Menata Migas
Indonesia
Maizar Rahman ; Mantan Gubernur OPEC
|
SUARA
KARYA, 26 November 2012
Terbitnya
keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004 dan 2012 tentang
Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Migas dan adanya rencana revisi
undang-undang itu oleh DPR merupakan awal yang baru lagi bagi masa depan
industri minyak dan gas (migas) Indonesia.
Dalam
menentukan dan menata arah migas kita yang akan datang, ada manfaatnya
mengacu ke praktik pengelolaan migas di berbagai negara, terutama negara
berkembang. Kata kunci mereka juga sama, yakni adanya kedaulatan negara atas
sumber daya migas sebesar-besar hasil untuk rakyat, keberpihakan kepada
perusahaan migas nasional, dan kemitraan yang kondusif dengan kontraktor.
Badan
usaha milik negara (BUMN) atau biasa disebut National Oil Company (NOC)
dilimpahi tugas utama dalam pengusahaan. Bagi negara yang kuat pendanaannya
seperti Arab Saudi, Kuwait, Iran, dan Meksiko, pihak asing hanya sebagai
kontraktor pemberi jasa dalam pengoperasian kegiatan migas mereka. Dengan
demikian, seluruh keuntungan masuk ke kas negara, termasuk keuntungan
kenaikan harga minyak yang sangat besar sepuluh tahun terakhir ini.
Sementara
itu, bagi negara-negara yang tidak memiliki cukup dana, seperti Nigeria,
Aljazair, Libia, Venezuela, BUMN mengundang perusahaan minyak internasional
atau IOC untuk bekerja.
Undang-undang
migas di negara-negara lain juga berkembang dan mengalami revisi seperti
halnya di Aljazair dan Brasil. Salah satu tujuannya adalah membebaskan NOC
dari tugas regulasi sehingga dapat berfokus ke bisnis minyak. Aljazair
mengubah undang-undang migasnya pada tahun 2005 dan 2006 dan membentuk badan
baru ALNAFT, mirip BP Migas yang berkontrak dengan kontraktor. Brasil
membentuk PPSA, BUMN yang sahamnya dimiliki 100 persen oleh negara.
Perusahaan itulah yang melaksanakan kontrak dengan kontraktor. Namun, peran
PPSA lebih berupa portofolio dan tidak terlibat dalam kegiatan operasional.
Dalam
rencana revisi UU Migas Indonesia, berbagai masukan dan saran di masa pra dan
pasca-UU Migas dalam berbagai seminar dan sidang-sidang DPR sebaiknya
dipertimbangkan kembali. Kata kuncinya tetap sama, kedaulatan negara atas
migas, sebesar-besar hasil untuk rakyat, keberpihakan ke perusahaan nasional
dan kemitraan yang kondusif dengan kontraktor. Kata kunci itu hendaknya
tertuang dengan tegas dan jelas sehingga dalam implementasinya tidak ada
keragu-raguan.
Misalnya,
agar porsi BUMN menjadi mayoritas dalam kontrak-kontrak yang baru, prioritas
pengelolaan wilayah-wilayah kerja pascakontrak ke pihak nasional, sistem
pajak yang lebih sederhana, dihilangkannya regulasi tumpang tindih dan
berbagai hambatan lainnya.
Satu hal lagi yang
belum pernah dicantumkan adalah disisihkannya dana untuk menjaga
keberlanjutan industri migas kita, yang sering disebut sebagai depletion
premium. Analoginya, dari setiap panen 100 karung padi, sisihkanlah 10 karung
untuk benih, pupuk, dan lainnya. Sepuluh persen diperlukan untuk mencari
lapangan-lapangan minyak baru, ekspansi ke mancanegara, mengembangkan
teknologi dan mendidik sumber daya manusia, agar kita betul-betul berdaulat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar