Agenda Boikot
Israel
Yusuf Wibisono ; Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan
Bisnis Syariah FEUI
|
REPUBLIKA,
21 November 2012
Agresi brutal
Israel terhadap Gaza dalam sepekan terakhir, kembali menoreh luka bagi
Palestina. Setiap kali duka Palestina terbuncah, setiap kali itu pula dunia
mengutuk Israel. Lebih enam dekade berlalu, namun kebijakan dan sikap
penjajah Israel tidak berubah sedikit pun.
Berbagai
respons masyarakat dunia terhadap kejahatan Israel umumnya temporer,
pragmatis-jangka pendek, dan retoris, yang cenderung tidak efektif dan tidak
mampu mengubah situasi secara signifikan. Di antara sedikit pilihan respons
yang signifikan dan efektif adalah boikot ekonomi.
Gerakan
Boycott, Divestment and Sanctions
(BDS) atau Palestinian Civil Society
Call for Boycott, Divestment and Sanctions diluncurkan tahun 2005, yang
berjuang untuk melawan kolonisasi, penjajajahan, dan Apartheid yang dilakukan
Israel di Palestina. Gerakan ini serupa dengan Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel
(PACBI) yang diluncurkan setahun sebelumnya.
Pada 29 April
2012, gerakan BDS mulai menuai kemenangan ketika ja- ringan supermarket
terbesar kelima di Inggris, Co-operative
Group (Co-op), mengumumkan kebijakan bahwa mereka tidak lagi menjual
produk yang berasal dari permukiman ilegal Israel di Tepi Barat. Co-op
menjadi grup supermarket besar pertama di Eropa yang melakukan boikot
tersebut.
Dan yang
mengejutkan, pada 27 September 2012, dari Markas PBB di New York, Indonesia
melalui Menlu Marty Natalegawa secara luar biasa dan sangat lugas menyerukan
boikot terhadap seluruh produk yang dihasilkan di wilayah pendudukan Israel.
Seruan Indonesia ini merupakan penegasan dari sikap Komite Pembebasan
Palestina Gerakan Non-Blok.
Berbagai
peristiwa di atas menumbuhkan asa terhentinya penjajahan atas Palestina.
Logika gerakan BDS adalah melakukan tekanan, bukan diplomasi, persuasi, atau
dialog. Strategi diplomasi untuk mencapai hak-hak asasi manusia terbukti
sia-sia karena Israel menikmati proteksi dan imunitas hegemoni kekuatan
dunia.
Perspektif
ekonomi-politik Boikot dapat dipandang sebagai etika dan moral dalam
konsumsi. Tidak ada keputusan pembelian dan investasi yang tidak berimplikasi
pada pilihan moral dan etika tertentu. Dan, sistem pasar semestinya
merefleksikan moralitas dari masyarakatnya. Keputusan membeli dan konsumsi
tidak hanya didasarkan pada kriteria harga berbasis utility semata, tetapi juga kriteria moral dalam seluruh
aktivitas produksi.
Kriteria moral
ini merupakan bagian dari arus besar perpindahan dari commodity markets ke service
economy, tempat seluruh aktivitas ekonomi dipandang sebagai value chain dan untuk setiap rantai
itu konsumen harus turut bertanggung jawab. Dalam perspektif kapitalisme
kontemporer, inilah yang disebut sebagai konsumerisme yang beretika (ethical consumerism). Membeli
adalah cara yang paling jelas bagi konsumen dalam mengekspresikan pilihan
moral mereka.
Kasus terbaik
boikot adalah boikot terhadap rezim Apartheid Afrika Selatan.
Sanksi ekonomi terhadap Afrika Selatan mengambil tiga bentuk, yaitu boikot produk ekspor Afrika Selatan, embargo minyak, dan divestasi investasi asing di Afrika Selatan. Boikot dimulai tahun 1973 ketika sejumlah bank asing memperketat kredit dan sejumlah perusahaan menutup aktivitasnya di Afrika Selatan, dan berpuncak pada pertengahan 1980-an ketika negara-negara utama Eropa, Kanada, Jepang, dan Amerika Serikat secara resmi memboikot Afrika Selatan. Pada 1990, Apartheid berakhir. Seluruh sanksi ekonomi dicabut ketika Nelson Mandela terpilih sebagai presiden pada 1994.
Hal krusial di
sini adalah bagaimana menerjemahkan boikot menjadi sebuah perubahan
kebijakan. Mengelola boikot Agar tidak berhenti pada tataran wacana,
boikot harus direncanakan dan dikelola secara efektif dan
berkelanjutan.
Sejarah
menunjukkan, mengelola boikot adalah tidak mudah. Boikot terhadap Israel
telah dideklarasikan Liga Arab sejak 1945. Primary boycott, boikot ekonomi terhadap Israel dan warga negaranya,
diluncurkan tak lama setelah Perang Arab-Israel 1948.
Pada 1950, Liga
Arab memperluas boikot dengan meluncurkan secondary
boycott, boikot terhadap pihak non-Israel yang dipandang berkontribusi
secara signifikan pada kekuatan ekonomi dan militer Israel. Untuk
mengoordinasi gerakan boikot ini, Liga Arab mendirikan Central Boycott Office (CBO) di Damaskus pada 1951. Pada 1954,
Liga Arab menambah panjang daftar boikot dengan mengeluarkan tertiary boycott, boikot terhadap
pihak yang berhubungan dengan mereka yang masuk dalam blacklist di secondary
boycott.
Namun, seiring
waktu, boikot Liga Arab ini melemah. Mesir menjadi yang pertama meninggalkan
boikot pada 1980, diikuti Yordania pada 1995. Pada 1994, beberapa negara
Teluk menghapus secondary dan tertiary boycott. Kini, hampir seluruh
negara Arab tidak lagi menerapkan secondary
dan tertiary boycott.
Apakah kini
boikot Israel mungkin untuk dilakukan secara global? Keputusan untuk
berpartisipasi dalam sebuah gerakan boikot ditentukan oleh persepsi publik
akan probabilitas keberhasilan boikot dan biaya yang mereka tanggung akibat
boikot. Persepsi konsumen terhadap keberhasilan boikot ditentukan oleh
kombinasi dari ekspektasi mereka terhadap tingkat partisipasi publik secara
keseluruhan dan kerangka pesan yang disampaikan. Pengelola dan aktivis proboikot
harus secara masif menyampaikan pesan-pesan boikot yang elegan dan
rasional.
Sedangkan
biaya yang ditanggung konsumen ditentukan oleh preferensi mereka terhadap
produk yang diboikot dan akses mereka terhadap produk substitusi. Maka itu,
menjadi penting untuk berfokus pada beberapa produk "prioritas"
yang akan diboikot sebagai representasi boikot (partial boycott). Di saat yang sama, harus ada upaya sistematis
untuk memproduksi barang-barang substitusi dari produk yang
diboikot. Pada saat yang sama, dibutuhkan upaya besar untuk membangun
ekspektasi bahwa boikot akan dilakukan oleh publik secara luas sehingga akan
menimbulkan dampak besar. Sebagai negara Islam terbesar di dunia, boikot
Israel oleh Indonesia akan banyak berarti bagi perjuangan Palestina. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar