Kerumitan
Pemakzulan
Agus Riewanto ; Doktor Ilmu Hukum, Pengelola Jurnal Hukum dan Pembangunan Ekonomi
pada Program Doktor dan Magister Ilmu Hukum
Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
SUARA
MERDEKA, 27 November 2012
PERKEMBANGAN pengusutan
kasus bailout Bank Century kian menarik setelah KPK menetapkan status
tersangka dua direktur Bank Indonesia, Budi Mulya dan Siti C Fadjriyah. Yang
mengejutkan, Ketua KPK Abraham Samad menyatakan Boediono (waktu itu sebbagai
Gubernur BI) berperan dalam pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek
(FPJP) kepada Century tahun 2008.
Karena saat
ini Boediono menjabat wapres, dan berarti pejabat negara maka KPK tak
memiliki otoritas dalam penyelidikan dan penyidikan pidananya. UUD 1945
pascaamendemen menempatkan presiden dan wakil presiden sebagai warga negara
istimewa.
Penanganan
tindak pidana terhadap mereka tak bisa dilakukan lewat hukum pidana
konvensional tapi harus ranah politik di DPR, MK, dan kemudian MPR yang biasa
disebut impeachment (pemakzulan).
Di titik
inilah, sejumlah anggota Tim Pengawas (Timwas) DPR Kasus Century mendorong
DPR menggunakan mekanisme hak menyatakan pendapat (HMP) guna menuju proses
pemakzulan. Mungkinkah bisa menerapkan impeachment terhadap Wapres Boediono
atau Presiden SBY?
Dari sudut
hukum administrasi negara, sesungguhnya Boediono bukanlah penanggung jawab
utama kelahiran kebijakan bailout melainkan Presiden (waktu itu) SBY.
Kedudukan wapres hanyalah membantu presiden sesuai Pasal 4 Ayat (2) UUD 1945.
Tugas dan fungsi gubernur BI dan menkeu yang memiliki otoritas luar biasa di
bidang keuangan, tidak otomatis berdiri sendiri dan kedap dari intervensi
presiden sesuai Pasal 23C dan 23D UUD 1945 serta UU tentang Keuangan.
Konstruksi UUD
1945 menegaskan bahwa kebijakan teknis keuangan negara ada di ranah presiden,
bukan wapres, atau gubernur BI, yang saat itu dijabat Boediono. Terkait
persoalan teknis keuangan, presiden mendelegasikan pada menkeu yang saat itu
dijabat Sri Mulyani Indrawati, yang juga Ketua Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK) berdasarkan Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaringan
Pengamanan Sistem Keuangan (JPSK).
Tapi bukan
berarti presiden bisa lepas tangan atas segala kebijakan ketua KSSK. Bukankah
ketua KSSK adalah menkeu yang juga pembantu presiden, sesuai bunyi Pasal 17
UUD 1945 dan bertanggung jawab kepada presiden?
Ketika Sri
Mulyani bertindak selaku Ketua KSSK dalam bailout Century maka ia bertindak
untuk dan atas nama Presiden SBY. Tidaklah tepat bila SBY tidak ikut serta
dalam kebijakan ini. Ketika Presiden berdalih tidak tahu atau tidak mau tahu maka
ia bisa dianggap melakukan perbuatan tercela.
Sesungguhnya
isu pemakzulan dari DPR itu tidak selayaknya ditujukan kepada Wapres Boediono
tapi kepada Presiden. Namun SBY pun tak perlu risau karena memang konstitusi
mengatur model dan sistem kontrol DPR terhadap presiden (check and balance) yang berpuncak pada pemakzulan.
SBY juga tak
perlu galau karena proses menuju pemakzulan amat rigid diatur dalam UUD 1945
dan semata-mata dimaksudkana agar DPR tak mudah menjatuhkan presiden. Hukum
acaranya pun sangat ketat dan seolah-olah berbelit-belit, sebagaimana diatur
dalam Pasal 7b Ayat (3) misalnya, DPR perlu mendakwa melalui sidang paripurna
yang dihadiri 2/ 3 anggota DPR yang menyatakan pendapat presiden diduga
melakukan tindak pidana dan perbuatan tercela, barulah pimpinan DPR
mengajukan kasus ini ke MK.
Martil
Politik
Bila MK
menyatakan dakwaan terbukti sah dan meyakinkan secara hukum proses itu pun
belum selesai. Putusan MK harus kembali dibawa untuk diparipurnakan di DPR,
dan baru diusulkan ke MPR yang juga harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3
anggotas DPR, dan 2/3 di antaranya harus menyetujui usul pemakzulan.
Secara teknis
komposisi koalisi partai pendukung SBY di DPR, yakni PD, Golkar, PKS, PKB,
PAN, dan PPP telah menguasai 2/ 3 parlemen. Artinya jika parpol koalisi ini
solid dan tidak bersedia hadir dalam rapat paripurna maka proses pemakzulan
tak akan bisa dilanjutkan. Artinya, secara teoritik dan teknis yuridis
tersedia proses penghentian presiden dan wakil presiden namun secara
prosedural dan teknis politis amat mustahil dilakukan.
Melihat
prosedur hukum acara yang cukup rumit, mudah diduga sebenarnya amat sulit
meng-impeach Presiden SBY, sepanjang komposisi dukungan politik di DPR berupa
koalisi antarpartai tidak pecah kongsi.
Pranata
ketatanegaraan untuk pemakzulan yang amat rumit ini sesungguhnya demi
mempertahankan masa jabatan presiden agar tetap 5 tahun (fix term) dan tidak
mudah dijatuhkan.
Sepanjang
putusan MK hanya sebagai dokumen hukum dan lebih menitikberatkan pada
mekanisme politik di DPR dan MPR sesungguhnya pemakzulan terhadap SBY dan
Boediono hanya ada dalam ranah teori dan pranata UUD 1945, karena hamoir tak
mungkin terjadi dan hanya ”ilusi”.
Dengan
kemustahilan pemakzulan, kasus bailout Century ini sepertinya hanya akan
berputar-putar pada pelaku di luar ring SBY. Bahkan pelan tapi pasti kasus
ini menguap seiring dengan berbagai isu politik menjelang Pemilu 2014. KPK
hanya menjadi martil politik SBY dan politikus DPR untuk menarik-ulur kasus
ini hingga hilang dengan sendirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar