Psikologi
Keamanan Nasional
Sarlito Wirawan Sarwono ; Psikolog
Sosial
|
KOMPAS,
12 Oktober 2012
Ketika saya bertugas jadi
profesor tamu di Malaysia, saya ngobrol dengan sopir taksi yang mengatakan
bahwa jadi orang Indonesia itu enak, mau ngomong apa saja boleh. Di Malaysia
orang takut berbual (ngobrol), salah bicara bisa ditangkap polis.
oleh jadi sopir taksi itu lebay (berlebihan). Akan tetapi, kesan
”ketidakbebasan” saya tangkap di berbagai situasi selama satu semester bertugas
di sana tahun 2008. Kesan itu diperkuat dengan pembicaraan saya dengan beberapa
mantan tahanan ISA (Internal Security Act)
yang pernah dibina (bukan dipenjara) selama 2-6 tahun di rumah tahanan ISA.
Mereka ditahan dengan alasan perbuatan atau kata-kata yang mengancam keamanan
kerajaan (bahasa Malaysia untuk negara), yaitu dianggap terlibat dalam gerakan
radikal Islam.
Memang, Malaysia tampak dari
Jakarta seakan-akan aman tenteram. Gemah ripah loh jinawi, kata orang Jawa
(yang artinya makmur sejahtera). Namun, di dalam ada perasaan tertekan dipendam
dalam-dalam. Bukan hanya dalam persoalan agama, tetapi juga hubungan antaretnik
minoritas China dan India dengan etnik mayoritas Melayu.
Sebaliknya, di Indonesia,
kita iri melihat Malaysia yang begitu maju dalam perekonomian yang ditunjang
yang situasi keamanan nasional kondusif. Itulah mungkin yang menyebabkan adanya
gagasan meluncurkan RUU Keamanan Nasional (Kamnas).
Ditentang
RUU ini pertama kali
diluncurkan pemerintah pada 2007, ketika Menteri Pertahanan dijabat Juwono
Sudarsono. Euforia bangsa Indonesia sudah kebablasan sehingga menyuburkan
ideologi-ideologi radikal, menyebabkan orang gampang sekali melakukan
kekerasan. Baik berupa bom (dari bom gereja tahun 2000, sampai bom Bali I dan
II, bom Kedubes Australia dan bom Marriot I) maupun tawuran (dari
antarsekolah/kampus sampai pilkada).
Perasaan lelah menghadapi
kericuhan yang tak kunjung selesai, termasuk pada era Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, bukan hanya dialami oleh para pejabat Kementerian Pertahanan dan
kalangan TNI yang dulu pernah mengawal keamanan negara. Orang-orang awam pun
sering bertanya-tanya, seperti: ”Mau dibawa ke mana negara ini?”; atau
mengeluh, ”Kita perlu pemimpin yang lebih tegas dan keras”; atau ”Lebih enak
zaman Soeharto”.
Anehnya, ketika RUU Kamnas
diluncurkan, reaksi yang menentang kuat sekali. Bukan hanya para pakar, seperti
Prof Nurhasan Ismail dan Hermawan Sulistyo, serta pengamat dan aktivis
sosial-politik, seperti Ray Rangkuti dari Lingkar Madani untuk Indonesia dan
Hendardi dari Setara Institute, melainkan juga hampir semua akademisi (LIPI,
universitas), media cetak dan elektronik, LSM (Elsam, Imparsial, IPW, Kontras),
dan sebagian anggota/fraksi DPR menolak RUU itu.
Memang ada sebagian
anggota/fraksi DPR yang menerima kehadiran RUU Kamnas, tetapi nyatanya pada 20
Maret 2012 draf RUU itu dikembalikan oleh Pansus DPR ke pemerintah. Namun, pada
akhir Mei 2012 (hanya selang 2,5 bulan) pemerintah mengembalikannya lagi ke DPR
tanpa ada revisi. Pemerintah tidak mengerjakan PR-nya. Sudah jelas reaksi keras
dari masyarakat timbul lagi.
Kecemasan Berlebihan
Masalahnya, benarkah kita
benar-benar memerlukan UU Kamnas? Pengalaman Malaysia dengan ISA bukan contoh
yang baik dari sudut pandang kebebasan berekspresi warga negara, yang merupakan
salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh UUD 45. Dalam istilah psikologi,
gagasan RUU ini bisa jadi hanya merupakan angst
psychose (psikosis kecemasan), yaitu kecemasan berlebihan yang disebabkan
oleh trauma masa lalu.
Kalau ancamannya adalah
terhadap keutuhan, kesatuan dan persatuan, bangsa Indonesia sudah punya
Pancasila sebagai pengikat sehingga kita bisa berBhinneka Tunggal Ika. Yang
perlu kita lakukan hanyalah lebih serius mengawal Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari.
Sebagai contoh, kebetulan
saya tahu para alumnus pesantren dari pelosok Indonesia yang mendapat beasiswa
dan langsung kuliah di Arab Saudi, Mesir, atau Yaman. Jangan heran kalau
pemuda-pemuda yang hanya tahu kampungnya dan tidak tahu banyak tentang
Indonesia, bisa jadi radikal dalam tempo beberapa tahun saja.
Bahkan ”John
Pantau” si jahil dari salah satu stasiun TV pernah meminta beberapa anggota DPR
untuk melafalkan Pancasila dan menyanyikan ”Indonesia Raya”. Ternyata mereka
”.... tidak hafal”.
Tentu saja metode
indoktrinasi model Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) pada era
Soeharto sudah ketinggalan zaman. Namun, mengawal Pancasila dengan
metode-metode yang lebih cerdas dan egalitarian harus diciptakan, dikembangkan,
dan dipraktikkan oleh pemerintah kalau kita tetap ingin NKRI yang bersatu
teguh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar