Kesejahteraan
Petani dan Kedaulatan Pangan
Benyamin Lakitan ; Deputi Bidang
Kelembagaan Iptek
Kementerian Riset
dan Teknologi
|
MEDIA
INDONESIA, 24 November 2012
"Semoga pemberlakuan UU Pangan yang
baru ini menjadi momentum untuk meningkatkan kesejahteraan petani."
SETELAH keberhasilan Revolusi Hijau dan In
donesia berhasil men capai swasembada pangan, prioritas pembangunan di
berbagai negara, termasuk Indonesia, lebih terarah ke sektor industri. Pemicu
pokoknya ialah kemajuan suatu negara sering diyakini bergantung pada kemajuan
sektor industrinya sehingga banyak negara berkembang yang semula menumpukan
perekonomian mereka pada sektor pertanian tergopoh-gopoh mengalihkan
prioritas pembangunan untuk lebih mendorong sektor industri.
Sesungguhnya, tidaklah salah mendorong
pertumbuhan sektor industri karena nilai tambah yang lebih besar akan dapat
diperoleh dari sektor tersebut. Akan tetapi, menjadi kurang tepat jika
pengembangan industri dilakukan dengan menelantarkan sektor pertanian.
Harusnya, industri yang pertama didorong negara agraris ialah agroindustri
yang berbasis komoditas pangan dan pertanian yang dihasilkan di dalam negeri.
Penurunan perhatian terhadap sektor pertanian
walhasil telah dirasakan akibatnya pada saat ini dan cenderung akan semakin
parah jika tidak dilakukan upaya pemulihan secara cepat dan tepat. Pada
tataran global, harga komoditas pangan mulai naik dan krisis pangan mulai
membayangi. Untuk beberapa negara Afrika, hal itu sudah terjadi. Untuk
Indonesia, kekhawatiran terhadap kemungkinan kekurangan pangan juga mulai
dirasakan.
Aksi spontan terhadap isu itu umumnya ialah
melakukan upaya teknis agronomis untuk meningkatkan produksi pangan, misalnya
memberikan bantuan dan/atau subsidi benih unggul, sarana produksi, serta alat
dan mesin pertanian kepada petani.
Upaya intensifikasi, ekstensifikasi, dan
diversifikasi pangan pada prinsipnya tidaklah keliru. Namun, peningkatan
produksi yang dicapai dirasakan relatif tak sebanding dengan anggaran negara
yang dibelanjakan untuk program tersebut. Kekurangoptimalan program tersebut
disebabkan faktor teknis atau masalah governance.
Kebutuhan Teknologi
Banyak saran muncul untuk persoalan itu,
termasuk perlunya pengawasan yang lebih ketat, hukuman yang lebih berat dan
secara konsisten diterapkan bagi para pelanggar, dan pengubahan cara
pemberian subsidi dari subsidi harga sa rana produksi menjadi subsidi
langsung ke petani.
Banyak juga saran agar kemaj juan teknologi
pertanian perlu m mendapat perhatian dan didorong agar dapat berkontribusi
secara lebih nyata terhadap upaya peningkatan produksi pangan. Persoalannya
kemudian ialah kemajuan teknologi pertanian kadang memperlebar kesenjangan
antara teknologi yang ditawarkan dan kapasitas adopsi petani.
Secara umum, tentu tidak banyak yang akan
membantah bahwa teknologi dibutuhkan untuk semua sektor pembangunan, termasuk
pertanian.
Namun, relevansi teknologi yang dikembangkan dengan kebutuhan dan kapasitas adopsi petani perlu secara sungguhsungguh dicermati.
Faktor utama penyebab kegagalan atau kurang
optimalnya dampak pembangunan pertanian ialah program dan kegiatan yang
dilakukan terlalu fokus pada aspek teknis agronomis dan kurang
mempertimbangkan dampaknya pada kesejahteraan petani.
Petani Subsistem
Petani harus diposisikan sebagai subjek, bukan
objek atau hanya diperlakukan sebagai komponen mesin produksi. Petani perlu
diberi insentif agar termotivasi untuk meningkatkan produksi pangan. Bentuk
insentif yang paling efektif ialah peningkatan kesejahteraannya. Bukankah
tujuan utama pembangunan ialah untuk menyejahterakan rakyat? Rakyat yang
kesejahteraannya paling perlu diprioritaskan melalui pembangunan sektor
pertanian tentunya adalah petani.
Ukuran keberhasilan pembangunan pertanian
sering dikaitkan dengan keberhasilan mencapai swasembada pangan atau
terwujudnya kondisi ketahanan pangan. Mari kita cermati definisi ketahanan
versi Food and Agriculture Organization
(FAO) berikut ini, Food security exists
when all people, at all times, have physical and economic access to
sufficient, safe and nutritious food that meets their dietary needs and food
preferences for an active and healthy life. Ringkasnya, ketahanan pangan
tercapai jika semua konsumen mendapatkan pangan yang cukup, tetapi tak
sedikit pun menyinggung kesejahteraan petani sebagai produsen pangan. Banyak yang
menyatakan `toh' petani selain produsen juga konsumen pangan. Itu betul 100%.
Namun, persoalannya bukan di situ.
Persoalannya ialah jika jasa para petani dalam
memproduksi pangan tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan, mereka
cenderung akan menjadi petani subsistem. Petani akan memproduksi pangan hanya
untuk kebutuhan sendiri, tidak akan termotivasi untuk berpartisipasi dalam
program pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional.
Untuk tambahan pendapatannya, petani cenderung
melakukan diversifikasi pekerjaan, misalnya membudidayakan tanaman perkebunan
(karet, kopi, dan sekarang sawit). Justifikasinya ialah banyak lahan sawah
yang tadinya ditanami padi sekarang dikonversi menjadi lahan kebun sawit.
Opsi lain yang dipilih petani setelah kebutuhan pangan pokoknya dirasakan
mencukupi ialah memilih pekerjaan tambahan sebagai buruh konstruksi (untuk
wilayah sekitar perkotaan) atau pekerjaan informal lain di kota.
Jika petani ditanya tentang alasannya mengapa
tidak penuh mendedikasikan pekerjaannya pada budi daya tanaman pangan, salah
satu jawaban yang mungkin patut direnungkan ialah, “Tidak ada satu orang di desa kami yang naik haji karena bertanam
padi, tapi yang mampu naik haji itu adalah para petani yang punya kebun kopi
atau sawit.“
Jika kecenderungan petani untuk meninggalkan
kegiatan budi daya tanaman pangan tersebut terus diabaikan, itu akan menjadi
ancaman yang serius terhadap upaya memenuhi kebutuhan pangan nasional secara
mandiri. Itu mungkin lebih serius jika dibandingkan dengan ancaman penyusutan
luas lahan pertanian akibat konversi dan degradasi kualitas lahan. Juga,
lebih serius daripada ancaman perubahan iklim global. Keberlanjutan proses
produksi pangan secara mandiri akan sangat terancam. Kemandirian pangan yang
didengung-dengungkan saat ini mungkin tak akan pernah terwujud.
RUU Pangan baru sebagai pengganti UU No 7 /
1996 tentang Pangan telah disetujui DPR RI sebagai kado Hari Pangan Sedunia
2012. Sebuah kemajuan besar secara konsepsional ialah penggunaan kemandirian
pangan dan kedaulatan pangan sebagai dasar penyelenggaraan pembangunan pangan
di Indonesia, selain ketahanan pangan.
Pengertian ketahanan pangan tetap mengadopsi
definisi yang digunakan FAO. Kemandirian pangan ialah kemampuan negara dan
bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang
dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial,
ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Konsepsi kedaulatan pangan
diadaptasi dari deskripsi kedaulatan pangan yang tercantum dalam Deklarasi
Nyeleni 2007.
UU Pangan 2012, selain tetap menjadi landasan
dalam mewujudkan ketahanan pangan, juga merupakan dasar untuk membangun
kemandirian pangan dan menjamin kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan
merupakan hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat (sebagai konsumen pangan)
dan yang memberikan hak bagi masyarakat (sebagai produsen, yakni petani) untuk
menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Jiwa dan semangat UU Pangan 2012 diharapkan
efektif dalam memberikan peluang bagi petani untuk memberdayakan diri dan di
sisi lain, juga efektif dalam meningkatkan apresiasi berbagai pihak terhadap
peran penting petani dalam memproduksi pangan. Kesejahteraan petani, harus
diakui, merupakan prasyarat yang mutlak dan perlu dipenuhi untuk dapat
mewujudkan ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan.
Semoga pemberlakuan UU Pangan
yang baru ini menjadi momentum untuk meningkatkan kesejahteraan petani dalam
rangka mewujudkan ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar