Shadow
Education sebagai Bentuk Ketidakpercayaan
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Oktober 2012
PERTUMBUHAN ekonomi di Asia terbilang
menakjubkan dalam satu dekade terakhir. Namun sayangnya, pertumbuhan itu juga
dibarengi dengan meningkat dan meluasnya ketidakseimbangan di sektor lainnya.
Karena itu, pendidikan menjadi kata kunci utama dalam membangun keseimbangan
ekonomi, sosial, dan politik. Pilihan terhadap bentuk dan sistem pendidikan
yang inklusif, terbuka, dan menghargai kesempatan setiap orang ialah hal yang
imperatif bagi usaha memerangi iski nan dan kebodohan yang dapat menyebabkan
terjadinya ketidakseimbangan.
Sistem pendidikan yang baik setidaknya
ditandai dua hal, yaitu dapat memberi peluang kepada setiap individu secara
adil dan dari sudut pembiayaan juga efisien.
Dalam konteks Indonesia, memberi peluang
secara adil sering digunakan sebagai bahan bagi kampanye sekolah gratis yang
tidak menguntungkan dari segi kualitas. Dalam beberapa kasus, itu justru
menimbulkan inefisiensi karena sering kali pembiayaan pendidikan dibuat secara
sembrono dan pukul rata. Padahal, makna sejati equality of access ialah
terciptanya kesempatan bagi siapa saja untuk secara sehat berkontribusi di
bidang pendidikan.
Laporan Asian Development Bank (ADB) 2012
tentang maraknya praktik shadow education dicemaskan sebagai salah satu
isyarat ketidakberesan sistem pendidikan di negara-negara Asia. Shadow
education merupakan sejenis lembaga pendidikan seperti lembaga bimbingan belajar
atau private lesson yang bermunculan justru ketika sistem pendidikan tidak
inklusif dan pembiayaan pendidikan ditengarai kacau-balau. Shadow education
dikhawatirkan dapat menciptakan inefi siensi dan biaya tinggi di bidang
pendidikan.
Laporan Mark Bray dan Chad Lykins dalam Shadow
Education: Private Supplementary Tutoring and Its Implications for Policy
Makers in Asia (ADB: 2012) menyebutkan semakin banyak orangtua di
negara-negara Asia menghabiskan uang untuk pelajaran tambahan yang disediakan
pihak swasta, baik dalam bentuk private lesson maupun bimbingan belajar. Ada
banyak alasan mengapa shadow education terjadi--dengan kualitas pendidikan
yang rendah, salah satunya. Di beberapa negara seperti Hong Kong dan Korea,
tempat aturan tentang praktik jenis itu sangat ketat, shadow education bahkan
tetap terjadi dan peminatnya juga tinggi.
Di Korea, hampir 90% siswa sekolah dasar
paling tidak menerima mata ajar tambahan dalam praktik shadow education.
Sebanyak 85% siswa sekolah menengah pertama di Hong Kong juga melakukan hal
yang sama. Dalam jumlah yang lebih kecil, yaitu sekitar 65%, siswa sekolah
menengah pertama di India dan Kazakhstan juga memperoleh semacam private
supplementary tutoring itu. Data-data tersebut menunjukkan fenomena shadow
education menyebar secara merata dan intensif.
Di Indonesia sendiri, suka tidak suka, praktik
shadow education justru marak karena masyarakat seolah tidak percaya pada
sistem sekolah. Selain itu, shadow education muncul sebagai akibat logis,
salah satunya bermuasal dari kebijakan ujian nasional (UN). Fenomena itu, dalam
kerangka pembiayaan pendidikan, menjadikan para orangtua (masyarakat) seperti
berlomba-lomba mengha biskan dana pendidikan untuk pencapaian sebuah nilai, bukan
tujuan. Karena itu, memasukkan anak-anak mereka untuk mengikuti bimbingan
belajar dan memanggil guru les menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa
dihindari.
Temuan sangat menarik juga dikemukakan dalam
studi Nathan (2002) bahwa biaya terbesar yang dikeluarkan para orangtua dan
masyarakat dalam pendidikan anak-anak mereka ternyata bukan di sekolah,
melainkan di pusat-pusat bimbingan belajar yang mengajari anakanak kita
konsep drilling, serbainstan, fokus sesaat, dan disiplin untuk tujuan nilai
atau skor, bukan tujuan dasar pendidikan. Sudah saatnya biaya pendidikan
dialihkan menjadi spend money to support goals, not scores.
Dalam studi Elmore dan Fuhrman (2001) juga
ditemu kan, efek pe ngujian semacam UN hanya membuat para guru bekerja lebih
keras dan meluangkan waktu lebih banyak. Itu bukan untuk meningkatkan mutu
proses belajar-mengajar, melainkan hanya untuk nilai semata mata. Mengingat
jumlah guru berkualitas kurang memadai, wajar jika masyarakat ikut menambah
biaya pendidikan anak-anak mereka ke dalam skema shadow education. Sangat
jelas bahwa fenomena shadow education juga merupakan implikasi logis dari
skema pembiayaan pendidikan yang tidak fokus dalam peningkatan kapasitas
guru.
Jika dilihat manfaat dan mudaratnya, praktik
shadow education memang dapat meningkatkan kemampuan anak anak dalam memahami
dan mengerjakan soal-soal yang akan diujikan di sekolah mereka. Pelajaran
tambahan mungkin juga baik bagi perkembangan human capital yang akan
menyumbang pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Namun, mudaratnya juga perlu
dihitung secara cermat. Yakni, selain menandakan lemahnya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap kualitas guru dan sekolah, shadow education membuat anak
menjadi kekurangan waktu untuk bermain dan berolahraga. Padahal, jika kita
lihat manfaat bermain dan berolahraga bagi kesehatan fisik dan meningkatkan
ikatan kohesi sosial di masyarakat, pengaruh negatif shadow education juga
perlu dikaji secara mendalam.
Harus diakui juga, shadow education hanya berlaku bagi
orangtua dengan tingkat pendapatan yang memadai atau kaya. Secara tidak
langsung, shadow education dapat
menciptakan disparitas sosial yang semakin tajam antara si kaya dan si
miskin. Itu berarti secara tidak sadar mereka telah menyumbangkan terjadinya
praktik inefisiensi anggaran yang dengan sengaja diciptakan untuk mengeruk
uang negara bagi kepentingan politik tertentu. Laporan ADB merekomendasikan
agar negara-negara dengan sistem pendidikan kualitas rendah mereformasi system of assessment and selection,
yang salah satunya diimplementasikan melalui praktik ujian nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar