Kenapa Takut
Tuntaskan Skandal Century?
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI Fraksi
Partai Golkar
|
MEDIA
INDONESIA, 27 November 2012
MENGAPA harus takut menyelesaikan persoalan?
Hak menyatakan pendapat atas skandal Bank Century yang diwacanakan DPR
belakangan ini dilandasi semangat menyelesaikan persoalan. Implikasi
politiknya memang tak terhindarkan. Mengapa juga harus takut dengan implikasi
politik dari hak menyatakan pendapat?
Itulah risiko yang harus ditanggung bangsa ini, jika ada
kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan hingga tuntas skandal
Bank Century. Mengambangkan penyelesaian hukum dan penyelesaian politik
skandal Bank Century merefleksikan sikap pengecut. Kalau pengecut, jelas Anda
tidak layak memangku jabatan-jabatan strategis untuk mengelola kepentingan
negara dan kepentingan rakyat. Tentu akan lebih buruk lagi kalau motif
mengambangkan penyelesaian skandal Century adalah menyembunyikan pelanggaran
hukum yang diduga dilakukan elite penguasa. Itu kebiasaan buruk yang coba
diulang-ulang.
Kalau kebiasaan buruk itu tidak dihentikan, perjalanan
sejarah bangsa memasuki dekade-dekade selanjutnya akan sarat dengan dosa
sejarah karena ketakutan generasi saat ini menyelesaikan persoalan. Ada
begitu banyak kasus KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang terjadi pada
era sebelumnya tidak pernah ditangani. Kasus BLBI bahkan nyaris sudah menjadi
dosa sejarah karena generasi terkini pun tidak berani menuntaskan kasus itu. Haruskah
nasib skandal Century dibiarkan sama dengan kasus BLBI karena bangsa ini
takut menyelesaikan persoalan-persoalan besar?
Indonesia tidak boleh terperangkap dalam rasa takut itu.
Mewujudkan Indonesia negara hukum menuntut konsistensi. Konsistensi harus
dibuktikan dengan kemauan dan keberanian politik yang sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan hingga tuntas persoalan-persoalan hukum, baik skala besar
maupun kecil. Sebesar atau sekecil apa pun persoalan hukum itu, penyelenggara
negara dan pemerintahan harus memastikan tidak ada pertanyaan yang tersisa di
benak rakyat dari setiap kasus atau persoalan hukum. Itulah konsistensi yang
dibutuhkan untuk mewujudkan Indonesia negara hukum.
Sistem hukum dan sistem politik
Amerika Serikat (AS) saat ini sedang menyelesaikan skandal perselingkuhan
yang melibatkan mantan Direktur Badan Intelijen AS (CIA), David Petraeus, dan
John Allen, jenderal bintang empat yang menjabat Panglima Pasukan AS di
Afghanistan. Di Prancis, mantan Presiden Nicolas Sarkozy diajukan ke
pengadilan karena dituduh menerima dana sumbangan ilegal untuk kampanye tahun
2007 dari ahli waris industri kosmetika L’Oreal, Liliane Bettencourt.
Sementara itu, di Italia, mantan Perdana Menteri Silvio
Berlusconi juga harus dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan menyalahgunakan
kekuasaan dan membayar remaja usia 17 tahun untuk melakukan hubungan seksual.
Itulah contoh negara yang mencoba konsisten menegakkan keadilan dan contoh
konsistensi tentang menempatkan semua orang sama di hadapan hukum. Tidak ada
implikasi politik yang luar biasa di tiga negara itu berkat kedewasaan dan
kematangan berpolitik.
Pertanyaan kemudian adalah mengapa harus terjadi ketakutan
luar biasa manakala muncul desakan agar skandal Bank Century segera
dituntaskan, baik melalui mekanisme hukum maupun mekanisme politik? Kalau
yang dijaga semata-mata stabilitas pemerintahan, berarti aspek keadilan yang
dikorbankan.
Kalau seperti itu maunya, jangan lagi berangan-angan mewujudkan
Indonesia negara hukum. Kalau dikhawatirkan pemakzulan Wakil Presiden
(Wapres) Boediono akan memakan biaya politik sangat besar, berarti benar
bahwa budaya politik kita masih jauh dari tahap dewasa. Kalaupun harus
terjadi pergantian figur wakil presiden, mestinya tidak mahal. Juga tidak
harus menimbulkan implikasi politik yang luar biasa. Sebab hanya dibutuhkan
kesepakatan sejumlah partai politik anggota koalisi yang mendukung
pemerintahan saat ini.
Soal Pilihan
KPK sudah menemukan fakta tindak pidana korupsi oleh dua
pejabat Bank Indonesia (BI) dalam pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek
(FPJP) untuk eks Bank Century, sehingga merugikan keuangan negara. Selain
itu, kedua pejabat BI itu diduga menyalahgunakan wewenang mereka saat
menetapkan status Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemis. Sangat
logis juga kalau KPK sampai pada kesimpulan bahwa Gubernur BI waktu itu,
Boediono (kini menjabat Wapres RI), juga mengerti dan berperan dalam
pemberian FPJP sebesar Rp6,7 triliun pada 2008 itu.
Tim Pengawas (Timwas) Kasus Bank Century DPR tentu saja harus
memberi perhatian ekstra ketika KPK menegaskan bahwa Boediono tidak kebal
hukum. Dia bisa diperiksa lagi oleh KPK, dan tak tertutup kemungkinan menjadi
tersangka jika KPK sudah memeriksa dua pejabat BI yang telah ditetapkan
sebagai tersangka dalam kasus ini.
Mengacu pada progres yang diperlihatkan KPK, sebuah tim
kecil yang dibentuk Timwas Bank Century DPR mulai menyusun draf laporan
akhir. Laporan itu akan dibahas dalam rapat pleno internal timwas pada awal
Desember 2012. Pleno timwas akan menetapkan sebuah keputusan yang akan
dibacakan dalam forum sidang paripurna DPR untuk penutupan masa sidang 2012, yang
dijadwalkan pertengahan Desember 2012.
Bagaimanapun, timwas menggarisbawahi keputusan KPK yang
telah meningkatkan penanganan kasus Bank Century ke tahap penyidikan karena
telah ditemukannya fakta tindak pidana korupsi, perbuatan melawan hukum,
penyalahgunaan wewenang, dan unsur kerugian negara. Karena fakta-fakta itu
terjadi saat Boediono menjabat Gubernur BI, timwas amat mungkin akan
merekomendasikan kepada DPR untuk menggunakan hak menyatakan pendapat. Itu
dianggap sangat penting karena hak menyatakan pendapat akan memberi kepastian
hukum dan kepastian politik bagi Boediiono.
Timwas sadar betul bahwa agenda hak menyatakan pendapat
tak mudah. Bukan pekerjaan ringan untuk bisa mendapatkan dukungan mayoritas
di DPR. Sebab pelaksanaan hak menyatakan pendapat harus didukung dua pertiga
suara anggota DPR. Publik tahu bahwa di atas kertas, mayoritas anggota DPR
adalah pendukung pemerintah. Belum lagi waktu yang diperlukan untuk menunggu
pandangan akhir Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk sampai pada penilaian akhir,
MK bisa butuh waktu 90 hari.
Kalau menurut MK tidak ditemukan cukup bukti adanya
perbuatan melawan hukum, Boediono otomatis bebas. Nama baiknya wajib
dipulihkan. Dengan demikian, sejarah akan mencatat bahwa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono tidak memiliki beban lagi
atau tersandera kasus Bank Century. Sebaliknya, jika penilaian MK sejalan
dengan temuan BPK dan Pansus DPR, terbuka peluang bagi tokoh-tokoh Partai
Demokrat untuk menduduki kursi wapres yang ditinggalkan Boediono. Sebab
wewenang untuk mengajukan pengganti Boediono dalam Sidang Istimewa MPR adalah
milik Presiden Yudhoyono.
Idealnya, wacana tentang hak menyatakan pendapat dipahami
sebagai niat menyelesaikan persoalan hukum yang selama ini menyandera
pemerintahan SBY-Boediono. Hak menyatakan pendapat punya implikasi politis
memang tak terhindarkan karena menyentuh jabatan politis. Maka implikasi
politik dari hak menyatakan harus diterima sebagai konsekuensi logis. Apa
yang ditakutkan dari implikasi itu?
Pilihannya sebenarnya sangat jelas dan sederhana. Tetap
membiarkan pemerintahan ini tersandera plus citra buruk yang harus ditanggung
Boediono, atau membebaskan pemerintahan SBY dari kecurigaan dan tuduhan
sekaligus memulihkan nama baik Boediono? Siapa yang bisa dan berhak memilih
tak perlu disebutkan lagi.
Namun, kalau rakyat yang ditanya, bukan
jawaban yang diperoleh, melainkan pertanyaan balik; kenapa harus takut menuntaskan
kasus Century? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar