Century Gate
dan Warga Negara Istimewa
Jamal Wiwoho ; Guru Besar FH dan
Purek II Universitas Sebelas Maret, Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 November 2012
SETELAH melalui proses yang amat panjang,
akhirnya pada 19 November KPK mendapatkan dua alat bukti kuat untuk
meningkatkan proses penyelidikan kasus Bank Century yang dimulai sejak 8
Desember 2009 ke proses penyidikan sekaligus menetapkan dua mantan pejabat
teras Bank Indonesia, BM (mantan deputi bidang 4-pengelolaan moneter devisa)
dan SCF (mantan deputi bidang 5-pengawasan) sebagai tersangka. Penetapan
kedua tersangka Century Gate tersebut diyakini KPK setelah memeriksa lebih
dari 150 orang yang mengetahui seluk-beluk pengucuran dana kepada Bank
Century.
Bila menoleh ke belakang, Bank Century memperoleh
kucuran dana pada 2008 meski bank tersebut sebenarnya masuk kategori bank
gagal karena kalah kliring. Bank Century mendapatkan dana talangan Rp638
miliar dan bailout sebesar Rp6,7 triliun. Seperti diketahui, dasar pemberian
fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada saat itu ialah Peraturan Bank
Indonesia/PBI No 10/26/PBI/2008 menjadi PBI No 10/30/PBI/2008 yang memberikan
syarat-syarat pemberian fasilitas FPJP dipermudah serta disesuaikan dengan
kondisi Bank Century pada waktu itu yang amburadul. Rasio kecukupan modal
(capital adequacy ratio/CAR) minimal 8% menjadi 0%, dengan CAR Bank Century
pada saat itu 2,35%. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua KPK Bambang
Widjojanto, dapat dikatakan pada era tersangka BM dan SCF ada sejumlah
kebijakan yang dapat diduga merupakan pintu masuk korupsi bailout Bank
Century.
Selasa (20/11), di hadapan tim pengawas Bank
Century, Ketua KPK Abraham M Samad memberikan keterangan, saat pengucuran
bailout pada Bank Century, Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia patut
diduga mengetahui persis proses pengucuran dana yang merugikan keuangan
negara tersebut. Namun, masih menurut Abraham, KPK tidak akan melakukan
pemeriksaan (penyelidikan dan penyidikan) kepada presiden dan wakil presiden
karena merupakan warga negara istimewa.
Pernyataan Ketua KPK tersebut telah memantik
api silang pendapat publik tentang tidak beraninya KPK memeriksa Wapres
Boediono. Sebagian yang setuju dengan lontaran tersebut memberikan alasan
bahwa memang ada perlakuanperlakuan khusus bagi presiden dan wakil presiden.
Namun, perlakuan-perlakuan khusus tersebut tidak ada kaitannya dengan
perbuatan hukum pidana atau yang dalam proses hukum.
Pendapat yang menolak ternyata lebih banyak.
Hal itu terlihat dengan banyaknya protes dan kecaman kepada KPK yang tidak
berani memeriksa Boediono. Dalih yang menolak secara normatif berpedoman pada
Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara bersamaan
kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan. Prinsip yang tertuang dalam Pasal 27 UUD 45 tersebut merupakan
realisasi dari sebuah prinsip equality
before the law, sebuah prinsip yang menekankan aspek persamaan di dalam
hukum pada setiap warga negara. Menarik untuk dikaji mengapa Abraham kemudian
menyatakan KPK tidak pernah ragu melakukan pemeriksaan kepada siapa pun walau
yang bersangkutan menjadi wapres karena memegang prinsip equality before the law. Semua orang berkedudukan sama di hukum.
Pernyataan yang dilontarkan Abraham agar tidak
terjadi kegaduhan intelek tual tersebut tampaknya tual tersebut tampaknya
merupakan bola panas baru untuk melakukan penyelidikan kepada wapres yang
saat itu sebagai Gubernur BI. Bola panas tersebut dapat dijalan kan KPK
secara hukum pidana dan DPR dalam tataran hukum tata negara yang dapat
melakukannya secara politis dengan berpedoman pada Pasal 7 B angka (1) UUD
1945 yang menyatakan bahwa usul pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, memutus
pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelang
garan hukum berupa pengkhianatan pada negara, korupsi, penyuapan, perbuatan
tercela atau presiden atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden dan/ atau wakil presiden.
Perluasan Wilayah
Adapun persyaratan normatif pengajuan kepada
MK harus memenuhi syarat sebagaimana tertuang dalam angka (2) Pasal 7 B, yang
menyatakan bahwa pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan
dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir dalam sidang
paripurna yang di hadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Bola panas Bola panas yang dilontarkan Ketua
KPK tersebut tampaknya dapat dipahami sebagai upaya KPK untuk menambah
wilayah jangkauan yang memungkinkan menyelesaikan kasus bailout tersebut.
Dengan cara hukum pidana dan politik dalam hukum tata negara secara terpadu
tersebut, KPK akan mendapatkan amunisi baru dari lembaga yang sangat disegani,
yakni DPR.
Amunisi yang secara politik dapat dikeluarkan
DPR secara konstitusional dapat dijalankan walaupun pada tataran
implementasi, menggerakkan 2/3 jumlah anggota DPR untuk hadir dalam sidang
paripurna tidaklah mudah, apalagi harus disetujui 2/3 dari jumlah anggota
yang hadir. Hal itu terjadi manakala koalisi yang dibangun Partai Demokrat,
Partai Golongan Karya, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, dan
Partai Kebangkitan Bangsa bersatu padu. Dalam pemahaman penulis,
mengedepankan pendekatan hukum pidana dalam masalah bailout Bank Century yang
diduga melibatkan Wakil Presiden Boediono sebagai Gubernur BI waktu itu jauh
lebih efektif daripada pendekatan politik yang dilakukan DPR.
Akhirnya, suatu ungkapan yang menyatakan,
kalau seseorang sedang menjabat, apa pun yang akan dilakukan sangat bisa
dilakukan. Artinya mungkin saja Century Gate itu hanya akan sampai tangga
tertentu (tersangka BM dan SCF) dan tidak akan menyentuh tangga utama sebagai
aktor intelektual. Beberapa kasus, misalnya skandal cek perjalanan dalam
pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia yang hanya sampai pada Nunun
Nurbaeti dan Miranda S Goeltom sebagai terpidana serta kasus Hambalang yang
saat ini baru menetapkan Deddy Kusdinar dan Wafid Muharam sebagai tersangka, belum
hilang dalam ingatan kita.
Semua pembaca Media Indonesia
dan rakyat Indonesia merindukan ungkapan equality
before the law. Insya Allah KPK tidak takut memeriksa orang per orang. KPK hanya takut kepada Allah, seperti disampaikan sang ketua
lembaga superbodi itu, dalam penegakan hukum di Indonesia ini dapat
direalisasikan. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar