Kompleksitas Konflik Lampung
Firman Noor, Peneliti Politik LIPI
KOMPAS,
03 November 2012
Munculnya berbagai kasus
kerusuhan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa potensi konflik tak
segera selesai dengan terbukanya keran demokratisasi. Dalam konteks Indonesia,
Baladas Goshal (2004) telah memperingatkan, terlepas sisi positif yang
dibawanya, demokratisasi juga memberikan peluang bagi meluasnya potensi
konflik.
Belum lama ini konflik besar
kembali terjadi. Kali ini menimpa Lampung Selatan, tepatnya di wilayah
Kalianda. Dalam kasus ini, soal pelecehan seksual yang diduga sebagai pemicu
konflik, yang telah menelan belasan korban jiwa ini, sebenarnya hanyalah puncak
dari gunung es.
Dilihat dari akar
penyebabnya, kasus Lampung—dalam batas-batas tertentu— dapat dikatakan bersifat
klasik. Di dalamnya melibatkan tipe konflik yang bernuansa primordial, yang
mengingatkan kita pada konflik yang terjadi di Sampit, Sambas, Kalbar, dan
sejumlah daerah pascareformasi. Meski sebagian kalangan melihat konflik
antarkampung di Lampung ini tak terkait masalah etnisitas, mengabaikan faktor
ini juga kurang tepat. Hal ini mengingat secara kasat mata pihak-pihak yang
berkonflik memiliki keterkaitan kuat dengan kedua etnis yang terlibat, yakni
etnis Lampung dan Bali.
Sejak kehadirannya, etnis
Bali—berbeda dengan orang Jawa—dipandang membawa persoalan tersendiri bagi
sebagian masyarakat Lampung. Gugus persoalan ini mencakup ”legitimasi
kehadiran” masyarakat Bali yang dipandang masih bermasalah karena menempati
wilayah yang belum sepenuhnya diizinkan ataupun karena perbedaan adat kebiasaan
dan agama. Kenyataan pula bahwa kedua etnis relatif hidup terpisah dalam nuansa
yang eksklusif (enclave). Tidak
mengherankan jika kedua etnis itu kerap masih merasa asing satu dan lainnya.
Hal ini terjadi terutama di Lampung Selatan dan Lampung Utara.
Meski secara kultural
sebenarnya kedua etnis itu memiliki kearifan lokal yang dapat diandalkan untuk
menciptakan kerukunan dan mencegah konflik, tetapi dalam berbagai kasus konflik
terlihat bahwa kearifan lokal itu seolah sirna.
Masyarakat Lampung punya
kearifan lokal berupa Piil Pesenggiri (Piil), yang di dalamnya terkait soal
kehormatan diri yang muncul karena kemampuan mengolah kedewasaan berpikir dan
berperilaku. Di sini kemampuan hidup berdampingan dengan berbagai kalangan,
termasuk pendatang, merupakan
salah satu inti ajaran Piil itu. Begitu juga masyarakat Bali dengan ajaran
Bhinneka Tunggal Ika, Tatwam Asi
(kamu adalah aku dan aku adalah kamu) dan Salunglung Sabayantaka, yang mengajarkan
demikian dalam arti penting hidup berdampingan secara damai.
Situasi di Lampung ini
cerminan bahwa nilai-nilai kearifan lokal makin terpinggirkan. Setidaknya
mengalami pergeseran makna. Konsep Piil, misalnya, mengalami penyempitan makna
sekadar membela harga diri. Alih-alih dikaitkan keharusan kedewasaan
berperilaku, masalah ”kehormatan diri” justru jadi alasan pembenaran untuk
menempuh cara apa pun sejauh itu dianggap dapat menjaga harga diri. Sementara
respons dari kalangan Bali menunjukkan bahwa nilai-nilai kedamaian dan
toleransi yang dianut juga tidak mampu bekerja dengan sempurna.
Tentu saja, persoalan
primordial ini tidak berdiri sendirian. Dalam kasus Lampung, persoalan ini
berkelindan dengan kenyataan adanya disparitas ekonomi, yang bagi sementara
kalangan sudah makin terlihat nyata. Kaum pendatang, terutama Bali, merupakan
komunitas yang cukup sejahtera, sementara etnis Lampung tidak cukup baik
kondisinya sebagai ”tuan rumah”. Di sini, persoalan klasik kecemburuan sosial
antara ”pribumi” dengan ”pendatang” telah cukup membutakan akal sehat dan
menjadi rumput kering yang berpotensi membara manakala menemukan pemantiknya.
Di mana Negara?
Lepas dari itu, kasus
kerusuhan Lampung ini sebenarnya dapat segera tertanggulangi dengan baik jika
aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian, dapat memainkan peran yang lebih
signifikan. Sebagai institusi yang menetapkan peran preventif (pencegahan)
sebagai bagian tugas pokoknya, kepolisian seharusnya sejak dini dapat
mendeteksi dan mengantisipasi potensi apa yang akan terjadi ke depan.
Dengan sederet institusi
pelengkap untuk mendeteksi segenap potensi negatif yang ada di masyarakat,
kepolisian jelas salah satu institusi yang seharusnya dapat memimpin dalam
soal-soal yang terkait dengan keresahan masyarakat. Apalagi kenyataan bahwa
kasus Lampung terakhir ini bukanlah kasus yang benar-benar baru sebab memiliki
preseden di awal tahun ini yang cukup terang benderang.
Namun, justru di sinilah
letak persoalan lain dari kasus Lampung—juga berbagai kasus konflik horizontal
akar rumput lainnya—di mana peran aparat keamanan terlihat demikian kedodoran.
Dengan demikian, tidak aneh jika kemudian masyarakat mempertanyakan kualitas
SDM, efektivitas strategi atau bahkan komitmen dari aparat keamanan kita.
Persoalan lain adalah sikap
pemerintah, khususnya pemerintah daerah, yang masih memercayakan kemampuan
masyarakat dan tokoh-tokohnya dalam menyelesaikan persoalan konflik secara
mandiri. Dalam hal ini resolusi konflik sebenarnya belum terlembaga secara
memadai. Untuk itu, diperlukan upaya membentuk dan merevitalisasi
lembaga-lembaga, baik adat maupun pemerintahan, yang terkait dengan persoalan
primordial itu secara lebih serius. Tujuan utamanya jelas agar potensi konflik
yang melibatkan unsur etnis dapat menemukan jalur penyelesaian secara lebih
cepat, berkeadilan, dan komprehensif.
Solusi jangka pendek adalah
segera menyelesaikan persoalan itu secara tepat, dengan sesedikit mungkin
menimbulkan resistensi dari kalangan yang terlibat. Di sini diperlukan kerja
sama banyak pihak. Tidak saja dari kalangan masyarakat, tokoh-tokoh, ataupun
ormas, tetapi juga aparat dan pemerintah, termasuk pengadilan. Dalam perspektif
manajemen resolusi konflik pihak ketiga, dalam hal ini pengadilan atau
institusi yang dipercaya dapat memainkan peran itu, memainkan peran yang amat
krusial. Kegagalan pada level ini kerap akan cenderung memberikan preseden
negatif dan memperburuk situasi.
Dalam konteks jangka
menengah, solusi yang mungkin adalah memperbaiki kinerja dan profesionalisme
aparat keamanan agar dapat lebih sensitif dan efektif mencegah serta
menyelesaikan rangkaian konflik sejak dini. Dibutuhkan pula sebuah desain besar
dan pelembagaan pencegahan dan penyelesaian konflik yang lebih kontekstual
dengan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dan masyarakat di dalamnya.
Dalam konteks jangka
panjang, jelaslah bahwa persoalan segregasi primordial dan disparitas ekonomi
yang selalu jadi biang keladi kemunculan konflik harus dapat direduksi
semaksimal mungkin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar