Hilangnya
Hakikat Politik
Agus Sudibyo ; Alumnus
STF Driyarkara Jakarta
|
KORAN
TEMPO, 27 November 2012
Pada titik
ini, keberanian Dahlan Iskan memantik kontroversi tentang adanya anggota DPR
pemeras sejumlah BUMN, juga keberanian Dipo Alam melaporkan beberapa
kementerian ke KPK, menemukan signifikansinya. Tanpa mengesampingkan
kemungkinan motif pribadi, kedua tokoh ini mengingatkan akan krisis hakikat
politik.
Apakah politik
itu? Bagaimana politik bekerja? Pertanyaan ini perlu direnungkan kembali saat
ini, ketika kita berada di tengah-tengah banalitas praktek dan pemahaman
politik yang sesungguhnya telah jauh menyimpang dari hakikat asalinya. Ketika
bicara tentang politik, apakah yang ada di benak banyak orang? Hampir pasti
adalah gambaran tentang bagaimana pergulatan para politikus dalam memenangi
pemilu, memperebutkan jabatan-jabatan strategis, serta menguasai
sumber-sumber daya publik.
Politik
telanjur dipahami dalam kategori penguasaan dan dominasi atas berbagai domain
publik, dan para politikus sedemikian identik dengan tindakan
instrumentalistik untuk mengeksploitasi peraturan, prosedur, dan kedudukan
guna mengejar kepentingan pribadi atau kelompok. Yang disebut politikus di Indonesia
hari ini kurang-lebih mendekati deskripsi Max Weber tentang orang-orang yang
menghidupi dirinya dari politik, dan bukan sebaliknya, orang-orang yang
menghidupi politik dengan sumbangsih tenaga, pikiran, dan kearifan dirinya.
Persoalannya
kemudian, apakah kita memandang politik yang sudah sedemikian jamak
dipraktekkan dalam kategori penguasaan dan eksploitasi itu sebagai sesuatu
yang normal atau abnormal? Apakah politik yang dipenuhi dengan ambisi
pengejaran kekayaan, kekuasaan, dan kemasyhuran diri diterima begitu saja
sebagai kelaziman atau sebaliknya dilihat sebagai penyimpangan yang harus
dilawan?
Pada titik
ini, keberanian Dahlan Iskan memantik kontroversi tentang adanya anggota DPR
pemeras sejumlah BUMN, juga keberanian Dipo Alam melaporkan beberapa
kementerian ke KPK, menemukan signifikansinya. Tanpa mengesampingkan
kemungkinan motif pribadi, kedua tokoh ini mengingatkan akan krisis hakikat
politik, yakni ketika proses pengambilan kebijakan, pengelolaan sumber daya
publik, dan penyelenggaraan pemerintahan terus-menerus menjadi ajang
penjarahan dan pengisapan kekayaan publik. Ketika para pemimpin tiada henti
mengedepankan motif-motif privat saat bertindak dan memutuskan atas nama
orang banyak. Jika terus dibiarkan, krisis ini tak pelak lagi akan membawa
Indonesia ke dalam kebangkrutan moral-ekonomi-politik yang tak terperikan.
Hakikat
politik seperti apakah yang dimaksudkan di sini? Filsuf republikan seperti
Aristoteles atau Hannah Arendt sangat menekankan pemisahan antara yang publik
dan yang privat ketika berbicara tentang politik. Menurut mereka, politik
terjadi ketika warga negara memasuki ruang publik guna bertindak secara
bersama-sama untuk kepentingan bersama, dengan mengesampingkan segala bentuk
kepentingan pribadi. Politik hakiki sangat menekankan pentingnya pengendalian
atau pengendapan hasrat pribadi ketika seseorang menduduki posisi publik
tertentu. Tindakan pengejaran kepentingan pribadi atau kelompok yang lazim
ditemukan dalam relasi-relasi kekuasaan dengan sendirinya ditempatkan dalam kategori
tindakan privat, bahkan tindakan anti-politik.
Politik yang
hakiki pertama-tama bukanlah persoalan bagaimana memerintah dan mengendalikan
orang lain, tapi bagaimana membantu orang lain agar mampu bertindak otentik
dan bersikap kritis terhadap keadaan. Politik harus mendorong warga
masyarakat mengekspresikan dirinya secara aktif, kreatif, tanpa tekanan di
dalam ruang sosial yang pluralistik. Politik lebih dijelaskan dalam konteks
partisipasi dan solidaritas, bukan dalam konteks penguasaan dan kontrol.
Politik hakiki
ini memang sangat kontras dengan politik yang sehari-hari kita saksikan di
negeri ini. Membayangkan perwujudan politik hakiki itu mungkin akan terlihat
sebagai fantasi yang tidak realistis. Fantasi tentang sesuatu yang luhur dan
mulia, di tengah-tengah realitas yang telah demikian bengkok dan jorok. Namun
jangan-jangan kemauan untuk berfantasi itu titik-pijak yang dibutuhkan untuk
mencegah kerusakan yang lebih akut dalam kehidupan bernegara kita. Perlu
digarisbawahi, pembusukan politik di negeri ini bukan hanya disebabkan oleh
perilaku eksploitatif-egoistis para pemimpin politik, tapi juga karena
apatisme dan frustrasi terhadap realitas penyelenggaraan kekuasaan yang
membuat masyarakat lupa akan politik yang hakiki.
Sekadar
contoh, bukan hanya para politikus yang berpikir transaksional, tapi juga
masyarakat. Alih-alih melawan politik uang, masyarakat belakangan bahkan
tanpa malu-malu menerimanya sebagai kelaziman. Bicara tentang pemilu di mata
banyak masyarakat kita sama halnya dengan berbicara tentang pembagian uang,
sembako, bahan bangunan, pakaian gratis dari calon pemimpin. Masyarakat tak
berpikir panjang bahwa pembagian "gula-gula" itu pada saatnya nanti
dapat berdampak buruk terhadap hak-hak politik dan kesejahteraan mereka
secara keseluruhan. Masyarakat juga terjangkiti problem ingatan yang pendek.
Ada banyak politikus atau pejabat bermasalah yang mereka pilih atau mereka
biarkan kembali menduduki jabatan-jabatan strategis. Apatisme atau politik
transaksional jelas berbicara di sini.
Masyarakat
seperti kehilangan kemampuan untuk berpikir dan mempertanyakan, sehingga pada
akhirnya menerima keadaan politik yang demikian bengkok itu tanpa sikap
kritis. Inilah yang digambarkan Arendt sebagai masyarakat yang mengalami
kegersangan hidup (the desert of live).
Masyarakat yang kehilangan kemampuan untuk menilai secara rasional-kritis,
untuk menginderai ketidakberesan di sekitarnya, dan akhirnya larut dalam
ketidakberesan itu tanpa merasa risih sama sekali.
Pendek kata,
krisis hakikat politik bukan hanya terjadi pada tataran tindakan politikus
dan partai politik, tapi juga pada tataran kesadaran atau persepsi masyarakat
tentang bagaimana seharusnya politik dijalankan. Krisis yang kedua ini
pertama-tama harus diatasi karena dampaknya sangat serius: sikap permisif
masyarakat terhadap segala penyimpangan dan pengkhianatan hakikat politik.
Bagaimana kita dapat membenahi
perilaku korup-eksploitatif para pemimpin jika masyarakat telanjur
mempersepsikan perilaku tersebut sebagai kelaziman dalam praktek kekuasaan?
Bagaimana kita berharap munculnya Dahlan Iskan yang lain, yang berani
mempersoalkan praktek kongkalikong anggaran publik, jika masyarakat tak lagi
melihat praktek ini sebagai sesuatu yang perlu dilawan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar