Di Balik
Prahara Pencurian Bayi
Reza Indragiri Amriel ; Psikolog
Forensik,
Pekerja
Kemanusiaan di High Desert International Foundation
|
JAWA
POS, 27 November 2012
SATU babak berakhir dan satu babak baru muncul menyusul kasus
hilangnya bayi Cello. Pemeriksaan DNA yang dilakukan untuk kali kedua
memastikan bahwa bayi yang kini diasuh suami-istri di Bekasi itu bukanlah
darah daging mereka. Keberadaan bayi Cello tetap belum jelas setelah diculik
dari RS Ibu dan Anak Siti Zachroh di kawasan Tambun, Bekasi (15/9).
Kendati demikian, pasangan Jaja Nurdiansyah dan Syfah Masyatul Khoirot tersebut kini lebih lapang dada. Mereka telah bisa menerima hasil uji ilmiah yang keluar Jumat (23/11) dan akan mengadopsi bayi yang telah beberapa waktu ini berada dalam perawatan mereka. Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) memungkinkan anak diasuh oleh pihak selain orang tua kandung sepanjang langkah tersebut diambil dengan alasan yang kuat untuk itu. Alasan yang kuat tidak semata disebabkan keberadaan orang tua si anak tidak diketahui. Alasan juga harus datang dari pihak calon pengasuh atau pengadopsi. Idealnya, penentuan pengasuhan tersebut didahului dengan penakaran (assessment). Lembaga peradilanlah yang kemudian, antara lain berdasar hasil penakaran tersebut, memutus siapa yang pantas mengasuh atau mengangkat bayi malang itu. Tampaknya, hal tersebut tidak akan menjadi persoalan. Sebab, suami-istri itu telah berperan laiknya orang tua psikologis bagi bayi yang mereka rawat. Sampai di sini, polemik perihal asli bukannya bayi Cello sudah bisa dikatakan berakhir. Tanggung Jawab RS Satu babak baru yang kini harus dibuka, dan selama ini nyaris tak pernah disorot, adalah terkait kedudukan RS maupun sentra pelayanan persalinan lainnya yang telah menjadi tempat kejadian perkara pencurian bayi. Pertama, pihak RS bisa saja berdalih bahwa nasib tragis yang dialami bayi Cello tak lebih dari akibat kelalaian mereka. Tapi, tentu kita bersepakat, tidak ada mimpi yang lebih buruk bagi ayah dan ibu melebihi peristiwa hilangnya buah hati mereka yang dicuri orang! Alhasil, dengan asumsi keteledoran sekalipun, RS tetap tidak semestinya terbebas dari sanksi. Apalagi, dengan status sebagai RS khusus anak dan ibu, kegagalan dalam melindungi anak dan ibu yang menjadi pasien mereka justru sudah sepatutnya diikuti penindakan yang lebih berat. Kedua, berpihak pada kepentingan pasien, saya tidak akan serta-merta mengikuti nalar kebanyakan kalangan bahwa hilangnya bayi Cello merupakan imbas kegagalan RS dalam membangun sistem perlindungan pasien. Saya mendorong dilakukannya investigasi menyeluruh untuk mengungkap apakah ''imbas kegagalan sistem'' itu merupakan penjelasan paling akurat atas kejadian tersebut. Berangkat dari kenyataan bahwa modus kejahatan kian lama kian canggih, sangat perlu bagi otoritas hukum untuk tidak tergesa-gesa menihilkan kemungkinan bahwa RS maupun pihak-pihak tertentu di RS adalah bagian dari sindikat kriminal pencurian bayi itu. Meski, harus dibuktikan dengan valid. Ketiga, ketidakpahaman pasien tampaknya -sedikit banyak- berkontribusi terhadap peristiwa menyedihkan yang memisahkan bayi Cello dan bayi-bayi lain dari orang tua kandung mereka. Pasien, terutama yang berlatar ekonomi menengah ke bawah, sangat mungkin tidak menyadari hak-hak mereka selaku pasien. Dugaan saya tersebut bersumber dari gencarnya pemeriksaan identitas bayi dengan mengidentifikasi kecocokan antara DNA bayi dan DNA suami-istri yang mengklaim diri sebagai orang tua kandung si bayi. Menjadi pertanyaan, sebelum atau selain pemeriksaan DNA, bukankah status bayi itu bisa dicek dengan melihat kesesuaian antara sidik jari tangan dan kaki bayi dengan file sidik jari yang disimpan RS? Lazimnya, sidik jari bayi telah diambil dan diarsipkan pada jam awal sejak kelahiran si bayi. Persoalannya, apakah orang tua si bayi mengetahui adanya prosedur tersebut? Saya bisa saja keliru. Namun, yang saya khawatirkan, dalam skala lebih luas, banyak orang tua yang tidak sadar bahwa sebagai pasien mereka berhak memperoleh pelayanan tertentu yang harus berada dalam baku kepantasan. Atas dasar itu, organisasi-organisasi perlindungan konsumen perlu lebih turun tangan mengedukasi pasien, khususnya pasien dari kalangan bawah, agar lebih sadar dan lebih asertif meminta RS merealisasikan baku pelayanan tersebut. Kemungkinan Diskriminasi Isu ketiga tersebut berhubungan dengan isu keempat: apakah RS memberikan kualitas layanan yang layak kepada pasien-pasien yang berlatar status sosial ekonomi bawah? Pengecekan sekaligus pendokumentasian sidik jari dan golongan darah bayi, menurut saya, patut menjadi standar layanan minimal. RS harus bisa menjelaskan tempat penyimpanan dokumen tentang sidik jari dan golongan darah bayi. Dengan dokumen yang rapi, pihak-pihak yang berkepentingan semestinya berkesempatan mengecek identitas bayi tanpa harus tergopoh-gopoh langsung melakukan pemeriksaan DNA. Jika dokumen tersebut tidak tersedia, pertanyaan berikutnya, mengapa RS tidak memeriksa golongan darah dan mengambil sidik jari bayi? Apakah karena orang tua bayi berasal dari keluarga kelas marginal? Berbeda dari isu pertama dan kedua yang kentara mengandung muatan pidana sehingga langsung menjadi wilayah kerja penegak hukum, isu keempat dapat memunculkan pemahaman keliru. Yakni, ketiadaan standar wajib layanan persalinan -sehingga mengakibatkan terjadinya perbedaan perlakuan antara satu bayi dan bayi lainnya- seakan hanya melanggar etika kedokteran. Karena dipandang sebatas masalah etika, kasus itu pun dianggap sebagai urusan asosiasi profesi belaka. Otoritas seperti Ikatan Dokter Indonesia dan Kementerian Kesehatan memang perlu memastikan ulang bahwa standar wajib perlakuan dan pelayanan bagi proses persalinan benar-benar memadai serta dijalankan RS. Tapi, pada tataran lebih fundamental, pembedaan standar wajib persalinan dan pembedaan perlakuan medis terhadap bayi yang dilahirkan sesungguhnya sangat berpeluang berbenturan dengan prinsip nondiskriminasi. Pelanggaran terhadap nondiskriminasi, sebagai satu di antara empat prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak, diancam pemidanaan berupa denda seratus juta rupiah dan/atau penjara paling lama lima tahun. Demikian ketentuan dalam pasal 77 UUPA. Jangan sampai perbedaan perlakuan medis profesional antara pasien berada dan pasien papa itu dianggap biasa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar