Si Tukang Peras Anggaran
Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
KOMPAS,
03 November 2012
DPR sekali lagi digoyang isu
tak sedap. Ada anggotanya yang diduga sebagai oknum pemeras badan usaha milik
negara.
Awalnya, Sekretaris Kabinet
Dipo Alam menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-542/Seskab/ IX/2012 perihal
Pengawalan APBN 2013-2014 dengan Mencegah Praktik Kongkalikong. Hal yang sangat
jelas menginginkan dihentikannya praktik persekongkolan dalam pembahasan dan
pengelolaan uang negara.
Tak lama berselang, Menteri
BUMN Dahlan Iskan menyerukan agar direksi BUMN tidak ”main mata” dengan anggota
DPR. Seperti efek domino, setelah surat edaran Seskab serta seruan Menteri
BUMN, inisial nama politisi Senayan yang disangka sering memeras BUMN beredar
melalui pesan berantai.
Beberapa anggota DPR yang
kebetulan berinisial nama sama dengan isi SMS berantai itu kebakaran jenggot.
Mereka meminta Dahlan Iskan menjelaskan dengan terang siapa si pemilik inisial.
Badan Kehormatan DPR juga berencana memanggil Menteri BUMN terkait desas-desus
si anggota dewan pemeras.
Sebetulnya tak sulit meramal
maujudnya tukang peras dari Senayan, khususnya dalam pembahasan anggaran.
Mereka eksis. Kasus korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah
(DPID) mungkin bisa menjelaskan kehadiran si tukang peras. Juga bisa mengiaskan
bagaimana pemerasan berlangsung.
Salah satu hasil pemeriksaan
KPK menyebut ada simbol dan warna tertentu dalam pembahasan anggaran untuk
pengembangan daerah. Partai politik yang disebut dalam inisial, minus Partai
Gerindra, semua masuk dalam simbol dan warna pembahasan anggaran DPID. Wa Ode
Nurhayati, terdakwa yang sudah dihukum dalam kasus itu, seperti mengonfirmasi
simbol dan warna dimaksud. Dia menyatakan dalam eksepsinya, semua daerah calon
penerima dana sudah ditentukan besaran potongannya.
Namun, menyangka oknum si
tukang peras hanya ada di DPR sepertinya tak adil. Pemerintah patut dicurigai
pula. Pembahasan anggaran dilakukan oleh dua pihak, DPR dan pemerintah.
Pemerasan terjadi kemungkinan
karena tiga hal. Pertama, syahwat korup lembaga perwakilan membuncah setiap
dimulai bahasan soal duit.
Kedua, pemerintah sendiri
yang menyediakan diri, membuka jalur korupsi. Kalau benar-benar dari dulu
diperas, kenapa tidak memboikot?
Ketiga, DPR dan pemerintah
sama korupnya. Korupsi dihasilkan dari pertukaran mandat antara pemegang
politik dan pemegang kekuasaan administratif. Kekuasaan dan pengaruh mereka
diturunkan dalam kebijakan yang sewenang-wenang dan merugikan (John Girling, Corruption, Capitalism, and
Democracy).
Katakanlah info yang sedang
beredar adalah perilaku korup para anggota dewan, tetapi juga tak boleh
dilupakan pemerintah juga kerap berkorupsi. Bahkan, menyediakan diri agar
disuap. Kasus korupsi suap pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang bisa
jadi tamsilnya.
Langkah Pembersihan
Artinya, kalau mau
membersihkan kotoran korupsi, mengusir si tukang peras anggaran, DPR dan
pemerintah, harus segera dibersihkan.
Langkah pertama, Menteri
BUMN Dahlan Iskan dalam waktu dekat harus menjelaskan kepada publik siapa si
empunya inisial itu. Kalaupun tidak, memberikan keterangan ke penegak hukum
adalah seminimal-minimalnya penjelasan. Namun, agaknya pilihan untuk
menjelaskan kepada masyarakat lebih cocok diambil mengingat keterangan itu akan
jadi pertimbangan bagi rakyat untuk tidak salah pilih di pemilihan umum.
Sekaligus sebagai vonis politik bagi partai nakal pelindung si tukang peras.
Kemudian, DPR dan partai
politik tidak boleh tutup mata. Jika nama terang sudah muncul, sanksi tegas
harus diambil. Memberhentikan sementara merupakan cara konkret untuk memudahkan
pemeriksaan. Pengalaman pemberhentian Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan anggota
DPR lain yang lambat merupakan contoh buruk tidak tegasnya sikap pimpinan DPR
ataupun petinggi partai politik.
AF Pollard menyinggung
sejarah lembaga perwakilan dalam karyanya, The Evolution of Parliament (1926).
Bahwa, lembaga perwakilan bisa menjadi the preventive of revolution as well as
the promoter of reform. Ini saat yang tepat bagi DPR menunjukkan sejatinya
lembaga perwakilan, jadi inisiator perubahan republik ke arah lebih baik. Jika
senoktah noda anggota bermasalah tak dibersihkan, tak diberi sanksi, DPR akan
cenderung mengarah ke institusi gagal.
Sikap tegas DPR dan partai
politik mesti diimbangi dengan sikap pemerintah. Presiden juga perlu terus
konsisten mendorong pemberantasan korupsi di internal pemerintah. Dalam hal
ini, relevan membicarakan pengubahan surat edaran Sekretaris Kabinet dengan
meningkatkannya menjadi peraturan pemerintah. Setidaknya, baju hukum peraturan
pemerintah akan memiliki kekuatan hukum lebih dari sekadar surat edaran.
Terakhir, sapu koruptor ada
di tangan penegak hukum. Institusi hukum pemberantas korupsi tidak boleh
terjebak dalam intervensi kekuasaan politik. Begitu pula sebaliknya, kekuasaan
politik tidak boleh mengobok-obok kinerja institusi hukum. Termasuk pada bagian
ini, koordinasi antarpenegak hukum dan menghindari cekcok antarpenegak hukum
menjadi ”rukun iman” pemberantasan korupsi.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar