Nalar Reduksi
Bibliolateri
Asep Salahudin ; Dekan di
IAILM Tasikmalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Oktober 2012
DALAM kehidupan sehari-hari, baik se bagai individu atau
pun bagian dari masyarakat dan bangsa, kita acap kali dihinggapi berbagai masalah.
Dalam penyelesaiannya, tidak sedikit yang dilakukan ialah jalan reduksi:
bukan pikiran kita yang diperluas untuk melihat hal ihwal dari berbagai sudut
pandang, melainkan masalah itu dipaksakan agar masuk ke pikiran kita baik
dengan cara penafsiran parsial (sepotong-sepotong) ataupun karena diacukan ke
haluan kepentingan kita. Hal seperti itulah yang disebut dengan bibliolateri.
Ada sebuah cerita, seperti ditulis Jusuf Sutanto yang
menggambarkan bibliolateri (2004), tentang seorang pasien di rumah sakit jiwa
menemui dokter jaga. Sang pasien berkata, “Dokter, kan saya sudah mati.“
Dokter berusaha meyakinkan bahwa si pasien itu masih hidup, tapi ia tetap
menyangkal. Sang dokter berkata, “Baiklah, orang mati tidak mengeluarkan
darah karena beku.“ Lalu dengan sigap ia menusukkan jarum ke tangannya dan
ketika melihat darah segar menetes, ia berkata, “Oh, kalau begitu saya
keliru, orang mati ternyata darahnya mengalir.“
Tentu lewat bibliolateri, alih-alih akan terpecahkan
secara komprehensif, masalah itu justru semakin kusut masai. Karena pemecahan
tidak ditata dengan cara yang benar dan holistis, dicarikan akar persoalannya
dengan tuntas dan jernih, akhirnya masalah semakin membesar. Biasanya kalau
sudah besar, masalah itu sulit dibenahi.
Orang arif sering memberikan petuah, sebelum menjadi besar
dihentikan sejak awal. Dalam makna positif diteguhkan bahwa memperbaiki yang
besar tidak mungkin kalau yang kecil diabaikan. Kecil kemungkinan terwujud
negara yang sejahtera kalau miniatur dari negara itu (keluarga) justru
`perang' setiap saat. Bagaimana dapat memiliki DPR yang jujur dan amanah
seandainya partainya sendiri menjadi sarang penyamun?
Persis yang dahulu dinasihatkan Konfusius, “Orang zaman
dahulu yang hendak memperbaiki dunia, ia lebih dahulu mengatur negerinya. Untuk
mengatur negerinya, ia lebih dahulu membereskan rumah tangganya. Untuk membereskan
rumah tangganya, ia lebih dahulu membina dirinya. Untuk membina dirinya, ia
lebih dahulu meluruskan hatinya. Untuk meluruskan hatinya, ia lebih dahulu
memantapkan tekadnya. Untuk memantapkan tekadnya, ia lebih dahulu mencukupkan
pengetahuannya dan untuk mencukupkan pengetahuannya ia meneliti hakikat
setiap perkara. Dengan meneliti hakikat tiap perkara, cukuplah
pengetahuannya. Dengan cukup pengetahuannya, ia dapat memantapkan tekadnya.
Dengan memantapkan tekadnya, ia dapat meluruskan hatinya.
Dengan hati yang lurus, akan dapat membina dirinya
sehingga dapat membereskan rumah tangganya dan setelah itu mengatur negaranya
sehingga tercapailah damai di dunia. Karena itu, dari raja sampai rakyat
jelata, ada satu kewajiban yang sama, yaitu mengutamakan pembinaan diri
sebagai pokok. Adapun dari pokok yang kacau itu tidak pernah dihasilkan
penyelesaian yang teratur baik, karena hal itu seumpama: menipiskan benda
yang seharusnya tebal dan menebalkan benda yang seharusnya tipis.
Sesungguhnya, untuk memperoleh kegemilangan, itu hanya bergantung pada usaha
orang itu sendiri.“
Fenomena Hari Ini
Praktiknya, kita sering, dalam kearifan perenial Sunda ngarawu ku siku, ingin berbicara yang
besar, global, dan universal, sedangkan yang mikro dan kecil diabaikan. Akhirnya
semua menjadi tidak selesai, teu kaditu teu kadieu, ngabuntut bangkong.
Fenomena itulah yang terjadi hari ini. Orang akhirnya
lebih terampil mengkritik orang lain, sedangkan dirinya sendiri justru banyak
menyimpan masalah yang tidak kalah aibnya. Ia sibuk berbicara ke luar dan
tidak pernah merefleksikan ke dalam. Dengan riang menertawakan yang `lain',
padahal sesungguhnya seluruh tindakan kita layak ditertawakan yang lain itu.
Fenomena itulah yang pada gilirannya telah menjebak kita
dalam situasi yang penuh dengan ambiguitas, paradoksal, dan serbaaneh. Coba
kita tengok, bagaimana ceritanya t bangsa yang menempatkan kesadaran ilahiah
sebagai sila pertama (ketuhanan yang maha esa), tapi dalam praktiknya kita
sebagai masyarakat tak ubahnya dengan negara yang tidak memiliki keinsafan
ilahiah.
Korupsi yang menjamur, kekerasan yang terus dirayakan
untuk menuntaskan hal ihwal, kebohongan yang nyaris merata di semua kalangan,
absennya kejujuran dan ketimpangan yang kian menggila, serta kegaduhan ritus
formalistis yang abai terhadap pesan substantifnya merupakan alamat utama
dari ambiguitas bernegara, bermasyarakat, dan berpribadi itu.
Coba kita cermati apa yang tidak cacagnangkaeun hari ini?
Kasus hukum terutama yang menjerat para petinggi banyak yang tidak selesai
(hukum tidak membersitkan keadilan). Politisi yang dipilih secara langsung
ternyata tidak menjadi garansi hidup menjadi lebih santun. Ekonomi juga sama,
bukannya kesejahteraan yang didapatkan, melainkan kemiskinan yang kian
massal.
Pun keagamaan, realitasnya semarak upacara keagamaan tidak sebanding lurus dengan tegaknya etika sosial, dan masih banyak contoh lainnya.
Menata Pikiran
Intinya, itu tadi, bibliolateri. Untuk memecahkan masalah,
dicari akarnya dari luar, dipaksakan untuk masuk pikiran, bukan sebaliknya.
Itu persis perdebatan tentang orang buta ketika memegang gajah. Kesimpulannya
berbeda-beda, bukan salah dan gajahnya yang berbeda, melainkan persepsinya
berbeda karena yang dijadikan pegangan tidak sama.
Atau,
kisah ihwal dua anak sekolah yang bertengkar tentang apakah bendera yang
membuat angin tertiup atau angin tertiup yang melantarkan bendera berkibar.
Tentu yang benar ialah jawaban arif sang guru, “Bukan angin dan bukan
bendera, melainkan pikiranmu yang berkibar ke arah mana!“
Alhasil,
nalar reduksi bibliolateri: inilah akar
dari keterpurukan bangsa kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar