Kamis, 22 November 2012

Asimetri Informasi Direksi BUMN


Asimetri Informasi Direksi BUMN
Effnu Subiyanto ;  Aktivis, Peneliti, Pendiri Forum
Pengamat Kebijakan Publik (Forkep), Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
SUARA KARYA, 21 November 2012


Mencermati konflik Menteri BUMN Dahlan Iskan dan DPR soal dugaan pemerasan oleh anggota DPR kepada BUMN menguatkan dugaan bahwa ada pos anggaran 'simsalabim' APBN. Selama ini, BUMN yang terindikasi secara jelas menerima anggaran APBN adalah Pertamina dan PLN. Sedangkan BUMN lain yang menerima kucuran dana dari pajak rakyat ini secara samar-samar adalah BUMN pupuk. Aliran dana APBN ke BUMN tersebut berasal dari pos anggaran subsidi, misalnya, subsidi listrik dan BBM.
Sungguh aneh, mengapa BUMN seperti PT Garam, PAL atau Merpati bisa diperas oleh anggota DPR? Apa kepentingannya dan bagaimana asal-muasal para direksi BUMN yang diperas bisa berhubungan dengan anggota DPR? Secara normatif jika direksi BUMN bersinggungan dengan para senator tentu memiliki maksud, namun posisi anggota DPR tentu bersikap pasif.
Pada umumnya karena manajemen operasional BUMN Indonesia mengikuti hukum bisnis anglo saxon, maka BUMN dijalankan oleh direksi dan diawasi oleh dewan komisaris. Jadi, yang berinteraksi langsung dengan pengawasan BUMN sebetulnya dewan komisaris bukan anggota DPR. Produk hukum tertinggi BUMN tersebut adalah pada forum RUPS yang diselenggarakan setahun sekali, namun dalam kondisi khusus dapat menyelenggarakan forum RUPS Luar Biasa.
Kepentingan berhubungan dengan DPR bagi BUMN, misalnya, dalam rangka pendekatan informal agar agenda pada RUPS atau RUPSLB dapat berlangsung mulus tanpa ada pertanyaan mendasar yang dapat menggagalkan. Pada forum ini biasanya para direksi dan komisaris BUMN dibuat ketar-ketir karena dirinya dapat diganti apabila RUPS atau RUPSLB tidak menghendaki jabatannya diperpanjang.
Pada kasus lain, direksi BUMN melakukan kontak dengan anggota DPR karena rencana BUMN tersebut untuk melakukan ekspansi usaha. Penambahan aset pada strategi korporasi ini memang harus atas sepengetahuan DPR, karena dapat menyebabkan kekayaan negara atas BUMN terdilusi. Pada BUMN dengan empat kategori seperti dalam Pasal 77 UU BUMN No. 19/2003 sangat dilarang bagian kepemilikan negara berkurang.
Ciri-ciri BUMN yang berkepentingan agar kekayaan negara tidak terdilusi tidak ada pada BUMN PT Garam, PT PAL dan atau Merpati. BUMN tersebut secara bebas dapat melakukan aksi korporasi untuk pengembangan perusahaan dari sumber-sumber eksternal. Bahkan, negara akan sangat berterima kasih apabila BUMN tersebut dikuasai mayoritas swasta karena akan meringankan beban APBN.
Sudah menjadi rahasia umum dan sudah berlangsung lama bahwa BUMN kita menjadi ATM politisi dan pemerintah sendiri. Kini, setelah era reformasi, bahkan BUMN menjadi sandaran dan dianggap sinterklas bagi siapa saja. Dari pemerintah desa, pemkab, pemprov, pemerintah pusat, kementerian, TNI, polisi, politisi, LSM, pers, CSR, oknum internal BUMN tersebut dan bahkan serikat pekerja sendiri.
Pernyataan Menteri BUMN Dahlan Iskan (DI), akhir-akhir ini sebenarnya tidak sama sekali baru, bahkan ketika DI menjadi direktur utama PLN barangkali juga mengalaminya sendiri. Dari pandangan pimpinan BUMN yang melakukan kongkalikong ini, pola ini sebetulnya bukan disebut 'pemerasan' namun adalah 'perlindungan'. Sementara dari pihak DPR yang disebut DI melakukan pemerasan, juga bukan memeras, namun menerima 'uang kerja sama'. Terminologi masalah ini menjadi berbeda tergantung dari posisi mana masing-masing melihat dan apa motif di belakangnya.
Anggota DPR itu pun tidak akan mampu memberikan 'perlindungan' efektif seorang diri namun memerlukan partner lain yang memiliki pengaruh dan power lebih besar. 'Uang kerja sama' dari pimpinan BUMN itulah yang dijadikan alat bahasa kepada partner lain itu agar 'perlindungan' kepada pimpinan BUMN semakin efektif. Misalnya, agar tetap langgeng kedudukannya di BUMN dan atau terhindar sementara dari kejaran hukum karena persoalan tidak GCG dalam menjalankan operasional BUMN. Apakah ada 'perlindungan' terhadap status BUMN tersebut untuk kepentingan negara, sama sekali tidak. Perlindungan hanya ditujukan untuk pribadi pimpinan BUMN.
Tidak akan pernah ada terbersit dalam pikiran anggota DPR, misalnya, memberikan 'perlindungan' kepada BUMN atas semangat kebangsaan atau semangat nasional lainnya. Bagaimana memajukan BUMN dalam kancah persaingan global atau cinta produk dalam negeri, hanya ramai sebatas retorika atau upacara-upacara seremonial belaka.
Ini tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena pimpinan BUMN itu pun tidak akan pernah memikirkan BUMN yang dipimpinnya dalam skala jangka panjang. Hubungan BUMN dengan direksinya berakhir setiap lima tahun. Karena itu, sepanjang waktu itu hanya memikirkan bagaimana menumpuk benefit pribadi sebesar-besarnya.
Inilah bentuk konkrit dari teori asimetris antara prinsipal dan agen yang ditulis oleh Heizer dan Render (2006) dalam bukunya berjudul Operations Management. Akan selalu ada konflik kepentingan dari jajaran direksi karena dalam satu kesempatan harus mempertahankan dan meningkatkan kinerja BUMN yang dipimpinnya, sementara di pihak lain kebutuhan pribadinya juga harus disejahterakan sendiri.
Motif memajukan dan meningkatkan kinerja BUMN pun atas kepentingan untuk meningkatkan pendapatan direksi dan komisaris. Dalam proporsi yang tidak seimbang, pendapatan sisa itu kembali ke pekerja dalam bentuk insentif, masuk ke negara dalam bentuk pajak dan deviden dan mengalir kecil ke lingkungan dalam bentuk CSR. Jadi, yang diuntungkan adalah kepentingan BOD dan BOC pertama kali, sementara kesejahteraan stakeholders lainnya adalah prioritas berikutnya.
Inilah yang membuat mengapa BUMN Indonesia umumnya tidak mampu bertahan jangka panjang dan long-term. Sumber daya, baik SDA, SDM maupun sumber daya buatan (SDB) lainnya dimaksimalisasikan pada kepemimpinannya agar sebesar mungkin mendapat revenue besar dalam jangka pendek. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar