Penguatan
sebagai “Whistle Blower”
Prasetijo Ichtiarto ; Pengurus DP Korpri Kota Salatiga 2009-2014
|
SUARA
MERDEKA, 29 November 2012
HARI ini, Korps Pegawai Republik Indonesia
(Korpri) berusia 41 tahun. Pemerintah mendirikan wadah bagi PNS itu pada 29
November 1971, berdasarkan Keppres Nomor 82 Tahun 1971. Selama Orba berkuasa,
Korpri menjadi alat kekuasaan untuk melindungi pemerintah. Sejak era
reformasi, Korpri mereformasi diri, berubah menjadi organisasi netral, tidak
berpihak pada partai tertentu.
Dalam konteks kekinian, mungkinkan
mereposisi peran Korpri? Peringatan HUT hari ini seharusnya bisa menjadi
pijakan untuk meningkatkan karya bakti, tidak saja bagi anggota tapi juga
untuk masyarakat pada umumnya. Sebagai organisasi yang mewadahi PNS, Korpri
juga diharapkan bisa mengayomi kepentingan anggota.
Realitasnya, organisasi itu belum bisa
maksimal memenuhi harapan dan keinginan anggota. Pengurus di semua lini perlu
membenahi banyak hal untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Saat ini, minimal
ada tiga persoalan utama yang butuh perhatian ekstra dan komitmen dari
pengambil kebijakan. Pertama; terkait keterbatasan kemampuan keuangan yang hanya
bersumber dari iuran anggota sehingga belum mampu memberi kontribusi terhadap
kesejahteraan seluruh anggota.
Kedua; belum secara maksimal membantu
melindungi jenjang karier anggota, dalam arti belum ada langkah nyata
memperjuangkan reward and punishment pada birokrasi. Hal itu berdampak
pada pedoman daftar urutan kepangkatan (DUK) yang tidak bisa lagi menjadi
tolok ukur signifikan bagi karier dan promosi seorang pegawai.
Ketiga; keminiman pendidikan dan pelatihan
teknis bagi aparatur, disertai dengan keterbatasan dana yang memengaruhi
tingkat keterlibatan pengurus dalam mendampingi anggota yang terjerat
persoalan hukum. Sebetulnya, permasalahan anggota dapat diselesaikan melalui
program kerja Korpri, dengan mengacu AD/ART, yaitu melalui bidang organisasi/kelembagaan,
pembinaan jiwa korps (korsa), usaha dan kesejahteraan, pengayoman, dan
perlindungan hukum, serta pengabdian masyarakat.
Sejauh mana kesungguhan yang dibangun
pengurus dalam menjabarkan kualitas dan kuantitas operasional di lapangan
terkait program kerja yang disepakati? Masalah ini menjadi perenungan bagi
pengurus, baik pada aras pemerintah pusat, provinsi, maupun kabupaten/ kota,
dalam arti apakah program kerja yang terlalu banyak itu perlu direposisi
supaya bisa terfokus pada beberapa kegiatan yang jelas-jelas memenuhi
aspirasi anggota.
Berpijak pada ketentuan pengelolaan
keuangan misalnya, sumber pendapatan bisa berasal dari bantuan pemerintah
pusat atau daerah, aset Korpri, atau bantuan pihak lain yang tidak mengikat.
Faktanya, saat ini hanya mengandalkan iuran wajib dan sosial dari anggota.
Penerimaan tiap bulan pun sangat kecil sehingga pengurus kesulitan
menjabarkan pembiayaan untuk kegiatan yang begitu banyak.
Pada fase ini, menjadi tepat bila seluruh
jajaran terus intropeksi diri melalui upaya reposisi, refungsionalisasi, dan
revitalitasasi. Terlebih, pada masa mendatang peluang dan tantangan Korpri
supaya tetap solid dan eksis makin berat dan kompleks. Kondisi ini selalu
dikaitkan dengan nilai-nilai kemauan keras (willpower), ketaatan (obedience),
dan disiplin pribadi (self-discipline).
Faktanya, diakui atau tidak, sebagian
masyarakat masih memersepsikan Korpri, terutama di birokrasi, sebagai
institusi yang lamban dalam memberikan pelayanan, tidak transparan untuk
memberikan informasi publik, dan masih sarat budaya KKN.
Membebani
Anggota
Selain pandangan publik, faktor kendala
sangat strategis justru datang dari internal organisasi. Pertama; solidaritas
antaranggota yang masih rendah. Kita bisa melihat dari tingkat interaksi dan kesediaan
saling membantu. Kedekatan emosional itu baru muncul bila seseorang memiliki
posisi strategis dan bisa menguntungkan perjalanan ke depan seorang PNS.
Kedua; belum terbangun kebanggaan dan rasa
memiliki. Ada sebagian anggota yang beranggapan Korpri belum dapat membantu
meningkatkan kesejahteraan, sebaliknya justru membebani. Dana yang bersumber
dari anggota pun tidak dipublikasikan secara transparan. Ketiga; keterbatasan
anggaran berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan anggota dan kebelumoptimalan
pengayoman dan perlindungan hukum.
Keempat; kebanyakan personel yang masuk
kepengurusan Korpri adalah kepala SKPD dengan mobilisasi tinggi. Hal itu
sangat berdampak pada kemenurunan tingkat konsentrasi dan roda kinerja
organisasi. Kelima; ketidakseimbangan antara program kerja yang harus
dilaksanakan dan alokasi anngaran.
Mendasarkan pada persoalan itu, perlu
langkah komprehensif disertai perubahan paradigma baru, baik dalam aspek
kelembagaan, SDM, manajemen, maupun program kerja. Organisasi harus memiliki esprit de corps, integritas kuat, dan
kinerja tinggi dengan penguatan agar Korpri juga berani menjadi whistle
blower kasus korupsi. Terkait dengan keterbatasan dana, perlu mulai
menyusun prioritas program kerja, termasuk pengelolaan usaha dengan manajemen
profesional, menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan pihak lain
(program CSR), dan mengelola aset organisasi secara maksimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar