Revitalisasi
Kunci Peradaban Bangsa
Saratri Wilonoyudho ; Dosen Universitas Negeri Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 24 November 2012
"Pemerintah kurang maksimal
menyusun perencanaan sehingga ada anggapan pendidikan hanya ajang uji coba"
MENJELANG Hari Guru tanggal 25 November
2012, Jateng telah mencatatkan sejumlah prestasi melalui kemenangan pendidik
dalam lomba guru kreatif tingkat nasional. Capaian yang membanggakan di
tengah pereduksian makna pendidikan di berbagai sekolah, seperti sistem
rangking, pengelompokan siswa berdasarkan status dan nilai, rendahnya rasa
percaya diri siswa, kematangan berpikir, biaya mahal sekolah, kontroversi
ujian nasional, serta kemerosotan etika dan moral siswa.
Selama ini pemerintah kurang maksimal
menyusun perencanaan sehingga ada anggapan dunia pendidikan hanya menjadi
ajang uji coba, trial and error, demi memenuhi berbagai kepentingan, baik
politis maupun ekonomis. Dunia pendidikan terlalu sibuk dengan program dan
proyek yang bersifat teknis, nyaris tanpa fondasi pemikiran yang
berorientasi pada pemberdayaan peserta didik, guna mengembangkan tiga
kecerdasan: IQ, EQ, dan SQ.
Praktik-praktik seperti itu secara
jelas menunjukkan bahwa dunia pendidikan, sadar atau tidak, hanya menganggap
peserta didik sebagai modal atau faktor produksi, kurang menyentuh
aspek-aspek kemanusiaan. Slogan pendidikan adalah investasi bagi masa depan
makin menunjukkan realitas itu.
Banyak faktor yang melahirkan kondisi itu,
antara lain kita tak memiliki sekolah calon guru yang bisa menjaring
anak-anak bangsa yang unggul, untuk digodok menjadi guru profesional. Peran
lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) kurang efektif sehingga kini
negeri ini tidak dapat mencetak guru yang benar-benar profesional.
Sebagian dari mereka yang masuk LPTK adalah
''sisa-sisa'' peserta tes atau seleksi masuk perguruan tinggi lain. Karena
itu, kita bisa mempertanyakan kesungguhan minat dan bakat mereka untuk
menjadi guru. Hal itu berbeda dari militer dan kepolisian yang memiliki
Akmil, AAU, AAL, dan Akpol. Sistem pendidikan mereka berciri khas, dengan
visi dan misi jelas, sehingga mudah dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.
Hal itu berbeda dari LPTK sehingga tidak
aneh bila ada anggapan mahasiswa calon guru yang tengah belajar di lembaga
itu, tidak banyak menerima bekal ilmu kependidikan yang khas dengan kultur
Indonesia, apalagi filsafat pendidikan mendalam, dan sosiologi pendidikan
yang luas. Kalau pun ada hanyalah teori usang dari Barat yang belum tentu pas
untuk kondisi negeri ini. Wajar jika mahasiswa calon guru tak mengenal
tokoh-tokoh pemikir pendidikan.
Padahal filsafat, psikologi, dan sosiologi
pendidikan merupakan mata kuliah dasar yang dapat membentuk watak calon guru.
Kalau pemberian bekal ini tidak cukup maka LPTK hanya akan meluluskan guru
seperti robot, yang sangat mekanistis menjalankan tugas. Mereka sangat
bergantung pada buku teks, petunjuk teknis, atau pelaksanaan dari Diknas.
Mereka tidak mampu meramu seni mengajar yang dapat mengawinkan
sekaligus IQ, EQ, dan SQ anak-anak didik agar lebih berkembang.
Seharusnya dari mata pelajaran yang diampu,
guru dapat sekaligus menanamkan keterampilan hidup, sikap hidup, dan
nilai-nilai kehidupan. Dengan mata pelajaran Fisika misalnya, guru bisa
menanamkan kesadaran kepada siswa tentang religiositas-ketuhanan, kejujuran,
kreativitas, ketabahan, kematangan emosi siswa, daya tahan, kerja sama,
kedisiplinan, dan loyalitas, seperti lewat topik bahasan tata surya atau
kejadian alam.
Guru Pemikir
Keahlian mengajar dan mendidik semacam ini
hanya bisa dilakukan oleh guru yang benar-benar matang, yang menguasai
filsafat pendidikan, sosiologi pendidikan, dan ilmu budaya. Jika menguasai
ilmu itu, ia tidak saja mampu mentransfer informasi (lewat buku, lembar kerja
siswa) tapi sekaligus menjadi pemikir dan pekerja budaya.
Seandainya guru bisa berperan sebagai
pemikir dan pekerja budaya maka ada secercah optimisme bahwa mereka dapat mengembangkan
empat hal penting dalam dunia pendidikan sebagaimana disebut Mochtar Buchori
(2000), yakni mengembangkan kreativitas, kebudayaan, dan peradaban; mendukung
diseminasi nilai keunggulan; mengembangkan nilai-nilai demokrasi,
kemanusiaan, keadilan, dan keagamaan; serta menumbuhkan secara berkelanjutan
kinerja kreatif dan konduktif yang koheren dengan nilai-nilai moral.
Proses itu memerlukan pengkajian secara
kritis semua aspek untuk dapat menghasilkan format sekolah sebagai ajang
interaksi berbagai latar belakang masyarakat yang dapat saling memahami dalam
suasana kesetaraan, keadilan, dan penghormatan. Ini artinya sekolah merupakan
sebuah bangunan budaya dalam arti luas. Gagasan pendidikan multikultural
sangat menarik dikaitkan dengan negeri multietnis seperti Indonesia.
Sosiologi pendidikan di Indonesia pada masa
mendatang tampaknya juga harus banyak memperhatikan bentuk-bentuk ketimpangan
yang terjadi pada struktur masyarakat ataupun di sekolah. Dengan cara pandang
ini maka ada kaitan antara organisasi sekolah dan organisasi sosial, serta
hubungan antara individu dan lembaga sekolah dalam perspektif sosiologis.
Jika kita ingin mengembangkan pembaruan
pendidikan yang menghasilkan pemecahan nyata dan berdampak luas maka
pengembangan ilmu kependidikan yang khas yang berkaitan dengan ilmu lain
mutlak dilakukan. Ilmu kependidikan harus sadar didesain untuk pembangunan
manusia dan pembangunan nasional yang bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar