengan begitu mereka tidak dapat
dipermainkan lagi nasibnya oleh para pedagang. Kelembagaan bisnis peternak
yang kuat akan memutus rantai tata niaga, dan ini akan meningkatkan
pendapatan peternak, menyejahterakan peternak, serta menaikkan harkat dan
martabatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar