Mencabut Grasi
dari Hak Prerogatif
Sulardi ; Dosen FH Universitas Muhammadiyah Malang
|
REPUBLIKA,
29 November 2012
Pada
awalnya, tidak ada masalah dengan grasi, yang berupa pengampunan atau
pengurangan hukuman oleh presiden. Justru, pada pemerintahan yang baik, keberadaan
grasi merupakan suatu keharusan. Sebab, dengan adanya grasi, presiden dapat
mengurangi atau membatalkan keputusan lembaga yudi- katif yang dirasakan
terlampau berat bagi terpidana.
Sejauh
ini, pemberian grasi dalam tataran ketatanegaraan dipahami sebagai hak
prerogatif presiden. Sehingga, grasi yang sudah diberikan sudah tertutup
kemungkinannya untuk dibatalkan secara hukum. Aturan mengenai grasi diatur
Pasal 14 (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Sesungguhnya,
UUD 1945 tidak menganut konsep hak prerogatif. Karena itu, hak prerogatif
mengenai pemberian grasi itu pantas dikritisi. Sebab, acap kali grasi
bertolak belakang dengan konteks situasi bangsa dan negara Indonesia saat ini
yang sedang memerangi korupsi dan narkoba. Pemberian grasi terhadap narapida
korupsi dan narkoba dirasakan telah mencederai perasaan keadilan masyarakat
Indonesia.
Pada
masa jabatan Presiden SBY yang kedua ini, tercatat dua kali pemberian grasi
terhadap narapidana kasus narkoba. Pertama, grasi yang diberikan kepada
Corby, kedua, kepada Ola. Kedua pemberian grasi tersebut mendapat tanggapan
beragam antara pro dan kontra, tak terlepas dari situasi negara ini yang
sedang memerangi narkoba.
Keputusan
Presiden SBY memberikan grasi berupa pengurangan lima tahun hukuman penjara
kepada terpidana kasus narkotika, Schapelle Corby, sangat pantas disesalkan.
Harapan Pemerintah Indonesia atas pemberian grasi terhadap Corby memberikan
pesan kepada Pemerintah Australia agar melakukan hal serupa terhadap tahanan
asal Indonesia, khususnya anak di bawah umur yang cukup banyak karena
terlibat penyelundupan manusia. Namun, faktanya tidak jelas timbal balik apa
yang didapat Indonesia dari pemberian grasi itu.
Secara
umum, ada dua jenis bentuk legal formal produk hukum yang sering dikeluarkan
oleh presiden dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah. Pertama, dalam
bentuk keputusan presiden (keppres). Keppres dalam perspektif hukum
administrasi masuk dalam kategori beschikking.
Kedua, dalam bentuk peraturan presiden (perpres). Jadi, pemberian grasi oleh
presiden dilihat dari sisi hukumnya merupakan produk hukum dalam bentuk
beschikking. Dalam hukum administrasi negara, untuk menguji suatu beschikking yang dikeluarkan oleh
pejabat tata usaha negara (termasuk presiden), yakni melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN).
Pertanyaannya,
bisakah kepres pemberian grasi diuji melalui PTUN? Dapatkah atas dasar hak
prerogatif presiden menghilangkan hak warga negara untuk menguji keppres
tersebut. Padahal, hak prerogatif presiden merupakan hak konstitusional
presiden yang tidak dapat diganggu gugat.
Pemberian
grasi terakhir yang mendapat perhatian cukup serius adalah pemberian grasi
terhadap Meirika Franola (Ola). Grasi ini diduga banyak ke- janggalan dan
terkesan dipaksakan. Pertama, terkait fakta persidangan dan pertimbangan
hukum putusan hakim, mulai dari pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga
Mahkamah Agung. Ketiganya memiliki penilaian yang sama bahwa Ola merupakan
bagian dari sindikat peredaran narkoba, bukan seperti yang disampaikan SBY
bahwa Ola hanya seorang kurir.
Kedua,
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan telah dikuatkan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi, hukuman mati merupakan hukuman yang konstitusional.
Dengan demikian, keputusan presiden menghilangkan hukuman mati untuk Ola
tidak tepat lantaran hanya karena melihat tren di negara lain yang cenderung
hukuman mati menurun.
Ketiga,
dari sisi kemanusiaan dan keadilan atas jutaan korban dan calon korban
narkoba serta keluarga yang ditinggalkan, seharusnya tidak diabaikan presiden
hanya demi seorang Ola. Padahal, Mahkamah Agung juga telah menyatakan, alasan
untuk memberikan grasi kepada Ola tidak cukup. Ola yang masih mendekam di Lembaga
Pemasyarakatan Tangerang belakangan diduga terlibat lagi dan bahkan mengotaki
peredaran narkoba dengan jaringan dari luar negeri. Kasus ini tengah
ditangani Badan Narkotika Nasional (BNN).
Untuk
menjaga agar kelak pada kemudian hari hak prerogatif presiden dalam bentuk
pemberian grasi ini tidak menjadi mainan presiden dan para pembantunya maka
ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 tersebut sudah saatnya
dimaknai bukan sebagai hak prerogatif presiden. Aturan tersebut hanya sebatas
hak konstitusional dengan dicabutnya grasi dari hak prerogatif presiden.
Maka,
pada kemudian hari, jika presiden memberikan grasi yang melukai rasa keadilan
masyarakat, terbuka peluang untuk meneliti kembali keputusan tentang grasi
tersebut melalui hukum. Hasilnya, tidak tertutup kemungkinan berupa
pembatalan grasi yang diberikan oleh presiden. Dengan demikian, ketika
presiden membuat keputusan tentang grasi dapat diganggu gugat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar