Apa Bedanya
Century dan BLBI?
Romli Atmasasmita ; Guru
Besar Emeritus Unpad
|
MEDIA
INDONESIA, 21 November 2012
“Penyimpangan penggunaan dana bailout dapat dicegah jika sejak
diusulkan kebijakan tersebut pemerintah telah terbuka dan secara transparan
membahas dengan DPR RI secara tuntas tanpa ada upaya untuk
`berselingkuh'."
JIKA upaya untuk membuka
tabir gelap kasus BLBI sejak mencuatnya kasus BLBI sampai saat ini disimak,
kini KPK jilid III telah mengambil langkah berani dengan meningkatkan
penyelidikan ke tahap penyidikan dan sudah tentu menetapkan tersangkanya.
Upaya itu telah pernah dilakukan masa Antasari pada KPK jilid II sekitar
2006. Namun, upaya tersebut gagal karena yang bersangkutan telah telanjur
ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan yang tidak pernah dilakukannya,
dan kini telah dijadikan terpidana.
Selain sebab tersebut, langkah KPK jilid II
gagal karena Kejaksaan Agung telah terburuburu mengeluarkan SP3 terhadap
tersangka kasus BLBI, tetapi masyarakat mencurigai SP3 dikeluarkan tanpa
dasar hukum yang kuat. Beberapa minggu kemudian, KPK bahkan telah menangkap
dan menahan UTG, eks jaksa pada Kejaksaan Agung, karena menerima sejumlah
uang dari ART kepercayaan SYN, buron BLBI.
Jika dibandingkan dengandana bailout BLBI
dengan dana bailout Bank Century, ternyata BLBI menghabiskan dana sekitar
Rp600 triliun, sedangkan dana Century menghabiskan sekitar Rp6 triliun. Oleh
karena itu, tidaklah fair dan sangat menusuk perasaan keadilan rakyat jika
Century diungkap tuntas, tetapi BLBI dilupakan. Padahal, penderitaan rakyat
terus-menerus tidak berhenti karena beban utang dana
bailout tetap menjadi
tanggungan APBN setiap tahunnya.
Di sisi lain, utang dana bailout berikut bunga
sampai saat ini belum dilunasi para obligor yang kini masih bebas berkeliaran
dan buron di negara lain. Kita semua tentu sangat heran dan tampak transparan
perilaku pimpinan dan elite bangsa ini, termasuk di Senayan, yang memilih
kasus BLBI ditutup rapat-rapat, tetapi diskriminatif terhadap kasus Century.
Pengamat ekonomi UGM, Awan Santosa, menyatakan
penambahan jumlah APBN tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi karena
anggaran terlalu banyak tersedot untuk pengeluaran yang menzalimi rakyat,
seperti pembayaran bunga utang maupun obligasi rekap eks BLBI. Selanjutnya
Awan menyatakan tanpa keberanian dan ketegasan pemerintah menuntaskan skandal
BLBI, pertumbuhan riil justru akan negatif dan defisit perdagangan makin
melebar karena kebutuhan impor untuk pangan dan industri yang sangat besar (Koran Jakarta, 19 November 2012).
Penulis setuju dengan pendapat ahli ekonomi
UGM tersebut dan dari aspek hukum, kesediaan dan kewajiban negara menanggung
beban akibat bailout (BLBI dan Century) merupakan beban sepanjang tahun yang
menimbulkan akibat hukum, yaitu negara sangat dirugikan bukan karena
kebijakan bailout, melainkan karena penyalahgunaan dana itu. Dana bailout
digunakan bukan untuk kepentingan penyelamatan nasabah, melainkan untuk
kepentingan pribadi para obligor.
Perbuatan para obligor jelas dan terang
benderang merupakan dan termasuk tindak pidana korupsi yang sepatutnya
dituntut ancaman hukuman mati.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan
ubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 karena dilakukan dalam masa krisis
ekonomi nasional serta akibat penyimpangan dana bailout tersebut negara
dililit utang yang semakin tinggi. Pada gilirannya itu menghambat tujuan
mencapai kesejahteraan 250 juta rakyat Indonesia.
Jika merujuk ke audit BPK RI 2006 terhadap
dana bailout BLBI, telah ditemukan banyak penyimpangan dana bailout BLBI;
begitu pula jika merujuk audit investigatif BPK RI 2009 terhadap dana bail
out Century, ditemukan penyimpangan yang berindikasi tindak pidana. Dua
peristiwa penting dalam sejarah perbankan di Indonesia dalam kurun waktu 11
tahun membuktikan pola korupsi keuangan negara melalui perbankan merupakan
satu-satunya tindak pidana korupsi yang relatif aman jika dibandingkan dengan
suap dan me-mark up dana proyek.
Tindakan tersebut terlindung oleh kebijakan nasional dengan tujuan mencegah
dan mengatasi dampak sistemis terhadap iklim keuangan dan perbankan nasional.
Selain itu, dalam ekonomi internasional juga
nasional terutama di era globalisasi, selalu dipromo ikan bahwa perbankan
merupakan tulang punggung beker janya mesin pemba ngunan negara-negara maju
dan berkem dan berkembang. Jadi, kebijakan apa pun yang dilakukan pemerintah
mealui perbankan kan membuat keengganan atau keraguan bagi penegak hukum
untuk memulai penyelidikan ataupun penyidikan karena akan menyentuh proses
pengambilan kebijakan pemerintah itu sendiri mutatis mutandis menyentuh pusat
kekuasaan.
Penyimpangan penggunaan dana bailout dapat
dicegah jika sejak diusulkan kebijakan tersebut pemerintah telah terbuka dan
secara transparan membahas dengan DPR RI secara tuntas tanpa ada upaya untuk
`berselingkuh'. Jadi, pengambilan kebijakan tersebut dapat
dipertanggungjawabkan baik secara politis, hukum, maupun secara ekonomi.
Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini merupakan solusi alternatif
saat ini yang dipandang tepat untuk dapat secara objektif memisahkan
pertanggungjawaban lembaga perbankan dan kebijakan pemerintah untuk mencegah
dan mengantisipasi efek global dari krisis keuangan dunia.
Harapan besar masyarakat
Indonesia kini dalam upaya penyehatan iklim perbankan nasional mutatis
mutandis ekonomi nasional terletak pada profesionalisme dan integritas
pimpinan OJK yang dapat dipertahankan secara konsisten, dengan tidak membawa
kultur birokrasi gaya BI dahulu dalam mengawasi dan mengambil tindakan
terhadap beberapa lembaga perbankan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar