Bara di Jalur Gaza
Ismatillah A Nu’ad ; Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas
Paramadina, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 21 November 2012
JALUR Gaza diserang pesawat tempur
Israel maka kerusakan fasilitas publik dan korban warga sipil tak dapat
dielakkan lagi, bahkan anak-anak tak berdosa pun ikut tewas. PM Benjamin
Netanyahu menyebut serangan dilakukan karena empat prajurit Israel diserang
kelompok garis keras non-Hamas yang berjumlah kecil di perbatasan
Israel-Jalur Gaza. Proposisi korban tak sebanding, dengan Palestina selalu
menjadi pihak yang dirugikan, merupakan pemandangan umum atas perang tak
berkesudahan Israel-Palestina.
Presiden Mesir Muhammad Mursi mengecam peristiwa serangan
ke Gaza. Hubungan Israel-Mesir memang tegang serta memanas, sejak dua negara
sepakat berdamai pada 1979. Selama mantan Presiden Hosni Mubarak berkuasa,
hubungan Mesir-Israel cen derung mesra. Namun, sejak Mursi berkuasa, hubungan
kembali memanas. Kecaman Mursi pada Israel dibalas pernyataan Menhan Israel
Ehud Barak, bahwa Israel berjanji mengirim 30 ribu pasukan ke Jalur Gaza jika
Mesir membantu milisi Palestina.
Selama ini, provokasi dari Israel selalu dilancarkan,
misalnya, soal permukiman Yahudi (Jews settlement). Dalam pernyataannya
Presiden Abbas mengatakan, “There will
be no peace deal with Israel unless the Jewish state stops settlement
construction in areas the Palestinians claim for their future state.“
Tidak akan ada perjanjian damai dengan Israel kecuali negara Yahudi itu
berhenti membangun permukiman di wilayah Palestina yang diklaim untuk masa
depan negara mereka.
Di Tepi Barat saja, misalnya, yang merupakan tempat ting
gal sekitar 2,5 juta warga Palestina, permukiman Yahudi di sana telah
meningkat lebih dari d dua kali lipat sejak pertengahan n 1990-an dan kini
telah mencapai sekitar 300 ribu jiwa. Perunding senior PLO, Saeb Erekat,
dalam wawancara di harian al-Ahram, 1 dari 5 koran harian terbesar Timur
Tengah yang terbit di Inggris, tegas-tegas menyebutkan Palestina tetap
berpegang teguh bahwa perjanjian damai hanya bisa dimulai jika Israel
membekukan semua jenis pembangunan permu kiman Yahudi baik di Tepi Barat
maupun di Jerusalem Timur. Sikap tegas yang merupakan harga mati itu didukung
pula oleh Presiden Mesir Hosni Mubarak dan Sekjen Liga Arab, Amr Mousa.
Sejumlah analis pun skeptis terhadap perjanjian damai
Israel-Palestina. Ethan Bronner, misalnya, kolumnis di The New York Times
yang menulis di bawah judul Low Expectations May Be Helpful for Mideast
Talks. Bronner menyebut alasan akan sulitnya mewujudkan perdamaian
Israel-Palestina disebabkan `Israel
wants to exempt East Jerusalem and existing projects; the Palestinians want
no exceptions'. Karena keras sama keras soal masih eksisnya permukiman,
tampaknya harapan terhadap segala perjanjian damai menjadi sangat rendah.
Sebetulnya, sikap saling keras itu masih terkait dengan
akar teologis di antara kedua pihak, yakni soal teologi promised land. Bangsa Palestina atau Arab umumnya berpegang pada
keyakinan bahwa Bani Israel sudah terusir dari tanah yang dijanjikan (tanah
Palestina) akibat dosa mereka terhadap para nabi dari kalangan mereka sendiri
(Deedat, 1997). Jadi, dari mulai saat terusir itulah, Bani Israel sudah tak
punya hak lagi terhadap tanah Palestina.
Sementara itu sebaliknya, Bani Israel memegang keyakinan
seperti dalam Kitab Perjanjian Lama, bahwa tanah Palestina adalah milik
mereka yang dijanjikan Tuhan untuk bangsa pilihan. Bahkan kembalinya Bani
Israel ke tanah suci mereka setelah diaspora, diyakini akan disertai banyak
mukjizat. Saat itu, pembebasan bukan hanya untuk Bani Israel, melainkan juga
untuk seluruh umat manusia (Rabbi
Yisroel Dovid Weiss, Zionism and
Judaism Let Us Define Our Term, 2002).
Perdamaian dipersulit lagi dengan fenomena intifadah di kalangan pejuang
Palestina. Seorang peneliti di Middle East Studies, Haim Baram, mencatat
bahwa para mujahid di Palestina tak akan pernah sirna, mati satu tumbuh
seribu, karena teologi intifadah akan terus tumbuh memasuki setiap relung
sukma para generasi muda Palestina.
Sebaliknya, ketakutan Israel terhadap bayang-bayang intifadah telah membuyarkan akal sehat
mereka sehingga akan melakukan apa pun dalam rangka memprevensi munculnya
kekuatan-kekuatan intifadah. Atau bahkan bukan hanya membendung, melainkan
jika bisa ingin membumihanguskan kekuatan itu. Namun, harapan tersebut tak
pernah kunjung datang karena setiap kali ada kematian seorang unsur intifadah, justru akan muncul
intifadah dan pejuang baru. Di situ, setiap kali ada kematian bukan malah
membuat surut, melainkan justru membuat darah berkobar (Haim Baram, The Demons of Islam, 1994).
Ditambah dengan adanya seruan-seruan dari para ulama
karismatik, semangat para unsur intifadah itu tak pernah padam. Dalam salah
satu seruannya, misalnya, Dr Zaghlul al-Najari ketika diwawancara televisi
Mesir, Iqra, menyangkut tindakan Israel terhadap Palestina, mengatakan, “Umat Islam, tak hanya orang Arab, wajib
membantu rakyat Palestina dengan semua kemampuan yang dimilikinya. Jika memiliki
kemampuan berjihad, berjihadlah. Jika memiliki kemampuan berpikir, bukukanlah
gagasan-gagasannya. Jika memiliki kemampuan organisasi (gerakan), organisasikanlah. Jika memiliki
materi, sedekahkanlah. Jika hanya bisa berdoa, berdoalah.“
Kini, kinerja pemerintahan Abbas yang
menonjol membuat ia terkenal sebagai tokoh diplomatik yang disegani. Itulah
mengapa semenjak Yasser Arafat masih memegang tampuk kekuasaan di Palestina,
sebenarnya Mahmoud Abbas-lah yang memiliki peran besar (menjadi tokoh behind the scene) dalam setiap
perjanjian-perjanjian damai di tingkat internasional. Kinerja Abbas yang luar
biasa lainnya ialah lobi-lobi diplomasi-politiknya untuk mencari dukungan
dengan negara-negara mayoritas Islam seperti Indonesia. Abbas memiliki
kecakapan diplomatik. Ia juga bisa mengakomodasi segala kepentingan politik
serta menyatukan rakyat Palestina dari keterbelahan dan diaspora. Wallahu `alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar