Senin, 22 Oktober 2012

Wartawan Teraniaya


Wartawan Teraniaya
R Kristiawan ;  Manajer Program Media Dan Informasi, Yayasan Tifa, Jakarta
KORAN TEMPO, 22 Oktober 2012
  

Tindakan kekerasan aparat TNI AU terhadap Didik Herwanto, wartawan Riau Pos, dalam insiden jatuhnya pesawat Hawk 100/200 di Pekanbaru, segera menyulut aksi protes di berbagai kota. Didik mengaku tidak hanya dipukul dan dicekik, tapi juga dipijak-pijak oleh sekitar 10 orang berseragam sebelum dibawa ke mobil. (Kompas, 18 Oktober 2012)
Peristiwa di Pekanbaru itu adalah bagian kecil dari tren naiknya angka kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia. LBH Pers Jakarta mencatat bahwa tren kenaikan jumlah kasus kekerasan fisik dan non-fisik terhadap wartawan menunjukkan peningkatan yang signifikan sejak 2009. Pada 2008, jumlah kasus kekerasan terhadap wartawan sebanyak 17 kasus. Pada 2009, angka itu melonjak menjadi 56 kasus, kemudian 66 kasus pada 2010, dan 96 kasus pada 2011. Hingga Mei 2012, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis sudah mencapai 45 kasus. Pada 2010, terjadi empat kasus pembunuhan terhadap wartawan. Sejak pembunuhan Udin, wartawan Bernas Yogyakarta, pada 1996, AJI Indonesia mencatat ada 10 kasus pembunuhan terhadap wartawan yang tidak terungkap secara hukum. Aparat negara, terutama polisi dan masyarakat, menjadi pelaku kekerasan terhadap wartawan dengan jumlah terbesar.
Tampilan statistik yang tidak menggembirakan itu berdampak pada posisi Indonesia dalam indeks kebebasan pers dunia yang juga semakin turun. Menurut Reporters sans Frontieres, posisi kebebasan pers Indonesia terus menurun sejak 2001. Pada 2001, Indonesia menempati posisi paling tinggi se-Asia dalam hal kebebasan pers. Posisi itu terus menurun menjadi ke-101 dari 178 negara pada 2009, dan terakhir ke-146 dari 178 negara pada 2011. Kekerasan terhadap jurnalis menjadi alasan penting penurunan peringkat itu. (Selengkapnya di http://en.rsf.org/press-freedom-index-2011-2012,1043.html)
Menarik untuk dicatat bahwa tren kekerasan terhadap jurnalis justru terjadi sesudah liberalisasi media lewat pengesahan UU Pers No. 40/1999 dan UU Penyiaran No. 32/2002. Liberalisasi media telah meledakkan jumlah pelaku usaha media dan jumlah jurnalis. Tetapi peningkatan jumlah media, jumlah jurnalis, dan volume bisnis media itu tidak dibarengi oleh peningkatan sistem perlindungan terhadap jurnalis yang memadai. Sumber utamanya adalah lemahnya pemahaman aparat negara dan masyarakat tentang hak melakukan kegiatan jurnalistik yang dijamin oleh UU Pers. Masih ada warisan kesadaran lama bahwa kegiatan jurnalistik bukan merupakan entitas bebas dalam mencari informasi. Kebanyakan perusahaan media pun tidak memberi pelatihan tentang hukum media yang memadai bagi para wartawannya.
Dari sisi internal media, rendahnya profesionalisme dan etika jurnalis juga menjadi pemicu penting tindakan kekerasan terhadap wartawan. Ledakan profesi wartawan membuat profesi jurnalistik terancam pada banalitas dan cenderung menafikan standar-standar etis. Rendahnya kinerja profesional wartawan membuat pihak eksternal terpancing melakukan kekerasan dan tidak lagi mengindahkan saluran protes beradab yang disediakan UU Pers. Ungkapan anekdotal di benak kognisi publik bahwa kebebasan pers sudah kebablasan mewakili situasi ini. Meski demikian, kekerasan terhadap wartawan tetap tidak bisa dibenarkan. 
Perusahaan pers juga cenderung memberi beban kerja berlebih tanpa kebebasan berorganisasi bagi para wartawannya. Beban kerja berlebih muncul lewat praktek pemberian kerja bagi beberapa media sekaligus dalam satu holding company. Dari ribuan perusahaan media yang muncul sejak reformasi, hanya 13 yang memiliki serikat pekerja pers. Dari 13 perusahaan itu, hanya satu yang memiliki Kontrak Kerja Bersama antara wartawan dan perusahaan, yaitu Tempo. Jelas sekali terlihat betapa rentannya posisi wartawan, baik secara internal maupun eksternal.
Dalam situasi di mana negara dan perusahaan media cenderung tidak melindungi wartawannya, inisiatif positif justru datang dari kalangan masyarakat sipil. Lembaga Bantuan Hukum Pers Jakarta didirikan pada 2003 untuk merespons kecenderungan kriminalisasi dan kekerasan terhadap jurnalis. Setelah beberapa tahun harus merespons kasus di seluruh wilayah Indonesia, LBH Pers di daerah kemudian lahir di Padang, Surabaya, Makassar, Manado, dan Kendari dalam kurun tiga tahun terakhir. Boleh dikatakan, hanya organisasi inilah yang secara hukum memiliki kapasitas bagi proses litigasi kriminalisasi pers di Indonesia. Dalam situasi ideal, perusahaan pers seharusnya memberikan donasi kepada lembaga bantuan hukum seperti ini. Sayangnya, hal ini belum berjalan sehingga LBH Pers harus mencari dana hibah dari sumber lain. 
Konteks Regional
Di kawasan Asia Tenggara dan Asia, sebenarnya Indonesia memiliki potensi sangat besar sebagai contoh praktek penegakan kebebasan pers dalam koridor demokrasi. Secara struktur regulasi, sistem pers di Indonesia sangat menunjang demokrasi. Indonesia menerapkan kebebasan pers dengan menghapus sistem izin dan sensor, menerapkan sensor internal, memiliki lembaga pengawas etik seperti Dewan Pers, serta pelibatan Dewan Pers dalam kasus peradilan pencemaran nama baik. 
Dalam hal ini Indonesia jauh lebih maju daripada negara-negara tetangga, seperti Singapura, Thailand, Laos, Malaysia, dan Brunei, yang sistem persnya cenderung otoriter dan feodal. Satu-satunya "pesaing" Indonesia adalah Filipina. Akan tetapi Indonesia masih lebih maju karena sudah memiliki UU Keterbukaan Informasi. Filipina juga didera oleh kasus pembunuhan massal terhadap jurnalis beberapa tahun lalu. 
Pada 2013, Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi forum Asia Media Legal Defense di Bali. Forum ini akan menjadi sarana strategis bagi Indonesia untuk memberi teladan kebebasan pers di Asia. Sekarang, mari kita berpaling kepada diri kita sendiri untuk mendukung kebebasan pers demi demokrasi yang lebih baik atau mencederainya lewat kekerasan terhadap wartawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar