KOMPAS, 27 November 2012
|
Suseno, petani kopi dari Kecamatan
Kebawetan, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu, berharap ada pemekaran desa.
Sederhana saja, bila desanya dimekarkan, akan ada anggaran khusus untuk desa
induk ataupun desa baru. Uang itu akan membantu kelompok-kelompok tani
mengembangkan usaha perkebunan kopi dan pengolahan kopi luwak.
Ternyata, tak hanya di tingkat elite,
masyarakat pun mulai paham pemekaran yang membawa ”gula-gula” bernama
anggaran. Ini jadi semacam penawar dahaga setelah selama ini desa-desa di
pelosok Indonesia tidak tersentuh karena pembangunan tidak merata. Selama ini
pembangunan lebih banyak di Jawa dan wilayah perkotaan. Anggaran hanya
dikuasai segelintir elite. Rakyat di wilayah yang jauh dari pusat
pemerintahan terpinggirkan, baik pada akses pendidikan, layanan kesehatan,
layanan administrasi kependudukan, dan akses ekonomi.
Ketika keran pemekaran dibuka setelah
reformasi, daerah-daerah otonom baru tumbuh bak cendawan pada musim hujan.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah
Djohan menyebutkan, sejak merdeka sampai 2009, hanya terbentuk 319 daerah
otonom. Namun, dalam 10 tahun setelah reformasi, sudah terbentuk 205 daerah
otonom baru (DOB).
Tidak itu saja, dalam paripurna DPR bulan
lalu, disetujui pula pembentukan satu provinsi dan empat kabupaten baru.
Kini, setidaknya ada 10 calon daerah baru masih menunggu pembahasan di DPR.
Di Kemendagri, bahkan sudah diusulkan 33 calon provinsi dan 150 calon
kabupaten/kota baru.
Sejauh ini DOB tidak menyelesaikan masalah.
Pembangunan yang terlihat sebatas gedung-gedung infrastruktur pemerintahan.
Seperti di Kabupaten Bengkulu Tengah dan Kepahiang yang masing-masing baru
berusia empat dan delapan tahun, pembangunan infrastruktur pemerintahan dan
layanan publik belum rampung. Masyarakat masih berjuang sendiri-sendiri untuk
mengisi perut.
Dalam studi Komite Pemantauan Pelaksanaan
Otonomi Daerah pada 2011, menurut Direktur Komite KPPOD Robert Endi Jaweng,
bahkan untuk DOB yang sudah berusia 10 tahun, pembenahan masih belum beranjak
dari infrastruktur bangunan dan sumber daya manusia. Gula-gula berupa
kesejahteraan dan pelayanan publik yang lebih baik tidak semanis yang
dibayangkan.
Pemekaran pun dilihat lebih berlatar
kepentingan politik para elite. Daerah pemekaran berarti peluang menjadi
kepala daerah dan anggota DPRD di wilayah baru. Lapangan kerja baru sebagai
pegawai negeri sipil juga terbuka. Anggaran pun tersendiri dari APBN. Proyek
pembangunan gedung dan jalan akan lebih banyak. Peluang untuk melebarkan
pengaruh politik terbuka menjelang pemilu.
Syarat-syarat berupa kajian potensi daerah,
kemampuan fiskal, batas jumlah dan kualitas penduduk, serta batas geografis
bisa diatur. Kajian akademik kerap menjadi stempel legitimasi kelayakan calon
DOB. Aspirasi masyarakat tidak jelas lagi, apakah benar-benar
merepresentasikan keinginan warga secara keseluruhan atau segelintir warga saja.
Akibatnya sangat mudah ditebak, yakni tiada perubahan signifikan dalam
kehidupan warga. Namun, desakan untuk pemekaran wilayah mengalir deras.
Masalah tidak berakhir ketika DOB berdiri
dan pemerintahan berjalan. Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany
dalam diskusi tentang RUU Pemerintahan Daerah di kantor harian Kompas,
Jakarta, Rabu (7/11), mengatakan, setelah empat tahun berdiri, Tangerang
Selatan belum menerima aset dari daerah induknya, Kabupaten Tangerang.
Konflik batas wilayah memang sering
terjadi. Penempatan ibu kota tidak matang. Karena itu, kriteria dan persiapan
wilayah yang akan dipisahkan itu semestinya lebih antisipatif dengan berbagai
masalah tersebut. Peneliti LIPI, Tri Ratnawati, bahkan mengatakan, semestinya
indikator kekurangan suatu daerah, seperti tingkat kemiskinan, angka buta
huruf, dan jumlah pengangguran, harus disertakan dalam proposal pembentukan
DOB. Ini memaksa elite daerah lebih siap meningkatkan kualitas hidup
rakyatnya bila DOB disahkan. Keberhasilan pemekaran juga lebih mudah diukur.
Di sisi lain, pengetatan pemekaran wilayah
bisa diatur melalui instrumen perimbangan keuangan. Kepala Subdirektorat
Evaluasi Dana Desentralisasi Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan
Putut Hari Satyaka menjelaskan, dalam Revisi UU No 33/2004 tentang
Perimbangan Keuangan, pemberian dana alokasi umum direformulasi.
Salah satu instrumen penghitung dana
alokasi umum (DAU) adalah jumlah pegawai negeri sipil (PNS). Seakan-akan
pemerintah pusat menjamin gaji PNS. Daerah pun tidak ragu memekarkan diri.
Sebaliknya, perlu didorong supaya daerah
yang akan mekar siap dengan pendapatan asli daerah. Demikian pula daerah
induk, jangan sampai kehilangan sumber pendapatan dan mati setelah
ditinggalkan anaknya.
Setelah pemekaran, kata Putut, diharapkan
Kemkeu bisa memantau secara periodik bersama Kemendagri. Bila kinerja
keuangan DOB buruk, bimbingan dan asistensi bisa dilakukan. Bila tidak
membaik, daerah yang baru dimekarkan bisa digabungkan kembali.
Supaya DOB yang terbentuk mampu berdiri dan
menjalankan fungsinya pada masyarakat, menurut Djohermansyah, diperlukan masa
persiapan 2-3 tahun. Hal ini diterapkan pada pembentukan DOB di masa Orde
Baru. Depok, Kota Tangerang, dan Kota Bekasi, misalnya, menjadi kota
administratif sebelum benar-benar berdiri sendiri.
Masa persiapan calon DOB ini cukup
ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ketika tidak layak untuk menjadi DOB,
pemekaran mudah dibatalkan. Berbeda dengan pembentukan DOB yang disahkan
dalam UU, penggabungan kembali daerah pemekaran ke induk menjadi lebih rumit.
Berbagai upaya antisipatif ini bisa
diterapkan. Namun, untuk ratusan DOB yang sudah terbentuk, semestinya ada
pengawasan dan pembenahan. Kemendagri, kata Tri Ratnawati, semestinya lebih
aktif mengawasi, bukan hanya menyerahkan tugas ini kepada Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengawasi
anggaran.
Bila daerah tidak menunjukkan kinerja baik,
perlu ketegasan untuk menggabungkan daerah baru dengan induknya. Sementara
regulasi pemekaran dibenahi, sudah semestinya penghentian pembentukan DOB
dilanjutkan.
Masalahnya, apakah pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono konsisten dengan niat moratorium pemekaran? DPR pun harus
mendukung dengan tidak terus mendesak pembentukan DOB tanpa pembenahan
daerah-daerah yang sudah terbentuk. Masyarakat bisa menilai bahwa pemekaran
benar-benar untuk rakyat atau hanya bermotif politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar