Dusta Hambalang
Arif Susanto, Pengajar di Universitas Paramadina, Jakarta
KOMPAS,
03 November 2012
Kasus korupsi proyek
Hambalang merupakan ujian terhadap akuntabilitas kekuasaan negara. Tabir telah
menghalangi publik mengetahui penyelesaian hukumnya.
Patut dikhawatirkan bahwa
berahasia menjadi karakter penyelenggara negara. Sementara itu, seiring dengan
merebaknya korupsi, publik menghendaki agar dusta tidak merupakan modus
operasional kekuasaan nega- ra. Penuntasan kasus korupsi proyek Hambalang akan menegaskan
komitmen penguasa pada perwujudan negara yang bersih.
Penjaga Rahasia Kejahatan
Deddy Kusdinar, mantan
Kepala Biro Perencanaan dan Orga- nisasi Kementerian Pemuda dan Olahraga,
merasa aneh bahwa hanya dirinya yang dijadikan tersangka dalam kasus korupsi
proyek Hambalang (Kompas, 16/10). Jika Deddy tak sendiri, siapa saja yang
diuntungkan dalam manipulasi proyek Hambalang yang nilainya menggelembung
hingga Rp 2,4 triliun itu? Siapa pula da- lang utama perampokan uang ne- gara
itu?
Bukan perkara mudah
mengungkap fakta tersembunyi itu sebab para koruptor bersekongkol merahasiakan
kejahatan-kejaha- tan mereka. Bila persekongkolan tersebut berhasil, rahasia
itu akan terkubur di luar dunia nyata: hanya diketahui oleh mereka yang menjaga
rahasia dengan baik. Dengan sifatnya yang tertutup, rahasia mengungkung kebe-
basan, membuat pilihan tindakan seseorang menjadi terbatas.
Indikasi adanya intervensi
terhadap laporan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan tentang proyek
Hambalang yang dikemukakan anggota BPK, Taufiequrachman Ruki, merupakan bentuk
pengungkungan kebebasan semacam itu. Indikasi yang kemudian direduksi menjadi
sekadar persoalan silap lidah itu, saya pikir, menunjukkan bahwa Ruki sendiri
bahkan tak leluasa mengemukakan yang ia tahu.
Ketika rahasia merajai,
negara diselubungi misteri, dan publik hidup dalam pertanyaan-pertanyaan.
Pertanyaan kita, apakah sebagian penyelenggara negara telah menjadi penjaga
rahasia kejahatan? Benarkah ada intervensi terhadap BPK? Sungguhkah Komisi
Pemberantasan Korupsi bertindak independen dalam menangani kasus korupsi proyek
Hambalang? Tiadanya jawaban pasti untuk pertanyaan-pertanyaan itu merupakan
pertanda bahwa rahasia merupakan suatu karakter penyelenggaraan negara saat
ini.
Mirip kehidupan suatu
organisasi rahasia, negara kini diliputi tabir yang menghalangi publik
mengetahui penyelesaian hukum kasus korupsi proyek Hambalang. Sejumlah rumor,
bahkan fitnah, berembus dari berbagai penjuru tanpa kejelasan. Dalam kungkungan
rahasia, publik sungguh kesulitan membedakan mana fakta mana dusta.
Meski rahasia itu tidak
terkait langsung dengan kejahatan, sesungguhnya kejahatan itu terkait langsung
dengan rahasia (Simmel, 1950:331). Sebagai tindakan tidak bermoral, kejahatan
ko- rupsi menyembunyikan diri untuk alasan-alasan yang jelas. Sulit
membayangkan koruptor terbuka mengungkapkan kebobrokan moralnya. Dalam berbagai
kasus, koruptor bahkan mencitrakan diri religius, sopan, terpelajar, dan taat
hukum demi merahasiakan kejahatan mereka.
Dengan berahasia, imoralitas
kejahatan berusaha dibungkus rapat di luar dunia nyata oleh para pelakunya.
Sebagaimana ditunjukkan Simmel, rahasia memang merupakan suatu ekspresi
sosiologis keburukan moral.
Pengkhianatan akan Kepercayaan
Berbeda dengan organisasi
rahasia, negara demokratis menyelenggarakan kekuasaan secara transparan.
Berlawanan dengan ketertutupan, kepublikan justru menuntut keterbukaan.
Transparansi akan memastikan kontrol publik atas penyelenggaraan kekuasaan
negara. Kontrol yang kuat akan mendorong pertanggungjawaban kekuasaan. Pada
gilirannya, kekuasaan yang akuntabel memiliki legitimasi yang kukuh.
Para penyelenggara negara
mesti memahami bahwa semakin keras mereka berusaha menutupi fakta dari
pengetahuan publik, semakin besar keraguan terhadap akuntabilitas kekuasaan mereka.
Kasus korupsi proyek Hambalang merupakan ujian nyata bagi akuntabilitas
tersebut.
Jika para pemegang kekuasaan
berusaha melindungi pelaku korupsi, niscaya terdapat cacat moral dalam
kekuasaan mereka. Sebaliknya, jika seluruh komponen kekuasaan mampu
menyelenggarakan kehidupan negara secara penuh tanggung jawab, niscaya
legitimasi kekuasaan mereka semakin kuat.
Cukup sering bahwa para
penjaga rahasia terperosok menjadi pendusta demi membatasi pengetahuan publik.
Kebenaran sengaja disamarkan. Jika perlu, dimunculkan fakta rekaan untuk
mengecoh publik. Dalam kasus ini, kalkulasi tentang konsekuensi terbukanya
persekongkolan korupsi membuat sebagian orang memilih berdusta menutupi
rahasia.
Meski demikian, terdapat dua
kemungkinan pada rahasia: bahaya eksternal bahwa rahasia itu akan terbongkar
berkelindan dengan bahaya internal bahwa seseorang akan mengungkapkannya.
Terbongkarnya suatu rahasia kejahatan, dengan begitu, tidak selalu karena
pengkhianatan para kolaborator. Kegigihan para penegak hukum dapat saja menguak
suatu rahasia kejahatan. Ini berarti, pengungkapan kasus korupsi proyek
Hambalang lebih menuntut keahlian dan kesungguhan para penegak hukum ketimbang
kerelaan saksi dan terdakwa mengungkapkan fakta.
Sesungguhnya dusta berdampak
signifikan dalam kehidupan negara. Bagaimana tidak, publik mengamanatkan
kekuasaan negara kepada para pejabat dengan suatu pengandaian bahwa mereka
layak dipercaya. Kepercayaan bahwa publik tidak dikhianati kiranya membuat
kehidupan berjalan normal dan baik. Tidaklah perlu, misalnya, setiap orang
memastikan setiap saat bahwa seluruh pejabat publik tidak berdusta dan korup.
Namun, pengkhianatan akan
kepercayaan oleh para pejabat korup berakibat nyata dan meluas. Bangunan milik
publik runtuh bahkan sebelum sempat digunakan. Kemiskinan menggejala di tengah
berlimpahnya sumber daya. Ketimpangan meluas karena kesempatan sosial
terhambat, dan seterusnya.
Dampak korupsi, sebagai
suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan publik, tidak terbatas pada mereka
yang terkait langsung. Korupsi menggerogoti kemanfaatan publik, korupsi
mendustakan amanat kekuasaan.
Bagaimana apabila suatu
negara dikelola dengan penuh dusta? Dusta tidak mungkin dijadikan landasan
beroperasinya suatu kekuasaan negara. Jika ucapan tidak sejalan dengan tindakan,
dan tindakan dikosongkan dari maknanya untuk kemanfaatan publik, tiada
keabsahan bagi kekuasaan negara semacam itu. Patut disadari bahwa legitimasi
ditentukan lebih oleh komitmen pada pengelolaan kekuasaan negara secara jujur
ketimbang sekadar citra bersih suatu pemerintahan.
Simmel (1950:316)
mengingatkan, ”Betapa pun dusta kerap menghancurkan suatu relasi, sejauh relasi
itu ada, dusta merupakan unsur yang melekat di dalamnya.” Peringatan itu mesti
menguatkan komitmen kekuasaan pada perwujudan suatu negara yang jujur, bukan
malah mewajarkan dusta demi menutupi rahasia persekongkolan korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar