Demografi dan
Upah
Razali Ritonga ; Direktur
Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI
|
REPUBLIKA,
31 Oktober 2012
Perjuangan
untuk menuntut kenaikan upah minimum tampaknya terus dilakukan buruh dalam
berbagai kesempatan. Pasalnya, upah minimum yang ditetapkan, dinilai masih
jauh dari layak. Hal ini, antara lain, terdeteksi dari pencermatan berbagai
ukuran kesejahteraan terhadap besarnya upah. Bahkan, besarnya upah minimum di
masa mendatang diperkirakan kian tak pasti (uncertain). Hal ini berkaitan dengan tingginya laju pertambahan
penduduk usia produktif yang diperkirakan tak sejalan dengan peningkatan
kualitasnya.
Posisi
upah buruh Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, penetapan upah minimum,
antara lain, diatur dalam Pasal 88 dan Pasal 89. Pasal 88 menjelaskan bahwa
pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak, dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Adapun pengertian
kebutuhan hidup layak (KHL) adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh
seorang buruh lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun, untuk dapat
hidup layak, baik secara fisik, nonfisik, dan sosial, untuk kebutuhan satu
bulan.
Selanjutnya,
dalam pasal 89 dijelaskan bahwa upah minimum diarahkan untuk pencapaian
kebutuhan hidup layak, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan
rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan/atau bupati/
wali kota. Namun, celakanya, meski pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kondisi yang cukup stabil tinggi, dengan rata-rata di atas enam persen, hal itu belum memberikan dampak besar bagi upah minimum. Bahkan, penetapan upah minimum belum memenuhi ketentuan undang-undang untuk hidup layak.
Pada
2011, misalnya, besarnya upah minimum secara nasional baru mencapai 88 persen
dari KHL. Meski besarnya upah minimum secara agregat berada di atas garis
kemiskinan namun secara per kapita berada di bawah garis kemiskinan.
Tercatat, upah minimum secara nasional pada 2011 adalah sebesar Rp 988.829
per bulan, sedangkan garis kemiskinan sebesar Rp 233.740 per bulan.
Selanjutnya,
besarnya upah minimum per kapita sebesar Rp 214.019 per bulan.
Secara umum, besarnya upah minimum berada jauh di bawah pengeluaran per kapita dari seluruh masyarakat. Tercatat, pengeluaran masyarakat per kapita adalah sebesar Rp 593. 664 per bulan. Fakta ini sekaligus mengisyaratkan bah wa kesejahteraan buruh umumnya jauh lebih rendah dari kesejahteraan masyarakat.
Rendahnya
kesejahteraan buruh pada gilirannya akan menyebabkan beban bagi pemerintah,
terutama untuk meningkatkan derajat kesehatan buruh serta pendidikan dan
kesehatan anggota keluarganya, agar terhindar dari jeratan kemiskinan.
Bonus Demografi
Bahkan,
besarnya upah minimum di masa mendatang kian menunjukkan ketidakpastian.
Perkiraan ini didasarkan atas kenyataan bahwa jumlah angkatan kerja akan
terus meningkat sehingga kian menurunkan posisi tawar mereka dalam pasar
tenaga kerja.
Turunnya
angka kelahiran dari masa lalu dan meningkatnya derajat kesehatan penduduk
menyebabkan menciutnya proporsi penduduk muda usia kurang dari 15 tahun dan
membengkaknya pro porsi penduduk produktif usia 15-64 tahun.
Sementara, proporsi penduduk tua yang berusia 65 tahun ke atas belum begitu meningkat drastis.
Perubahan
komposisi penduduk itu sebenarnya merupakan bonus karena kian banyaknya
penduduk yang dapat dilibatkan dalam kegiatan ekonomi. Semakin banyak
penduduk yang terlibat dalam kegiatan ekonomi, semakin besar produktivitas
yang dihasilkan dan semakin berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Cina,
misalnya, menikmati tambahan kontribusi sekitar 30 persen pertumbuhan ekonomi
dari bonus demografinya. Ini berarti dari rata-rata sekitar sembilan persen
pertumbuhan ekonomi Cina, sekitar tiga persennya berasal dari kon tribusi
bonus demografi (Zhang Monan, 2012).
Adapun
salah satu aspek yang mendasari kesuksesan Cina dalam memanfaatkan bonus
demografinya adalah faktor upah murah. Dengan upah murah, biaya produksi
dapat ditekan sehingga dapat menghasilkan produk murah. Kondisi demikian pada
gilirannya dapat meningkatkan daya saing Cina dalam perdagangan global.
Namun,
meski Indonesia akan mengalami bonus demografi seperti halnya Cina, tidak
mudah bagi kita untuk meniru kesuksesan negeri Tirai Bambu itu. Pasalnya,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Indonesia tidak mengadopsi upah
murah. Celakanya, meski tidak mengadopsi upah murah, belum ada upaya serius
dari pemerintah dalam mengahadapi era bonus demografi itu. Padahal, era bonus
demografi di Tanah Air kini tengah bergulir dan akan berakhir pada 1950.
Adapun
puncak bonus demografi di Indonesia diperkirakan terjadi pada 2025, sementara
puncak bonus demografi Cina diperkirakan terjadi pada 2015.
Sebenarnya, kita boleh saja menghindari upah murah, tapi sepatutnya hal itu diiringi dengan upaya untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja. Sebab, dengan kualitas penduduk meningkat, skala ekonomi dapat diperluas dan upah tenaga kerja dapat ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan tuntutan era globalisasi yang mengedepankan daya saing yang bisa ditempuh melalui peningkatan kapabilitas tenaga kerja.
Disadari
memang tidak mudah bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja
di Tanah Air, minimal dalam dua dekade mendatang. Hal ini didasarkan atas
fakta rendahnya kualitas tenaga kerja pada saat ini. Hasil Sakernas (survei
angkatan kerja nasional) Mei 2012, misalnya, menunjukkan bahwa sekitar 55,85
persen penduduk yang bekerja adalah berpendidikan sekolah dasar atau kurang. Atas
dasar itu, diperlukan perjuangan keras dari kita semua untuk meningkatkan
kualitas penduduk melalui pen di dikan agar posisi tawar tenaga kerja dalam
penentuan upah minimum meningkat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar