Asimetri
Informasi Direksi BUMN
Effnu Subiyanto ; Aktivis, Peneliti, Pendiri Forum
Pengamat
Kebijakan Publik (Forkep), Mahasiswa
Doktor Ekonomi Unair
|
SUARA
KARYA, 21 November 2012
Mencermati
konflik Menteri BUMN Dahlan Iskan dan DPR soal dugaan pemerasan oleh anggota
DPR kepada BUMN menguatkan dugaan bahwa ada pos anggaran 'simsalabim' APBN.
Selama ini, BUMN yang terindikasi secara jelas menerima anggaran APBN adalah
Pertamina dan PLN. Sedangkan BUMN lain yang menerima kucuran dana dari pajak
rakyat ini secara samar-samar adalah BUMN pupuk. Aliran dana APBN ke BUMN
tersebut berasal dari pos anggaran subsidi, misalnya, subsidi listrik dan
BBM.
Sungguh
aneh, mengapa BUMN seperti PT Garam, PAL atau Merpati bisa diperas oleh
anggota DPR? Apa kepentingannya dan bagaimana asal-muasal para direksi BUMN
yang diperas bisa berhubungan dengan anggota DPR? Secara normatif jika
direksi BUMN bersinggungan dengan para senator tentu memiliki maksud, namun
posisi anggota DPR tentu bersikap pasif.
Pada
umumnya karena manajemen operasional BUMN Indonesia mengikuti hukum bisnis
anglo saxon, maka BUMN dijalankan oleh direksi dan diawasi oleh dewan
komisaris. Jadi, yang berinteraksi langsung dengan pengawasan BUMN sebetulnya
dewan komisaris bukan anggota DPR. Produk hukum tertinggi BUMN tersebut
adalah pada forum RUPS yang diselenggarakan setahun sekali, namun dalam
kondisi khusus dapat menyelenggarakan forum RUPS Luar Biasa.
Kepentingan
berhubungan dengan DPR bagi BUMN, misalnya, dalam rangka pendekatan informal
agar agenda pada RUPS atau RUPSLB dapat berlangsung mulus tanpa ada
pertanyaan mendasar yang dapat menggagalkan. Pada forum ini biasanya para
direksi dan komisaris BUMN dibuat ketar-ketir karena dirinya dapat diganti
apabila RUPS atau RUPSLB tidak menghendaki jabatannya diperpanjang.
Pada
kasus lain, direksi BUMN melakukan kontak dengan anggota DPR karena rencana
BUMN tersebut untuk melakukan ekspansi usaha. Penambahan aset pada strategi
korporasi ini memang harus atas sepengetahuan DPR, karena dapat menyebabkan
kekayaan negara atas BUMN terdilusi. Pada BUMN dengan empat kategori seperti
dalam Pasal 77 UU BUMN No. 19/2003 sangat dilarang bagian kepemilikan negara
berkurang.
Ciri-ciri
BUMN yang berkepentingan agar kekayaan negara tidak terdilusi tidak ada pada
BUMN PT Garam, PT PAL dan atau Merpati. BUMN tersebut secara bebas dapat
melakukan aksi korporasi untuk pengembangan perusahaan dari sumber-sumber
eksternal. Bahkan, negara akan sangat berterima kasih apabila BUMN tersebut
dikuasai mayoritas swasta karena akan meringankan beban APBN.
Sudah
menjadi rahasia umum dan sudah berlangsung lama bahwa BUMN kita menjadi ATM
politisi dan pemerintah sendiri. Kini, setelah era reformasi, bahkan BUMN
menjadi sandaran dan dianggap sinterklas bagi siapa saja. Dari pemerintah
desa, pemkab, pemprov, pemerintah pusat, kementerian, TNI, polisi, politisi,
LSM, pers, CSR, oknum internal BUMN tersebut dan bahkan serikat pekerja
sendiri.
Pernyataan
Menteri BUMN Dahlan Iskan (DI), akhir-akhir ini sebenarnya tidak sama sekali
baru, bahkan ketika DI menjadi direktur utama PLN barangkali juga
mengalaminya sendiri. Dari pandangan pimpinan BUMN yang melakukan
kongkalikong ini, pola ini sebetulnya bukan disebut 'pemerasan' namun adalah
'perlindungan'. Sementara dari pihak DPR yang disebut DI melakukan pemerasan,
juga bukan memeras, namun menerima 'uang kerja sama'. Terminologi masalah ini
menjadi berbeda tergantung dari posisi mana masing-masing melihat dan apa
motif di belakangnya.
Anggota
DPR itu pun tidak akan mampu memberikan 'perlindungan' efektif seorang diri
namun memerlukan partner lain yang memiliki pengaruh dan power lebih besar.
'Uang kerja sama' dari pimpinan BUMN itulah yang dijadikan alat bahasa kepada
partner lain itu agar 'perlindungan' kepada pimpinan BUMN semakin efektif.
Misalnya, agar tetap langgeng kedudukannya di BUMN dan atau terhindar
sementara dari kejaran hukum karena persoalan tidak GCG dalam menjalankan
operasional BUMN. Apakah ada 'perlindungan' terhadap status BUMN tersebut
untuk kepentingan negara, sama sekali tidak. Perlindungan hanya ditujukan
untuk pribadi pimpinan BUMN.
Tidak
akan pernah ada terbersit dalam pikiran anggota DPR, misalnya, memberikan
'perlindungan' kepada BUMN atas semangat kebangsaan atau semangat nasional
lainnya. Bagaimana memajukan BUMN dalam kancah persaingan global atau cinta
produk dalam negeri, hanya ramai sebatas retorika atau upacara-upacara
seremonial belaka.
Ini
tidak sepenuhnya bisa disalahkan karena pimpinan BUMN itu pun tidak akan
pernah memikirkan BUMN yang dipimpinnya dalam skala jangka panjang. Hubungan
BUMN dengan direksinya berakhir setiap lima tahun. Karena itu, sepanjang
waktu itu hanya memikirkan bagaimana menumpuk benefit pribadi
sebesar-besarnya.
Inilah
bentuk konkrit dari teori asimetris antara prinsipal dan agen yang ditulis
oleh Heizer dan Render (2006) dalam bukunya berjudul Operations Management. Akan selalu ada konflik kepentingan dari
jajaran direksi karena dalam satu kesempatan harus mempertahankan dan meningkatkan
kinerja BUMN yang dipimpinnya, sementara di pihak lain kebutuhan pribadinya
juga harus disejahterakan sendiri.
Motif
memajukan dan meningkatkan kinerja BUMN pun atas kepentingan untuk
meningkatkan pendapatan direksi dan komisaris. Dalam proporsi yang tidak
seimbang, pendapatan sisa itu kembali ke pekerja dalam bentuk insentif, masuk
ke negara dalam bentuk pajak dan deviden dan mengalir kecil ke lingkungan
dalam bentuk CSR. Jadi, yang diuntungkan adalah kepentingan BOD dan BOC
pertama kali, sementara kesejahteraan stakeholders
lainnya adalah prioritas berikutnya.
Inilah yang membuat
mengapa BUMN Indonesia umumnya tidak mampu bertahan jangka panjang dan long-term. Sumber daya, baik SDA, SDM
maupun sumber daya buatan (SDB) lainnya dimaksimalisasikan pada
kepemimpinannya agar sebesar mungkin mendapat revenue besar dalam jangka pendek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar