Menguji
Gencatan Senjata di Gaza
Chusnan Maghribi ; Alumnus Hubungan
Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY)
|
SUARA
MERDEKA, 26 November 2012
GENCATAN gencatan senjata di Gaza antara
Hamas dan militer Israel Rabu (21/11) malam disambut positif oleh banyak
pihak. Amerika Serikat (AS) memuji pemerintah Mesir, aktor utama di balik
capaian tersebut. Iran memujinya lantaran gencatan senjata itu dipandang
sebagai kemenangan Hamas.
Persepsi ini mudah dimengerti karena salah satu butir kesepakatan dalam gencatan itu menyebutkan Israel sepakat mengakhiri blokade atas Jalur Gaza yang diberlakukannya sejak 2006, tak lama setelah pemilihan umum Palestina yang dimenangI Partai Hamas. Republik Mesir sejak hari pertama agresi Israel dengan sandi Pillar of Defense ke Jalur Gaza (14/11) menunjukkan tekad dan sikap kuat untuk secepat mungkin menghentikan perang yang tidak seimbang antara Hamas dan Israel. Presiden Mohammed Mursi di tengah ketegangan politik domestik antara kubunya dan kubu liberal, menugaskan Perdana Menteri (PM) Hisham Qandil ke Gaza guna menemui para pemimpin Hamas, termasuk PM Ismail Haniya. Juga, menugaskan pejabat intelijen ke Tel Aviv untuk menemui sejumlah pejabat pemerintah ataupun militer negeri zionis itu. Mulanya upaya mereka tidak membuahkan hasil, tetapi kemudian berbuah manis seiring dengan keputusan Hamas dan Israel menghentikan serangan masing-masing. Puluhan ribu personel Angkatan Darat (AD) Israel pun yang sudah disiap-siagakan di sepanjang perbatasan Israel-Gaza urung ikut menyerbu sehingga korban jiwa, khususnya warga Palestina (Gaza) bisa diminimalisasi meski jumlahnya sudah terlanjur mencapai 130-an orang tewas dalam sepekan agresi tersebut. Tidak menutup kemungkinan tekad besar pemerintahan Mursi menengahi dan memprakarsai gencatan senjata Hamas-Israel itu lantaran Hamas tak lain ”saudara kandung” Ikhwanul Muslimin (IM). Politik perjuangan Hamas mengkiblat Ikhwanul. Syeikh Ahmad Yassin, salah seorang pendiri Hamas, adalah pengagum Hassan Al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin tahun 1928. Ahmad Yassin meninggal akibat operasi militer Israel pada 22 Maret 2004. Tentu, sangatlah manusiawi dan masuk akal apabila misalnya Presiden Mursi yang notabene salah seorang pemuka Ikhwanul tidak tega menyaksikan banyak warga sipil Gaza yang nyaris 100 persen pendukung Hamas dibantai secara keji dan sadis oleh militer Israel. Berbeda 180 derajat dari sikap Mesir di bawah rezim lama (Presiden Hosni Mubarak) ketika militer Israel mengagresi Gaza dengan sandi Cast Lead pada akhir Desember 2008 hingga Januari 2009. Waktu itu Kairo cenderung bersikap pasif. Sikap resmi pemerintahan Mubarak, yang kemudian tumbang Februari 2011 oleh people power seiring bergulirnya Arab Spring, hanya sebatas mengecam agresi pasukan Israel, tidak bernisiatif menghentikannya. Akibatnya, penduduk sipil Gaza yang menjadi korban tewas akibat kebiadaban militer Israel mendekati angka 1.500 orang, dan wilayah Jalur Gaza seluas 365 km2 itu luluh lantak, nyaris seluruhnya rata dengan tanah. Persoalannya tentu, apakah gencatan senjata tersebut cukup kuat dan dapat menjadi entry point bagi dilakukan perundingan damai antara Hamas dan Israel ke depan? Daya Tahan Secara kasat mata gencatan senjata di Gaza sementara ini tidak cukup kuat. Gencatan senjata tersebut terlihat rapuh. Indikasinya, tak lama setelah persetujuan gencatan senjata, baik Hamas maupun Israel, sama-sama menyatakan siap melancarkan serangan baru jika salah satu pihak melanggar perjanjian gencatan. Walaupun pasukan darat Israel sudah ditarik dari wilayah perbatasan Israel-Gaza, militer negeri zionis itu tidak mengendorkan kesiapsiagaan untuk menyerang kembali Gaza. Di luar itu, banyak warga Israel menyayangkan keputusan pemerintahan Benjamin Netanyahu menyepakati perjanjian gencatan senjata dengan Hamas.
Di pihak Hamas, tidak seluruh pemangku
kebijakan di internal organisasi perlawanan Palestina yang resmi berdiri
akhir 1987 itu menyetujui kesepakatan gencatan senjata. Brigade Ezzedin
Al-Qassam (sayap militer Hamas) dikabarkan ”terpaksa” menyetujui perjanjian
gencatan senjata.
Friksi di tubuh Hamas bukanlah isu baru. Hamas terbelah antara sayap militer yang ingin terus konsisten menempuh jalur kekerasan melawan Israel, dan sayap politik yang memberi ruang untuk mau menempuh jalur runding (diplomasi) dengan Israel. Khaled Meshal menjadi figur sentral sayap politik Hamas prodiplomasi. Karena masih rapuh, kesepakatan gencatan senjata di Gaza belum cukup representatif untuk dijadikan titik tolak bagi dilakukannya perundingan damai antara Hamas dan Israel. Berbagai peristiwa terkait gencatan senjata tersebut pada hari-hari belakangan ini tampak akan menguji daya tahan perjanjian gencatan senjata di Gaza. Bila lulus uji, tentu gencatan senjata di Gaza baru dapat menjadi pijakan bagi dilakukannya perundingan damai antara Hamas dan Israel untuk masa mendatang. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar