Dilema
Industrialisasi
MS Hidayat ; Menteri
Perindustrian
|
KOMPAS,
12 Oktober 2012
Perdagangan bebas dianggap
sebagai salah satu jalan untuk meningkatkan perekonomian dunia. Namun, perkembangan
teknologi, politik, dan ekonomi yang cepat mengubah pola bisnis dunia, padahal
Indonesia belum mendapat manfaat optimal.
Perubahan kian tak dapat
diprediksikan dengan buntunya perundingan agenda Doha di WTO, khususnya akses
pasar. Keadaan ini menyebabkan agresivitas tinggi negara maju—terutama dengan
krisis di Eropa dan Amerika Serikat—untuk membuka pasar negara berkembang meski
tetap protektif untuk pasar dalam negerinya, khususnya produk pertanian.
Negara maju mendorong kerja
sama ekonomi atau kerap disebut FTA (free trade agreement), EPA (economic
partnership agreement), ataupun CECA (comprehensive economic cooperation
agreement). Semua itu bertujuan membuka akses pasar melalui penurunan bea masuk
(BM) tetapi tak diimbangi pengurangan hambatan teknis atau nontarif (nontariff
measures) di negara maju.
Negara-negara itu juga
mengusung isu baru lain, seperti lingkungan. Mereka menyodorkan konsep
liberalisasi untuk environmental goods yang pada praktiknya tak spesifik hanya
mendukung lingkungan tetapi mengajak membuka akses pasar barang modal yang jadi
kompetensi mereka di mana kita masih sangat lemah. Untuk itu, kita perlu
perlindungan pasar dalam negeri. Bentuk perlindungan minimal adalah pengenaan
BM.
Saat ini tarif BM kita
secara umum (WTO 2010) rata-rata 6,8 persen. Perekonomian lebih kuat dengan
produk domestik bruto (PDB) per kapita jauh lebih tinggi, seperti Korea,
Brasil, China, Meksiko, dan India rata-rata tarif BM-nya lebih tinggi. Di
ASEAN, rata-rata BM kita di bawah Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Indonesia
sudah sangat liberal!
Untuk produk pertanian,
tarif BM Indonesia rata-rata 8,4 persen, lebih rendah dari Uni Eropa (12,8
persen), Jepang (17,3 persen), dan Korea (48,5 persen). Di ASEAN, rata-rata
tarif BM kita hanya lebih tinggi dari Singapura yang tak punya lahan pertanian.
Untuk produk nonpertanian, BM rata-rata China 8,7 persen dan Indonesia 6,6
persen. Lebih jauh, skema tarif BM preferensi Indonesia berdasarkan perjanjian
FTA juga jauh lebih rendah. Tarif rata-rata ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) 0
persen, ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA) 2,6 persen, Indonesia Japan
Economic Partnership Agreement (IJEPA) 2,6 persen, ASEAN Korea Free Trade
Agreement (AKFTA) 2,2 persen.
Pertanyaan yang muncul dari
rendahnya tarif BM dan makin didorongnya liberalisasi pasar, apakah produk
Indonesia telah punya daya saing menghadapi produk luar negeri?
Dampak ke Industri
Saat ini kinerja perdagangan
internasional Indonesia kian menurun, defisit neraca perdagangan hingga Juni
2012 mencapai 1,32 miliar dollar AS. Pasar kita kian dipenuhi produk impor,
terutama China. Berdasarkan data BPS, neraca perdagangan produk industri
Indonesia ketimbang mitra utama, seperti Jepang, China, dan Korea, defisit
dalam lima tahun terakhir. Pertumbuhan impor per tahun negara-negara itu 31
persen, 35 persen, dan 39 persen, sedangkan pertumbuhan ekspor hanya 16-20
persen, membuat defisit perdagangan kian menganga. Untuk produk industri,
defisit perdagangan 2011 dengan tiga negara itu 22,8 miliar dollar AS.
Instrumen penyeimbang yang
dapat digunakan dalam situasi ini adalah antidumping, antisubsidi, dan safeguard. Namun, data WTO menunjukkan,
hingga pertengahan 2011, Indonesia kurang menggunakan instrumen ini
dibandingkan negara lain. Justru negara yang ekonominya kuat, seperti AS, UE,
China, atau Turki, sangat intensif menggunakan.
Disadari atau tidak,
lemahnya perlindungan terhadap industri tecermin pada kinerja sektor industri
yang cenderung menurun. Peranan sektor industri terhadap PDB pernah cukup
signifikan, tetapi 10 tahun terakhir pertumbuhannya selalu di bawah pertumbuhan
ekonomi, dengan peranan terhadap ekonomi turun dari 28 persen menjadi sekitar
24 persen saat ini. Terjadi stagnasi kontribusi beberapa cabang industri yang
mempekerjakan tenaga kerja dalam jumlah besar, seperti tekstil dan alas kaki.
Dengan jumlah penduduk besar
dan tingkat upah yang cukup bersaing, industri padat karya di Indonesia dapat
berperan lebih besar. Namun dilihat dari nilai ekspor produk pakaian jadi,
Indonesia masih tertinggal. Memperebutkan pasar UE, Indonesia tertinggal
dibandingkan Banglades, India, dan Vietnam.
Probabilitas potensi produk
Indonesia memenangkan persaingan dengan menggunakan basis BM MFN (most favoured nations) dibandingkan
produk sama dari Korea, Australia, India, dan negara-negara EFTA hanyalah
sekitar 30-40 persen.
Dengan demikian, menyikapi maraknya ajakan FTA saat ini,
kita perlu mempertimbangkan situasi industri dalam negeri. Dari survei
Kementerian Perindustrian tentang dampak ACFTA terhadap industri Indonesia 2010
ditemukan bahwa perdagangan dengan China telah berdampak pada industri logam,
tekstil, furnitur, mesin, dan elektronik. Dari 276 perusahaan sampel, yang
mengalami penurunan produksi 25-50 persen, penurunan penjualan 10- 50 persen,
penurunan keuntungan 25 persen, dan pengurangan tenaga kerja 25 persen, selain
juga peningkatan impor bahan baku industri dari China. Pemanfaatan FTA dengan
China saat ini baru 10-30 persen. Jika BM FTA sudah dimanfaatkan secara penuh,
dengan kondisi industri saat ini, dampaknya mungkin akan jauh lebih buruk.
Perlukah kita membuka pasar
dalam negeri lebih jauh? Terdapat pemikiran, bila kita tak ikut FTA, produk
kita akan kehilangan daya saing terhadap negara lain yang sudah ikut FTA.
Pemikiran ini mungkin ada benarnya. Namun perlu diingat, liberalisasi
perdagangan menuntun pada spesialisasi ekspor. Produk apa yang bisa kita
ekspor? Apakah bahan baku saja karena di situlah kita berdaya saing?
Tentu tidak. Bila kita
melakukan FTA dengan negara yang maju teknologinya, hampir dapat dipastikan
pupus harapan kita dapat membangun industri teknologi tinggi, terutama produk
barang modal. Bukan tak mungkin kita hanya jadi pengekspor produk bernilai
tambah rendah dan bahan baku selamanya.
Jalan Keluar
Pada dasarnya seluruh
perjanjian dalam rangka meningkatkan volume perdagangan adalah baik, selama
memberi peluang untuk membangun industri berteknologi tinggi. Industri adalah
sektor ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja dan penghidupan lebih baik
di samping menjadikan produk Indonesia tuan rumah di negeri sendiri. Kita tak
perlu anti terhadap FTA, tetapi harus yakin FTA bukan semata liberalisasi,
tetapi diarahkan pada smart FTA,
yaitu liberalisasi demi investasi dan pengembangan kapasitas. Dalam menjalin
FTA dengan negara maju, harus dijamin pemberian konsesi pasar dilakukan dengan
trade-off investasi dan capacity building
pada industri barang modal yang kita butuhkan di Tanah Air.
Faktor pengamanan yang
memadai juga harus diterapkan, yaitu kebijakan untuk mengevaluasi kembali kerja
sama yang telah ditandatangani setiap jangka waktu tertentu, adanya exit policy
kalau ternyata merugikan, serta dimungkinkan penghentian sementara bila ada
sektor yang dirugikan tanpa persyaratan-persyaratan ketat dan birokratif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar