Bentuk Ekonomi
Kita
Jennie S Bev ; Kolumnis, Bermukim di Kalifornia
|
REPUBLIKA,
28 November 2012
Indonesia berada di
antara welfare state dan free market. Status Indonesia sebagai
anggota G-20 menghasilkan satu triliun dolar AS dan tingkat pertumbuhan
ekonomi 6,5 persen per tahun, bahkan bisa lebih tinggi pada masa mendatang.
Momentum tersebut memungkinkan Indonesia untuk mengkristalisasikan model welfare state dan sistem ekonomi yang
paling sesuai dengan iklim Indonesia.
Sampai sekarang tidak
jelas ke arah mana model welfare state
yang sedang dibentuk serta sistem ekonomi masih berproses membentuk diri. Ambisi
pemerintah untuk mencapai tujuh persen pertumbuhan ekonomi per tahun
membutuhkan realisasi kenaikan produktivitas melebihi 60 persen yang
terhitung sejak 2000. Akselerasi penanaman modal asing diharapkan bisa
mempercepat pencapaian PDB sebesar 1,8 triliun dolar AS pada 2030. Saat itu,
Indonesia akan telah melampaui Jerman dan Inggris Raya. Target ini dibarengi
dengan momentum pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk sekitar empat-lima
juta kelahiran per tahun di mana ledakan ini mempertahankan posisi pasar
domestik sebagai kontributor PDB utama.
Untuk kepentingan
pasar bebas, angka-angka ini sangat fantastis. Untuk pendanaan welfare state, sesungguhnya juga
fantastis. Idaman dan harapan publik adalah welfare state bagi Indonesia. Di Jakarta dan beberapa wilayah
lainnya, pelayanan kesehatan bebas biaya sudah mulai diberikan oleh
pemerintah daerah. Pelayanan kesehatan bebas biaya dan perlindungan buruh
yang baik merupakan bentuk-bentuk implementasi klasik.
Di tingkat nasional,
undang-undang perburuhan Indonesia lebih condong kepada perlindungan buruh
dengan pemberian pesangon yang cukup besar oleh perusahaan dibandingkan
dengan di negara lain, misalnya, Amerika Serikat. Ini antiknya karena
jaminan buruh diberikan oleh perusahaan. Menurut UU Ketenagakerjaan 13/2003
tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), bahkan apabila karyawan ditahan oleh pihak
berwajib, perusahaan wajib memberikan bantuan kepada keluarganya sebesar
hingga 50 persen. Ini jelas tidak ada di AS.
Mungkin tidak banyak
yang tahu bahwa di AS, setiap karyawan bekerja atas dasar at will alias kehendak karyawan atau
perusahaan. Perjanjian at will ini
memungkinkan, baik karyawan maupun perusahaan, untuk serta-merta memutuskan
hubungan kerja dengan alasan apa pun. Ini memang merupakan salah satu
ciri dari negara kapitalis yang mempunyai gradasi welfare state yang agak
samar dan terbatas. Untuk posisi-posisi eksekutif atas tertentu, ada severance package sesuai dengan
perjanjian pengangkatan, namun ini bukan kewajiban hukum bagi perusahaan.
Bagaimana bentuk welfare state ideal bagi Indonesia
masih bisa diperdebatkan.
Obama Healthcare sendiri baru akan dijalankan penuh pada 2014 di mana setiap wajib pajak diwajibkan untuk membeli asuransi kesehatan sendiri apa- bila tidak ditanggung oleh tempat kerja. Mereka yang tidak membeli asuransi kesehatan akan dikenakan penalti ketika membayar pajak tahunan.
Jelas AS bukan contoh
idaman untuk welfare state karena
nuansa kekentalan kapitalismenya yang mengintai di setiap tikungan. Selain
itu, Yunani juga bukan contoh welfare
state yang baik. Michael Lewis dalam Boomerang:
Travels in the New Third World menulis bahwa spirit ekonomi Yunani berbasis
kolektif, namun setiap individu menjalankan tindakan-tindakan ekonomi
berdasarkan kehendak individual. Ini serupa dengan di Indonesia karena short-term gain sering kali menjadi
pertimbangan utama tindakan ekonomi individu maupun kelompok.
Tiga hal utama yang
perlu diimplementasikan dengan baik, yaitu sistem perpajakan, kepercayaan
masyarakat, dan penegakan hukum. Negara-negara Skandinavia mengenakan
pajak pendapatan perorangan sangat tinggi hingga 70 persen. Apakah para
pembayar pajak Indonesia akan "rela" demikian? Bisakah tax evasion ditekan minimal sehingga
dana bisa terkumpul optimal untuk kesejahteraan rakyat umum tanpa kecuali
(tanpa batas pendapatan maksimal untuk mendapatkan pelayanan)?
Di AS, social security benefits diberikan kepada
para pembayar social security tax
sehingga ini sesungguhnya perangkat welfare
state yang terbatas, tidak universal. Di Indonesia, Jamsostek serupa
namun tidak sama dengan social security
benefits. Mungkin lebih dekat dengan disability
insurance yang mengandalkan premi asuransi dari wajib pajak.
Free market sendiri merupakan pasar yang ditentukan oleh pertemuan suplai
dan permintaan. Pasar bebas ini merupakan lawan dari pasar terkontrol atau
teregulasi di mana harga, suplai, dan permintaan merupakan subjek regulasi.
Para penganut Keynesian percaya bahwa aktivitas produktif dipengaruhi oleh agregat permintaan yang merupakan total spending yang tidak selalu identik dengan agregat suplai.
Para ekonom penganut
Adam Smith percaya bahwa ekonomi idealnya bersih dari monopoly rents sedangkan proponen laissez faire percaya bahwa monopoli diperbolehkan. Penganut laissez faire, Hayek dan Milton
Friedman, juga percaya bahwa ekonomi idealnya bersih dari pengaruh-pengaruh
dari pajak, subsidi, tarif, regulasi, dan monopoli koersif pemerintah. Ini
terbalik dari ide John Maynard Keynes dengan ekonomi Keynesiannya yang mengutamakan
kebijakan-kebijakan dan kepentingan rakyat. Dan, "rakyat" di sini
tidak ada pengecualian. Di Indonesia, kata "rakyat" sering
dibayangkan sebagai "orang-orang kecil dengan pendapatan rendah".
Ini persepsi yang salah. Rakyat merupakan semua warga negara (citizen) dan penduduk negara
(resident).
Welfare state yang baik dan benar tidak mendiskriminasikan "rakyat"
dengan jumlah penghasilan karena penghasilan seyogianya tidak pernah tetap,
bahkan naik-turun, bergantung pada ekonomi makro. Selain itu, mekanisme pajak
bisa dipakai untuk distribusi pemerataan kesejahteraan, bukan hanya mekanisme
penagihan belaka.
Indonesia berada di
persimpangan jalan dalam mencari bentuk free
market dan welfare state yang
sesuai. Keduanya baik sepanjang bisa dicari ekuilibrium yang cocok dengan
situasi politik, hukum, ekonomi, dan kultur. Semua aspek ini bergulir terus
di tengah roda globalisasi. Jangan tidur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar