Rabu, 10 Oktober 2012

Transmisikan Pasar Modal ke Sektor Riil


Transmisikan Pasar Modal ke Sektor Riil
A Prasetyantoko ;  PhD Ilmu Ekonomi, Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta
SINDO, 10 Oktober 2012


Indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat berhasil mencatat rekor tertinggi dalam sejarah, yaitu ke level 4.300.Apakah faktor penyebabnya, seberapa tingkat keberlangsungannya, dan apa manfaatnya bagi perekonomian kita?

Mungkin itu sederet pertanyaan yang segera mengemuka. Ada beberapa faktor yang mendorong penguatan IHSG. Di antaranya keputusan Bank Sentral Eropa (ECB) tetap berkomitmen membeli obligasi dari negara-negara yang terserang krisis di kawasan Eropa. Sementara itu, dampak positif dari keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS),The Fed, yang mengeluarkan paket stimulus senilai USD40 miliar melalui quantitative easing jilid III juga masih terasa. Sektor riil AS juga dinilai memberikan dampak positif.

Jumlah pengangguran lebih rendah dibandingkan prediksi, sementara tingkat order pabrik meningkat tipis. Artinya, ada sinyal positif dari sektor riil. Karena itu,harapan para investor menguat, sehingga mereka terjun ke pasar dan menggairahkan bursa seluruh dunia.

Pasar Modal Kita

Pertanyaannya, mengapa optimisme di pasar global berpengaruh pada pasar modal kita? Pertama, perilaku para investor di seluruh dunia selalu bersifat oportunistik.Artinya, mereka akan mencari instrumen di pasar investasi yang memberikan imbal hasil paling baik.Kedua, pasar modal Indonesia termasuk dalam jajaran pasar modal dengan tingkat pengembalian tinggi.

Itulah mengapa skenario negara maju untuk keluar dari krisis dengan tetap mengandalkan pelonggaran likuiditas melalui pencetakan uang tidak akan efektif. Setiap kali terjadi pelonggaran moneter dan likuiditas mengalir, maka para investor akan berperilaku “carry trade”. Artinya, meminjam uang dalam bentuk mata uang dengan suku bunga rendah (dolar, euro dan yen) kemudian menginvestasikan dalam mata uang dengan imbal hasil tinggi (termasuk rupiah). Hal ini membuat pelonggaran likuiditas di negara maju tidak akan banyak memberikan dampak ungkit pada sektor riil di negara maju.

Bagaimana dampaknya terhadap pasar negara berkembang? Dalam situasi di mana pasar bergerak cepat dengan tingkat volatilitas tinggi, pasar negara berkembang pun tidak banyak menikmati aliran modal asing tersebut. Justru, akan meningkatkan risiko yang lebih besar, karena volatilitas pasar modal biasanya terkait dengan fluktuasi nilai tukar. Dengan demikian, naiknya IHSG pada level tertinggi dalam sejarah menyisakan satu pertanyaan penting.Akankah kenaikan tersebut memberi dampak positif bagi sektor riil kita,atau justru meningkatkan volatilitas pasar yang bisa mengganggu nilai tukar? Itu sangat tergantung pada bagaimana kita mengelola arus modal di pasar portofolio secara benar.

Sejauh pasar modal bisa dikendalikan fluktuasinya, setiap aliran modal asing masuk pasti memberi dampak positif.Apalagi jika masuk lewat pasar modal. Perusahaan yang mengalami penguatan nilai saham pasti menikmati tambahan modal yang memberi kesempatan bagi mereka untuk memperluas pengeluaran modal (capitalexpenditure), demi ekspansi industrinya.

Faktor Fundamental

Apa yang membuat aliran masuk modal jangka pendek tidak bergerak liar. Salah satunya adalah faktor fundamental ekonomi.Sejauh ini,posisi perekonomian Indonesia cukup kuat.Pertumbuhan di atas 6%, inflasi di bawah 5%,rasio utang sekitar 25% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Hanya, ada satu masalah yang bisa menjadi pintu masuk bagi instabilitas ekonomi. Posisi keseimbangan eksternal dilihat dari neraca pembayaran berpotensi mengalami pelemahan. Jika sampai terjadi defisit pada akhir tahun nanti,ituakansangatberbahaya bagi persepsi investor terhadap perekonomian Indonesia. Di lihat dari neraca perdagangan, memang sudah terjadi perbaikan, meski belum teruji tingkat keberlangsungannya. Nilai ekspor Agustus mencapai USD14,12 miliar dolar atau masih mengalami penurunan sebesar 12,27% dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Jika diukur dari bulan yang sama pada tahun sebelumnya (year-on-year), penurunan lebih drastis lagi, yaitu sekitar 24%. Penurunan ekspor nonmigas terbesar Agustus 2012 terjadi pada lemak dan minyak nabati sebesar USD666,3 juta. Dan menurut provinsi asal barang, ekspor terbesar berasal dari Kalimantan Timur, Jawa Barat dan Riau. Batu bara, minyak sawit,dan bahan olahan industri tampaknya menjadi faktor penting penurunan ekspor Indonesia.

Dari sisi impor, pada Agustus memang terjadi perlambatan cukup berarti dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu sekitar 15,21%. Namun bila dibandingkan Agustus tahun lalu, tetap terjadi kenaikan 10,28%. Dengan kata lain, laju impor tetap berada dalam tren meningkat, sementara ekspor terus tersungkur. Artinya, risiko terjadinya defisit neraca perdagangan sangat muncul terjadi.Memang defisit neraca perdagangan masih sangat mungkin tertutup oleh neraca jasa, sehingga transaksi berjalan tetap positif. Kalaupun transaksi berjalan (current account) defisit, neraca modal yang berisikan masuknya modal asing baik lewat pasar portofolio dan investasi asing (FDI) tetap tinggi.

Kemungkinan besar neraca pembayaran Indonesia (NPI) masih tetap akan surplus. Namun, seberapa besar surplus dan seberapa kuat menanggung beban untuk tetap jadi surplus.Itu adalah pertanyaan krusialnya. Dalam situasi neraca perdagangan dan transaksi berjalan berada pada risiko defisit, tetap mengandalkan neraca modal sebagai penentu bisa sangat berbahaya. Pasalnya, minat investor asing masuk ke Indonesia akan becermin pada seberapa kuat perekonomian Indonesia, salah satunya dari sudut perdagangan.

Jika ternyata investor tidak melihat kekuatan yang solid dari sudut pandang neraca perdagangan, bisa dipastikan investor cenderung menghindari Indonesia. Dan jika itu terjadi, akan sangat berbahaya karena rapor NPI bisa benar-benar negatif. Apakah yang bisa dilakukan sekarang? Meningkatkan kualitas neraca perdagangan mungkin salah satu kunci penting. Masalahnya, perdagangan tidak berdiri sendiri, melainkan tergantung pada berbagai faktor seperti daya saing perekonomian dan tidak menentunya perkembangan global.

Jika permintaan global terus menurun, tidak ada alasan untuk meningkatkan ekspor. Apalagi kita masih sangat tergantung pada pasarpasar tradisional. Untuk membuka akses pasar non-tradisional butuh dukungan yang kuat dari pemerintah. Sebenarnya, ada satu kebijakan yang bisa didorong untuk mengarahkan daya saing produk ekspor kita, yaitu strategi anggaran. Jika anggaran bisalebih ekspansifmenyokong beberapa sektor berorientasi ekspor, mungkin akan terjadi perbaikan daya saing di beberapa sektor terpilih.

Namun, harus berani mengorbankan subsidi,terutama bahan bakar minyak (BBM) yang sangat besar tersebut. Selain itu,mendorong pembangunan infrastruktur dan pembenahan birokrasi adalah syarat mutlak untuk bisa bersaing. Sebenarnya pemerintah bisa mengambil sikap progresif dengan mendorong perusahaan- perusahaan berbasis infrastruktur yang sebagian besar adalah BUMN melakukan right issue di pasar modal yang sedang booming. Dengan demikian, terjadi koneksitas antara naikan IHSG, ekspansi ekonomi, dan daya saing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar