Menyoal Artis
Politis
Agus Dermawan T ; Kritikus
Seni, Penulis Buku-buku Berbasis Sosial Budaya
|
KORAN
TEMPO, 26 November 2012
“Namun para seniman
pro-politik telah telanjur mengangkat politik adalah kebanggaan nomor satu.
Padahal kita tahu, pada akhir-akhir ini justru politik yang banyak
menyebabkan kekacauan.”
Beberapa hari
setelah diangkat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
pada 1985, Fuad Hassan memanggil belasan seniman (dan budayawan) Indonesia
untuk berbincang-bincang. Pada ujung pertemuan, menteri yang piawai bermain
biola itu berpesan agar para seniman tetap pada profesinya. Tetap bekerja
intens di ranah kesenian. Tetap sebagai artis. Jangan masuk wilayah
"gunung berapi", seperti politik semacamnya.
Jauh hari
sebelumnya, Daoed Joesoef, yang menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
periode 1978-1983, juga menganjurkan hal yang sama. Ia berkata bahwa, selama
berabad-abad sejarah Eropa, seniman adalah makhluk nomor satu. Lantaran itu,
seniman yang sudah diakui sebagai ikon sosial harus percaya diri dan tidak
perlu menggeserkan kedudukannya, termasuk ke wilayah politik, misalnya.
Bahwa
kedudukan seniman itu tinggi, memang terbuktikan sejak dahulu kala. Di Tiongkok,
hanya para politikus dan ahli perang yang mampu berpraktek seni yang bisa
memperoleh kedudukan puncak, bahkan menjadi raja yang tak kepalang
pentingnya. Meng Tian diakui sebagai kaisar besar Dinasti Qin (255-209 SM)
ketika ia menciptakan pena bulu (mopit) untuk kebutuhan melukis dan menulis
indah demi pengagungan aksara dan sastra. Jenderal Li Shixun menjadi kaisar
paling dikenang pada Dinasti Tang (618-906) ketika ia menciptakan seni Aliran
Utara, dalam musik, tari, sastra, dan seni rupa. Huizong menjadi kaisar
terhebat Dinasti Song (960-1278) setelah ia mendirikan Akademi Seni Kerajaan,
yang mempertemukan Aliran Utara dan Aliran Selatan.
Sementara itu,
para seniman, dari Wang Wei sampai Su Tung Po, tetap diberi kedudukan "berumah-rumah di atas angin",
alias maharesi. Dan mereka dijunjung sebagai penasihat jiwa dan pikiran para
pemangku kekuasaan di kerajaan, dengan status yang teguh: sebagai seniman. Di
Yunani, penyair yang hebat tak berbeda dengan filsuf. Ia pun disebut poeta laureatus, sastrawan kelas
langit, yang kedudukannya bahkan lebih tinggi daripada pejabat dan politikus
yang terserak di segala sisi istana.
Seniman
di Indonesia
Mitos
ketinggian posisi seniman ini tampak mulai mengabur warnanya di Indonesia.
Reformasi politik sejak 1998 telah menggeser pikiran sebagian seniman untuk
jadi percaya bahwa politik lebih tinggi martabatnya dibanding kesenian.
Dinamika politik yang kerap diwarnai aksi dan situasi banal, oleh para
seniman, justru ditatap sebagai kemegahan sosial. Sehingga beralihnya seniman
ke ruang politik dipersepsi sebagai kenaikan kelas. Lalu para seniman pun
ramai-ramai masuk ke wilayah politik. Tak ayal, kesenian diam-diam diturunkan
kastanya oleh kalangan seniman sendiri.
Padahal semua
tahu, dengan hijrahnya para seniman ke dunia politik, dunia kesenian
Indonesia segera kehilangan potensi-potensi besarnya. Dunia musik, film, dan
sinetron kehilangan bintang ketika Tetty Kadi, Jamal Mirdad, Rieke Diah
Pitaloka, Rachel Maryam Sayidina, Nurul Arifin, Venna Melinda, Adjie Massaid,
Okky Asokawati, dan Primus Yustisio duduk di belakang meja DPR. Zumi Zola
menghampiri kursi bupati, serta Dede Yusuf girang-hati menjadi (wakil)
gubernur. Sisi panggung komedi jadi kosong ketika Dedi "Miing"
Gumelar dan Eko Hendro Purnomo merayap ke kursi DPR. Ulah ini menyusul sikap
pelawak unik Nurul Qomar, yang sudah menyusup ke lembaga itu terlebih dulu.
Jagat seni
peran Indonesia kehilangan Rano Karno, juga Marissa Haque, ketika mereka
terus-menerus maju sebagai kepala daerah. Dunia pentas dan musik berduka
ketika Guruh Sukarnoputra dan Tantowi Yahya mengikrarkan diri menjadi anggota
Dewan. Pada bulan-bulan akan datang, dunia kesenian Indonesia juga bakal
kehilangan Garin Nugroho dan Deddy Mizwar lantaran mereka digadang-gadang
menjadi wakil gubernur di beberapa daerah. Semua ini tentu masih minus Julia
Perez, Desy Ratnasari, Saiful Jamil, sampai Rhoma Irama, yang juga pengin
main politik.
Padahal,
pengalaman mengajarkan--dengan disertai hormat kepada politikus
sejati--betapa wilayah politik (dan birokrasi) adalah rimba gelap yang sering
mengajak para seniman pusing tujuh-keliling. Dan itu sudah ditampakkan
gejalanya sejak awal. Rahasia umum, para politikus acap menunggangi
popularitas dan selebritas seniman untuk dipakai sebagai alat mencari
perhatian. Budayawan Ridwan Saidi dan Sophan Sophiaan jauh hari telah
mengingatkan itu, sampai akhirnya bintang film ini tewas dalam insiden
kendaraan dengan balutan teka-teki. Bintang sinetron Diky Chandra juga
mengatakan hal yang sama, ketika ia yang antikorupsi harus cabut sebagai
Wakil Bupati Garut.
Atas semua
ihwal itu, budayawan Fadli Zon, yang tidak mau begitu saja
"terjebak" di DPR, mengingatkan bahwa politik dan kesenian adalah
subordinat kebudayaan. Politik dan kesenian duduk di kursi yang setara
tingginya. Dengan begitu, politik tidak layak menghegemoni wacana pro bono publico, menganggap diri
sebagai satu-satunya penyebar kebaikan dan kesejahteraan. Namun para seniman
pro-politik telah telanjur mengangkat politik adalah kebanggaan nomor satu.
Padahal kita tahu, pada akhir-akhir ini justru politik yang banyak
menyebabkan kekacauan.
Kembali
ke Habitat
Di Amerika,
paradigma yang tidak meletakkan politik sebagai hal utama tak hentinya
dipahami. Itu sebabnya, ketika bintang film laga Arnold Schwarzenegger jadi
Gubernur California, banyak kalangan menyesalkan. Hollywood kehilangan
seorang bintang nan cemerlang dan penangguk box office.
Kekecewaan
besar juga muncul ketika Clint Eastwood mendadak memposisikan diri sebagai
Wali Kota Camel. Meski kota yang dipimpinnya kecil dan berpenduduk sedikit,
aktivitas Eastwood di dunia film jadi tersapu. Padahal ia adalah orang nomor
satu di Hollywood. Untung Eastwood tidak lama berurusan dengan politik dan
birokrasi. Begitu ia masuk lagi ke dunia film, rakyat Amerika bersorak. Dan Eastwood
segera menghasilkan karya-karya yang tak dilupakan zaman, seperti Letters
from Iwojima dan The Flags of Our Fathers.
Sambil mempercayai kekuatan
kesenian (dan kebudayaan), serta meyakini bahwa seniman adalah makhluk sosial
dan bukannya makhluk politik, banyak orang berharap agar para seniman kembali
ke habitatnya. Toh, politik bisa diakomodasi sebagai inspirasi dalam
karya-karya seni yang diolahnya. Seperti musik Iwan Fals. Seperti drama
Teater Koma. Seperti puisi-puisi Rendra. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar