Menantang
Dahlan Iskan
Tulus Santoso ; Direktur Kajian Kebangsaan Syndicate
Indonesia for Transformation (Syndrom UI) |
SUARA
KARYA, 21 November 2012
Belakangan,
Menteri BUMN Dahlan Iskan ramai berkicau di media massa ihwal dugaan
banyaknya anggota DPR yang kerap meminta upeti kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Masa reses para wakil rakyat di Senayan pun diwarnai rasa
penasaran khalayak, mengenai siapa-siapa saja anggota dewan yang dimaksudkan
oleh juragan Jawa Pos Grup tersebut.
Reaksi
pun bermunculan, sejumlah politisi Senayan kebakaran jenggot. Wakil Ketua
Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon sempat
menyerang balik dengan mengatakan kalau Dahlan Iskan pernah melakukan
inefisiensi sebesar Rp 37 triliun sewaktu memimpin PT PLN. Namun, rupanya
khalayak berdiri tegak di belakang Pak Menteri.
Badan
Kehormatan (BK) DPR pun akhirnya mengagendakan pemanggilan terhadap Dahlan
Iskan pada Senin (5/11) lalu untuk mengklarifikasi pernyataan Dahlan Iskan di
media massa. Publik tampaknya begitu menantikannya dengan rasa penasaran
semakin membuncah, siapa sebenarnya 10 nama yang sudah dikantongi oleh
Menteri BUMN tersebut?
Namun,
kedatangan Dahlan Iskan ke DPR tersebut telah meruntuhkan kepercayaan publik
terhadapnya. Alih-alih menyebutkan 10 nama anggota DPR yang terlibat
pemerasan, pria nyentrik tersebut hanya menyerahkan dua nama kepada BK DPR.
Dahlan Iskan disebut hanya bertutur kepada anggota BK, tanpa menyertakan bukti-bukti.
Publik
pun bertanya, apakah Dahlan Iskan berbohong, atau takut? yang menjadi menarik
kemudian adalah karena dua nama yang disebut, yaitu IL dan SM berasal dari
Partai Golkar dan PDIP. Golkar diketahui sering membelot terhadap koalisi
pemerintah, sedangkan PDIP merupakan fraksi di DPR yang selalu mengkritisi
kebijakan Pemerintah SBY. Pertemuan dua jam dengan BK pun berakhir dengan
antiklimaks. Wartawan dan khalayak hanya disuguhi oleh keterangan pers yang
pastinya kurang memuaskan.
Pantas
saja, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membiarkan 'kicauan' Dahlan
Iskan ini, karena partainya ternyata tidak diobok-obok oleh menterinya itu.
Di sisi lain, muncul anggapan bahwa Dahlan Iskan tidak mau merusak
reputasinya karena temuan BPK yang menyatakan Dahlan melakukan inefisiensi
selama menjabat Dirut PLN. Belum lagi, disebut-sebut petinggi di sejumlah
BUMN merupakan orang-orang Dahlan sewaktu di Jawa Pos. Jika benar, tentu
sangat disayangkan karena ada kesan rakyat terus-menerus disuguhi politik
pencitraan ala Dahlan.
Dahlan
yang sudah puluhan tahun menjadi wartawan, tampaknya memang tahu betul apa
yang dikehendaki oleh media massa untuk diolah menjadi berita. Tindak
tanduknya sewaktu menjadi pejabat pun memang begitu seksi bagi media. Aksi
koboy-nya di pintu tol yang akhirnya membuatnya malu sendiri karena
menggratiskan pengguna jalan tol yang dikelola oleh swasta, tak urung
menghentikan tingkahnya yang genit.
Keuntungan
Dahlan adalah kegenitannya tersebut difasilitasi oleh Jawa Pos Grup seantero
Indonesia. Berita yang menyangkut bos-nya itu, terutama yang dinilai positif
di mata publik tak pernah luput dari tiap halaman di lembaran media yang
digawanginya. Jawa Pos Grup, dan media massa lainnya kini menjadi tools bagi
Dahlan untuk menaikkan bargain position-nya. Namun lebih tepatnya, relasi
Dahlan dan media lebih kepada simbiosis mutualisme, karena celoteh Dahlan
adalah berita besar.
Hal
ini memang tidak salah, itu merupakan kekuatan dan kelebihan Dahlan Iskan
untuk mendongkrak pamornya. Tapi rasanya, rakyat sudah paham betul dengan
praktik politik pencitraan. Masyarakat Indonesia pun tampaknya sudah merasa
lelah setelah hampir 10 tahun dininabobokan oleh pencitraan pemimpinnya.
Dhus, sudah saatnya pejabat bertindak konkret, bukan hanya memoles citra di media.
Sudah
saatnya Dahlan Iskan melakukan langkah konkret apabila memang ingin menaikkan
pamornya dan ada niat untuk dilirik partai politik dalam kontestasi Pilpres
2014 mendatang. Jika memang ingin mengabdi kepada rakyat sebaiknya jangan
hanya Omdo (Omong Doang). Bila memang dirinya gerah dengan praktik korupsi,
pemerasan, ada lembaga negara seperti polisi, kejaksaan, serta KPK yang siap
untuk menuntaskannya.
Terkait
dengan kicauannya lebih kurang di media massa soal oknum DPR yang kerap
memeras BUMN, sejatinya tak perlu digembar-gemborkan. Apalagi hal itu sudah
menjadi rahasia umum bahwa praktik persekongkolan antara eksekutif dengan
legislatif memang seringkali terjadi.
Tak
ada bedanya Dahlan dengan elite lainnya, termasuk Presiden SBY bila hanya
bisa mengeluh. Dahlan akan berbeda bila dia berani melaporkan dan
mengungkapnya kepada KPK kalau ada penyimpangan dalam pengelolaan uang
rakyat.
BK
masih memberikan waktu lebih kurang seminggu untuk melengkapi data-data oknum
DPR yang dituding memeras BUMN. Akhirnya, setelah ramai media menghujat
Dahlan, Rabu lalu (7/11/12) menteri yang kerap melempar senyum itu kembali
menyerahkan lima nama anggota DPR yang diduga memeras BUMN. Penulis tentu
mengapresiasi langkah tersebut, tetapi semoga nama yang disebutkan bukan
sebuah kompromi ditataran elite.
Setelah
ini, semoga Dahlan menjadi lebih berani untuk menyambangi KPK. Karena tindak
pemerasan ataupun korupsi, tempat pengaduannya adalah KPK, bukan kepada BK.
Keberanian untuk melaporkan, tak hanya penyimpangan oleh lembaga lain, tetapi
berbagai penyimpangan yang ada di lembaganya sendiri, tentu akan membuat
Dahlan mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat Indonesia.
Bila kebenaran yang
diperjuangkan, percayalah, berbagai pihak tentu mendukung, dan rakyat akan
membentuk barisan membentengi. Sebaliknya, bila salah melangkah, berlaku
pepatah, mulutmu adalah harimaumu, akan merengkah kepalamu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar