Kamis, 22 November 2012

Bara di Jalur Gaza


Bara di Jalur Gaza
Ismatillah A Nu’ad ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 21 November 2012


JALUR Gaza diserang pesawat tempur Israel maka kerusakan fasilitas publik dan korban warga sipil tak dapat dielakkan lagi, bahkan anak-anak tak berdosa pun ikut tewas. PM Benjamin Netanyahu menyebut serangan dilakukan karena empat prajurit Israel diserang kelompok garis keras non-Hamas yang berjumlah kecil di perbatasan Israel-Jalur Gaza. Proposisi korban tak sebanding, dengan Palestina selalu menjadi pihak yang dirugikan, merupakan pemandangan umum atas perang tak berkesudahan Israel-Palestina.

Presiden Mesir Muhammad Mursi mengecam peristiwa serangan ke Gaza. Hubungan Israel-Mesir memang tegang serta memanas, sejak dua negara sepakat berdamai pada 1979. Selama mantan Presiden Hosni Mubarak berkuasa, hubungan Mesir-Israel cen derung mesra. Namun, sejak Mursi berkuasa, hubungan kembali memanas. Kecaman Mursi pada Israel dibalas pernyataan Menhan Israel Ehud Barak, bahwa Israel berjanji mengirim 30 ribu pasukan ke Jalur Gaza jika Mesir membantu milisi Palestina.

Selama ini, provokasi dari Israel selalu dilancarkan, misalnya, soal permukiman Yahudi (Jews settlement). Dalam pernyataannya Presiden Abbas mengatakan, “There will be no peace deal with Israel unless the Jewish state stops settlement construction in areas the Palestinians claim for their future state.“ Tidak akan ada perjanjian damai dengan Israel kecuali negara Yahudi itu berhenti membangun permukiman di wilayah Palestina yang diklaim untuk masa depan negara mereka.

Di Tepi Barat saja, misalnya, yang merupakan tempat ting gal sekitar 2,5 juta warga Palestina, permukiman Yahudi di sana telah meningkat lebih dari d dua kali lipat sejak pertengahan n 1990-an dan kini telah mencapai sekitar 300 ribu jiwa. Perunding senior PLO, Saeb Erekat, dalam wawancara di harian al-Ahram, 1 dari 5 koran harian terbesar Timur Tengah yang terbit di Inggris, tegas-tegas menyebutkan Palestina tetap berpegang teguh bahwa perjanjian damai hanya bisa dimulai jika Israel membekukan semua jenis pembangunan permu kiman Yahudi baik di Tepi Barat maupun di Jerusalem Timur. Sikap tegas yang merupakan harga mati itu didukung pula oleh Presiden Mesir Hosni Mubarak dan Sekjen Liga Arab, Amr Mousa.

Sejumlah analis pun skeptis terhadap perjanjian damai Israel-Palestina. Ethan Bronner, misalnya, kolumnis di The New York Times yang menulis di bawah judul Low Expectations May Be Helpful for Mideast Talks. Bronner menyebut alasan akan sulitnya mewujudkan perdamaian Israel-Palestina disebabkan `Israel wants to exempt East Jerusalem and existing projects; the Palestinians want no exceptions'. Karena keras sama keras soal masih eksisnya permukiman, tampaknya harapan terhadap segala perjanjian damai menjadi sangat rendah.

Sebetulnya, sikap saling keras itu masih terkait dengan akar teologis di antara kedua pihak, yakni soal teologi promised land. Bangsa Palestina atau Arab umumnya berpegang pada keyakinan bahwa Bani Israel sudah terusir dari tanah yang dijanjikan (tanah Palestina) akibat dosa mereka terhadap para nabi dari kalangan mereka sendiri (Deedat, 1997). Jadi, dari mulai saat terusir itulah, Bani Israel sudah tak punya hak lagi terhadap tanah Palestina.

Sementara itu sebaliknya, Bani Israel memegang keyakinan seperti dalam Kitab Perjanjian Lama, bahwa tanah Palestina adalah milik mereka yang dijanjikan Tuhan untuk bangsa pilihan. Bahkan kembalinya Bani Israel ke tanah suci mereka setelah diaspora, diyakini akan disertai banyak mukjizat. Saat itu, pembebasan bukan hanya untuk Bani Israel, melainkan juga untuk seluruh umat manusia (Rabbi Yisroel Dovid Weiss, Zionism and Judaism ­ Let Us Define Our Term, 2002).

Perdamaian dipersulit lagi dengan fenomena intifadah di kalangan pejuang Palestina. Seorang peneliti di Middle East Studies, Haim Baram, mencatat bahwa para mujahid di Palestina tak akan pernah sirna, mati satu tumbuh seribu, karena teologi intifadah akan terus tumbuh memasuki setiap relung sukma para generasi muda Palestina.

Sebaliknya, ketakutan Israel terhadap bayang-bayang intifadah telah membuyarkan akal sehat mereka sehingga akan melakukan apa pun dalam rangka memprevensi munculnya kekuatan-kekuatan intifadah. Atau bahkan bukan hanya membendung, melainkan jika bisa ingin membumihanguskan kekuatan itu. Namun, harapan tersebut tak pernah kunjung datang karena setiap kali ada kematian seorang unsur intifadah, justru akan muncul intifadah dan pejuang baru. Di situ, setiap kali ada kematian bukan malah membuat surut, melainkan justru membuat darah berkobar (Haim Baram, The Demons of Islam, 1994).

Ditambah dengan adanya seruan-seruan dari para ulama karismatik, semangat para unsur intifadah itu tak pernah padam. Dalam salah satu seruannya, misalnya, Dr Zaghlul al-Najari ketika diwawancara televisi Mesir, Iqra, menyangkut tindakan Israel terhadap Palestina, mengatakan, “Umat Islam, tak hanya orang Arab, wajib membantu rakyat Palestina dengan semua kemampuan yang dimilikinya. Jika memiliki kemampuan berjihad, berjihadlah. Jika memiliki kemampuan berpikir, bukukanlah gagasan-gagasannya. Jika memiliki kemampuan organisasi (gerakan), organisasikanlah. Jika memiliki materi, sedekahkanlah. Jika hanya bisa berdoa, berdoalah.“

Kini, kinerja pemerintahan Abbas yang menonjol membuat ia terkenal sebagai tokoh diplomatik yang disegani. Itulah mengapa semenjak Yasser Arafat masih memegang tampuk kekuasaan di Palestina, sebenarnya Mahmoud Abbas-lah yang memiliki peran besar (menjadi tokoh behind the scene) dalam setiap perjanjian-perjanjian damai di tingkat internasional. Kinerja Abbas yang luar biasa lainnya ialah lobi-lobi diplomasi-politiknya untuk mencari dukungan dengan negara-negara mayoritas Islam seperti Indonesia. Abbas memiliki kecakapan diplomatik. Ia juga bisa mengakomodasi segala kepentingan politik serta menyatukan rakyat Palestina dari keterbelahan dan diaspora. Wallahu `alam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar