KPK (tidak)
Bisa Usut Boediono?
Saldi Isra ; Guru
Besar Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Padang
|
MEDIA
INDONESIA, 21 November 2012
JIKA dibandingkan
dengan yang pernah dilakukan sebelumnya, pertemuan Tim Pengawas Bank Century
DPR dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemarin, memaparkan `sedikit'
perkembangan, yaitu dua tersangka baru dalam skandal Bank Century. Dengan
merujuk pemaparan KPK, pejabat dan mantan pejabat Bank Indonesia (BI) Budi
Mulya dan Siti Fadjrijah ditetapkan sebagai tersangka kasus bailout Century.
Keduanya dinilai KPK melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam pemberian
fasilitas pinjaman jangka pendek untuk Bank Century.
Sebagai sebuah skandal,
bentangan hasil terbaru yang disampaikan KPK menjadi bukti bahwa tidak
terjadi pergerakan signifikan dalam proses hukum bailout Bank Century.
Melihat posisi dan kerumitan tingkat tinggi yang mengitari skandal ini, hasil
yang dicapai KPK tetap harus diapresiasi.
Dengan menggunakan
logika obat nyamuk bakar, harapannya, KPK akan bergerak terus menuju
lingkaran paling dalam, dengan menemukan tokoh sentral di balik bailout Bank
Century. Namun, boleh jadi, harapan gerak logika obat nyamuk bakar tersebut sulit
terwujud. Setidaknya, gejala itu dapat dilacak berdasarkan pernyataan Ketua KPK
Abraham Samad yang mengungkapkan bahwa KPK tidak bisa melakukan penyelidikan
maupun penyidikan terhadap Boediono lantaran berstatus sebagai wakil
presiden. Padahal, apabila ditelusuri, pertanyaan tim pengawas terkait dengan
peran Boediono sebagai Gubernur BI menjadi salah satu isu sentral dalam
proses di Panitia Khusus Bank Century DPR pada 2010.
Tidak Tepat
Sebagai sebuah institusi
yang diberi wewenang khusus untuk menangani
kasus korupsi, apa yang
dikemukakan Ketua KPK menjadi sesuatu yang sulit
diterima. Selain
menggambarkan kegamangan KPK mengusut secara tuntas skandal Bank Century,
pernyataan itu menegaskan bahwa terjadi diskriminasi dalam penegakan hukum. Padahal, dalam
posisi Indonesia sebagai negara hukum, semua orang adalah bersamaan di
hadapan hukum (equality before the law).
Dari berbagai
perspektif, pernyataan Ketua KPK itu potensial menggerus kepercayaan
masyarakat terhadap institusi KPK. Apalagi, sejak skandal ini muncul ke
permukaan, banyak pihak berpandangan bahwa kemampuan KPK menuntaskan skandal
ini akan menjadi batu uji terpenting dalam menilai kemandirian KPK. Dalam
pengertian itu, pendapat bahwa Boediono tidak dapat diperiksa akan
menimbulkan banyak penafsiran.
Dalam kesempatan
diskusi kilat dengan ahli hukum pidana UGM Prof Edy OS Hiariej terungkap
apabila diletakkan konteks dalam sistem peradilan pidana, kekuasaan untuk
melakukan tindakan proyustisia hanya boleh diberikan kepada institusi yang
memiliki kewenangan yang sah untuk melakukan tindakan tersebut.
Artinya, dengan
menjunjung tinggi prinsip equality
before the law, siapa pun yang melakukan tindak pidana korupsi, tanpa
memandang kedudukan dan jabatan, dapat disidik oleh lembaga yang berwenang
baik oleh KPK, kejaksaan, maupun Polri.
Proses dugaan adanya
tindak pidana yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat
dilakukan melalui suatu tindakan proyustisia. Seperti dikemukakan peneliti
ICW Febri Diansyah, tidak benar sebuah kebijakan tidak bisa dipersoalkan
dengan UU Tindak Pidana Korupsi.
Dalam hal pembuat
kebijakan melanggar sejumlah aturan hukum dan menyalahgunakan wewenang,
merugikan keuangan negara, dan menguntungkan diri sendiri atau pihak lain,
pembuat kebijakan bisa dijerat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, tambah
Febri Diansyah, unsur kesengajaan pembuat kebijakan tidak mesti dibuktikan
dengan adanya kick-back atau
keuntungan yang diterima pejabat pembuat kebijakan.
Apalagi, dalam hal
ini, KPK pernah menangani sejumlah kasus, termasuk kasus aliran dana Yayasan
Pengembangan Perbankan Indonesia senilai Rp100 miliar dengan salah satu
terdakwa mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, bahkan hanya dengan ukuran
‘kepatutan’ pada unsur melawan hukum materiil.
Dengan dasar
argumentasi tersebut, sangat tidak tepat mengatakan bahwa Boediono tidak bisa
diusut. Oleh karena itu, akan jauh lebih tepat dan tidak mengundang
kontroversi apabila dikatakan bahwa KPK masih memerlukan waktu untuk
menyelidiki keterlibatan pihak lain termasuk peran Boediono atau siapa pun
dalam bailout Bank Century.
Pandangan Ketua KPK
semakin kehilangan dasar argumentasi karena skandal yang sedang diselidik
oleh KPK terjadi ketika Boediono belum menjabat wakil presiden.
Jalur DPR
Di luar jalur hukum
yang tengah dilakukan KPK, DPR dapat menggunakan jalur lain untuk
menindaklanjuti skandal Bank Century, yaitu menggunakan proses politik.
Dalam hal ini, Pasal
7A UUD 1945 menyatakan, presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila
terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.
Merujuk rumusan Pasal
7A UUD 1945, DPR tidak harus memaksa KPK untuk cepat-cepat menentukan status
hukum Boediono. Sekiranya hendak mengambil peran, DPR dapat membuka jalur
politik untuk menuju upaya pemakzulan. Guna menuju upaya itu, DPR harus
memulai dengan menggunakan hak menyatakan pendapat.
Dengan begitu, dengan
menggunakan jalur itu, DPR tak perlu mengandalkan hasil proses hukum yang
dilakukan KPK. Apalagi berdasarkan putusan MK, persyaratan pengambilan keputusan
mengenai usul penggunaan hak menyatakan pendapat dapat dilakukan dengan
syarat mayoritas sederhana.
Dalam hal ini,
sekiranya memang yakin bahwa Boediono terlibat dalam skandal Bank Century,
DPR dapat memulai jalur hak menyatakan pendapat. Apalagi hasil dari Pansus
DPR menyatakan bahwa Boediono merupakan salah seorang yang ikut bertanggung
jawab dalam bailout Bank Century.
Pertanyaannya,
sekiranya memang yakin dengan hasil pansus tersebut, mengapa DPR gamang
meneruskannya ke penggunaan hak menyatakan pendapat?
Jika melihat
kondisi begitu, jangan-jangan yang terjadi dalam penuntasan skandal Century
ialah terjebak dalam pilihan saling tunggu: DPR menunggu KPK dan begitu
sebaliknya, KPK juga menunggu DPR. Jika begitu, upaya penuntasan skandal
Century tak ubahnya seperti menjawab pertanyaan: mana yang lebih dulu, telur
atau ayam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar