Kamis, 22 November 2012

Apa Bedanya Century dan BLBI?


Apa Bedanya Century dan BLBI?
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus Unpad
MEDIA INDONESIA, 21 November 2012


“Penyimpangan penggunaan dana bailout dapat dicegah jika sejak diusulkan kebijakan tersebut pemerintah telah terbuka dan secara transparan membahas dengan DPR RI secara tuntas tanpa ada upaya untuk `berselingkuh'."

JIKA upaya untuk membuka tabir gelap kasus BLBI sejak mencuatnya kasus BLBI sampai saat ini disimak, kini KPK jilid III telah mengambil langkah berani dengan meningkatkan penyelidikan ke tahap penyidikan dan sudah tentu menetapkan tersangkanya. Upaya itu telah pernah dilakukan masa Antasari pada KPK jilid II sekitar 2006. Namun, upaya tersebut gagal karena yang bersangkutan telah telanjur ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya, dan kini telah dijadikan terpidana.

Selain sebab tersebut, langkah KPK jilid II gagal karena Kejaksaan Agung telah terburuburu mengeluarkan SP3 terhadap tersangka kasus BLBI, tetapi masyarakat mencurigai SP3 dikeluarkan tanpa dasar hukum yang kuat. Beberapa minggu kemudian, KPK bahkan telah menangkap dan menahan UTG, eks jaksa pada Kejaksaan Agung, karena menerima sejumlah uang dari ART kepercayaan SYN, buron BLBI.

Jika dibandingkan dengandana bailout BLBI dengan dana bailout Bank Century, ternyata BLBI menghabiskan dana sekitar Rp600 triliun, sedangkan dana Century menghabiskan sekitar Rp6 triliun. Oleh karena itu, tidaklah fair dan sangat menusuk perasaan keadilan rakyat jika Century diungkap tuntas, tetapi BLBI dilupakan. Padahal, penderitaan rakyat terus-menerus tidak berhenti karena beban utang dana 
bailout tetap menjadi tanggungan APBN setiap tahunnya.

Di sisi lain, utang dana bailout berikut bunga sampai saat ini belum dilunasi para obligor yang kini masih bebas berkeliaran dan buron di negara lain. Kita semua tentu sangat heran dan tampak transparan perilaku pimpinan dan elite bangsa ini, termasuk di Senayan, yang memilih kasus BLBI ditutup rapat-rapat, tetapi diskriminatif terhadap kasus Century.

Pengamat ekonomi UGM, Awan Santosa, menyatakan penambahan jumlah APBN tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi karena anggaran terlalu banyak tersedot untuk pengeluaran yang menzalimi rakyat, seperti pembayaran bunga utang maupun obligasi rekap eks BLBI. Selanjutnya Awan menyatakan tanpa keberanian dan ketegasan pemerintah menuntaskan skandal BLBI, pertumbuhan riil justru akan negatif dan defisit perdagangan makin melebar karena kebutuhan impor untuk pangan dan industri yang sangat besar (Koran Jakarta, 19 November 2012).

Penulis setuju dengan pendapat ahli ekonomi UGM tersebut dan dari aspek hukum, kesediaan dan kewajiban negara menanggung beban akibat bailout (BLBI dan Century) merupakan beban sepanjang tahun yang menimbulkan akibat hukum, yaitu negara sangat dirugikan bukan karena kebijakan bailout, melainkan karena penyalahgunaan dana itu. Dana bailout digunakan bukan untuk kepentingan penyelamatan nasabah, melainkan untuk kepentingan pribadi para obligor.
Perbuatan para obligor jelas dan terang benderang merupakan dan termasuk tindak pidana korupsi yang sepatutnya dituntut ancaman hukuman mati.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan ubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 karena dilakukan dalam masa krisis ekonomi nasional serta akibat penyimpangan dana bailout tersebut negara dililit utang yang semakin tinggi. Pada gilirannya itu menghambat tujuan mencapai kesejahteraan 250 juta rakyat Indonesia.

Jika merujuk ke audit BPK RI 2006 terhadap dana bailout BLBI, telah ditemukan banyak penyimpangan dana bailout BLBI; begitu pula jika merujuk audit investigatif BPK RI 2009 terhadap dana bail out Century, ditemukan penyimpangan yang berindikasi tindak pidana. Dua peristiwa penting dalam sejarah perbankan di Indonesia dalam kurun waktu 11 tahun membuktikan pola korupsi keuangan negara melalui perbankan merupakan satu-satunya tindak pidana korupsi yang relatif aman jika dibandingkan dengan suap dan me-mark up dana proyek. Tindakan tersebut terlindung oleh kebijakan nasional dengan tujuan mencegah dan mengatasi dampak sistemis terhadap iklim keuangan dan perbankan nasional.

Selain itu, dalam ekonomi internasional juga nasional terutama di era globalisasi, selalu dipromo ikan bahwa perbankan merupakan tulang punggung beker janya mesin pemba ngunan negara-negara maju dan berkem dan berkembang. Jadi, kebijakan apa pun yang dilakukan pemerintah mealui perbankan kan membuat keengganan atau keraguan bagi penegak hukum untuk memulai penyelidikan ataupun penyidikan karena akan menyentuh proses pengambilan kebijakan pemerintah itu sendiri mutatis mutandis menyentuh pusat kekuasaan.

Penyimpangan penggunaan dana bailout dapat dicegah jika sejak diusulkan kebijakan tersebut pemerintah telah terbuka dan secara transparan membahas dengan DPR RI secara tuntas tanpa ada upaya untuk `berselingkuh'. Jadi, pengambilan kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara politis, hukum, maupun secara ekonomi. Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini merupakan solusi alternatif saat ini yang dipandang tepat untuk dapat secara objektif memisahkan pertanggungjawaban lembaga perbankan dan kebijakan pemerintah untuk mencegah dan mengantisipasi efek global dari krisis keuangan dunia.

Harapan besar masyarakat Indonesia kini dalam upaya penyehatan iklim perbankan nasional mutatis mutandis ekonomi nasional terletak pada profesionalisme dan integritas pimpinan OJK yang dapat dipertahankan secara konsisten, dengan tidak membawa kultur birokrasi gaya BI dahulu dalam mengawasi dan mengambil tindakan terhadap beberapa lembaga perbankan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar